16/12/19

Diorama Selaput Jala

Lihat,
Diantara iringan awan dan do'a yang berserakan,
Kau akan menemukan warna biru paling rindu disana,
Cerah yang jatuh di tengah penasaran, lalu berakhir pada ujung pertanyaan.
" Seriuh apa warna yang kau cipta pada sepasang kelopak yang lupa merasakan warna ? "

Langit memudarkan waktu beserta rekahannya,
Meringkus para pecandu senja paling agung ,dengan jingga yang terlukis mewah,
Disana kau menjadi rona merah,
Merekah indah,
memeluk erat, perlahan merambat, menyusuri tiap lekuk pembuluh darah

Tepat, setelah purnama -purnama diterbangkan.
Dengarlah do'a yang telah kupesan,
Melarut bersama pahit yang diseduh kesepian, kita membicarakan cantikmu hingga redup dinyalakan.
Kau terbit sebagai kejora,
Pada kepingan angkasa yang kutatap sekian lama,
Waktu demi waktu,
Masa ke masa
tetap menjelang,
Karena, pada kedalaman matamulah, semua indah lukis warna, akan kembali berpulang.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 Desember 2019

Ekspedisi Kemarau

Sore ini, aku menemuimu sebagai mendung yang pekat,
Memeluk napas begitu erat,
Dengan sepi yang mengikat begitu lekat.

Di dalam rimba aku berada,
Menanti deras yang dijanjikan,
Berharap kita saling mengerti pesan  yang disiratkan.
Di antara belantara kau telah menjadi gerimis,
Kunikmati sejuk mencaduimu sebagai khatulistiwa paling tropis
Dengan arus angin yang kian terarah,
Menuju hadirmu yang tak akan pernah musnah.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 25 November 2019

27/11/19

Titik Nol

Dari kejauhan, kulihat kelopak meranggaskan mahkotanya,
Satu demi satu, warna demi warna, 
Hingga tertunduklah segala aroma dalam balutan tanda tanya,

“ Kemanakah angin ini bermuara ? apakah berakhir pada sebuah awal ? 
atau bermula pada titik aba-aba ? “ 

Di atas sana, mendung sedang asyik menyembunyikan rintik,
Melipat rindu yang senantiasa tertitip pada gemuruh,
Mengemas khawatir penuh ratap yang kian riuh
Kemudian dia bertanya,

“ Bagaimana deras itu tercipta ? apakah dari luapan air yang tertahan ?
ataukah endapan dari debar yang tak diucapkan ? “

Jauh dari jangkauan awan, 
gemintang masih tetap menorehkan cemerlangmu di kaki angkasa,
Menyelamimu hingga menerobos selaput kornea
Merangkum tapak tilas sejak napas pertama,
hingga tempat bersemayamnya do’a-do’a

Tidak ada pertanyaan kali ini,
Jemari telah mengerti, 
bahwa riwayat yang telah dituliskan diam-diam
kini menjadi danau tempat segala tulisan tenggelam,
semakin dalam
semakin diam.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 27 November 2019.

21/11/19

Romansa di Bawah Pijakan

Potongan akar-akar rumpang,
Memancing kepalan hara tanpa huru
Menggeledah siku demi siku
Menyesap seluruh awal mula yang terbujur kaku

Potongan akar-akar rumpang
Kembali menyiangi masa yang tersirat diantara kering-kerontang
Berdialog perihal tumbuhnya tunas pertama
Hingga, sisa-sisa ocehan merpati yang tertinggal diangkasa.

Bercabang namun tak akan pernah menyesatkan
Rindang, dan begitu meneduhkan

Deras menguap diantara kalut
Terik menyeka kerumunan kabut
Potongan demi potongan mulai terpaut
Merayakan mekar pertama yang akan disambut

Bukan mawar yang diperbincangkan
Bukan melati yang mengharumkan
Mereka hanya pecahan akar-akar tanpa dedaunan.
Yang merekam kisah romansa dibawah pijakan.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019

Panggung Musim Kelima

Sejak runtuhnya petang,
Kidung-kidung perlahan dimainkan
Hingga tanah bijana mengalami pembusukan
Dan kelakar do'a mulai memenuhi seluruh ruangan

Sejak dilipatnya malam
Purnama berkeliling mengitari garis lintas
Memelas pada setiap Tuhan yang pantas
Mengemas keping-keping percaya yang terlepas

Sejak retaknya bilik-bilik pagi
Jarum-jarum berhenti kembali
Setiap sudut serupa duri
Mengecupi ubun-ubun, hingga menjalar ke ruas ruas kaki.

Kini do'a-do'a  serupa obituari
Sekat-sekat udara menjadi elegi
Pada pekik sepi, dan peluh yang mencuat tanpa henti

Sejak pudarnya warna pada senja kala
Kepakan sayap mulai bersuara
Menyuguhkan dingin selimut yang gulita
Menjadikannya tempat paling istimewa,
yang menahanmu untuk tetap ada.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019

19/11/19

Rentang

Barangkali,
Hanya sedekat jemari dan kaca-kaca yang dinanti hujan.
Jumpa kita tersekat satuan.
Kau adalah suhu dinding kamar, dan aku adalah pantulan cahaya ditengah deras yang berbinar.

Bersama, 
kita menjadi embun,
Tempat simbol hati berkerumun, 
hilang seketika, tersapu rindu yang menahun.

Barangkali,
Hanya sebatas akrab rentetan klausa dalam frasa
Debar yang ada, tak mampu diredam aksara
Bersama,
Kita mengisi rumpang bagian alinea,
Terpisah, kita menjadi yatim dan piatu puluhan kata

Barangkali,
Hanya sebatas ampas dan kopi,
Bersama, kita menjadi pahit sempurna yang bermuara pada lidah manusia,
Mengalir menuju pencernaan, lalu terserap sebagai ketenangan yang maha dahsyat.

Kita bisa lebih lancang dari rintik yang memeluk tanah,
Bisa menjadi yang paling keras kepala dibanding gemintang ditengah lampu kota.

Barangkali, angkasa jemu dengan untaian nama yang sama,
Maka, kita cukupkan sejenak dan mulailah menjadi paling berisik diantara sunyi,
Hingga kelak, ketika lagu-lagu itu mulai bersuara,
Segalamu akan kembali sebagai yang luar biasa.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 19 November 2019

Narasi Ilalang

Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
Tepat, ditepian halimun yang berkerumun,
Tatap pemuda itu berlarian, 
Mencari sudut-sudut persembunyian,

Dicelah bebatuan, 
dibalik karpet kemerahan,
ditengah telapak tangan, 
di jari-jari yang dikepalkan,
pada berkah-berkah yang dirapalkan
hingga, disela sorak tangis yang bersahutan.

“ Aku menemukanmu ! “
sahut detik pertama yang tertawa,
detik kedua, deras menyambangi pelupuk mata,
dan detik ketiga, hening bertamu tanpa mengenal kala.

Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
Pemuda itu kini mengunyah sisa langkah
Kelu lidah penuh liku luka kata-kata batinnya
Memuntahkan sumpah serapah, dia tertawa


Lekuk syaraf kian menebal
Parau tawa tersengal-sengal, sayup sayup perlahan redup
Tenggelam  diatas ranjang paling gulita
“ Indah sekali rasanya “ 
bisik aroma tanah dan ragam warna bunga kamboja
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
“ Tahukah tuan, siapa yang paling merasa riang ?
Sepasang malaikat,
Mereka hanya tahu cara tertawa, ditengah tiap tangisan, diatas kain yang diikatkan, dan
disela-sela tanah pemakaman “
Aku tahu, 
Akulah sepenggal sajak jalang, yang tengah dibacakan dikerumunan ilalang

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 18 November 2019

Vista Genesis

Belum lama kitab-kitab kembali menuju sepi,
Kumpulan malaikat turun menyiangi sisa surgawi
Kisah legendaris metamorfosa sunyi
Hingga kelahiran yang ditepis mati.

Menyusuri bekas kecupan Sang Pujangga dari Avon
Dilekuk bibirmu yang kini merupa puisi
Mata ini menjadi saksi hidup sepenggal risalah penciptaan, untuk kemudian diterjemahkan kedalam satu sosok keindahan.

Dibibirku, kau terlukis sebagai secangkir anggur merah,
Ranum manis namamu rimbun dipermukaan lidah,
Lembut rerumputan bersarang diatas kasar epidermis yang terasah
Mengakar lebih dalam,
Mencuat kesetiap indera, menjelma elok cakrawala dipenghujung jumpa.

Ayat-ayat menyebutmu sebagai wanita
Malaikat memanggilmu  Si Gadis Belia
Sedangkan, aku menemuimu sebagai sisa Taman Firdaus yang tertinggal di dunia.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 16 November 2019

12/11/19

SURAT KEPADA KOTA

Di ruas persimpangan itu, aku menemuimu sebagai lampu taman dikala hujan.
Kilauan pemeluk mata, 
temaram mengisi ruang-ruang kosong disudut retina, 
lalu jatuh sebagai sosok terindah dalam kepala.

Di ujung jalanan Bandung, aku mengenalimu sebagai bising debar yang tak terbendung.
Lekat-lekat pada permukaan membran telinga
Membisukan mata
dengan namamu yang menjadi keindahan diantara gedung kota

Di langit ini, aku mengingatmu sebagai warna biru diawal hari
merupa kaidah semesta bertegur sapa,
antara do’a-do’a 
dan rindu yang ditelantarkan jarak

Kembali diruas persimpangan itu,
aku menemukan sebuah papan jalan tanpa bernama.

Rekaan waktu selepas hujan, sebagai kenangan yang akan semesta tuliskan.
bahwa kalimat pertama, adalah kau yang menjadi puan, denganku sebagai titik, sebagai tuan.

 - Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 November 2019

KONTEMPLASI SATU ARAH

Untuk debar yang dibungkam sepi,
coretan acak tentang kita telah mengudara mengitari bumi
goresan paling membentang, 
serupa cakrawala yang membenang
membelit setiap sisi, membentuk gurat-gurat diselaput mimpi.

Untuk denting yang bernafas diantara hampa,
saduran luka-liku lara, telah sampailah kesetiap pasang telinga
reka suara tawa, tangis, canda, bahagia, dan luka tertulis pada partiturnya
membuai ego yang berdamai, hingga ledakan badai dipelupuk mata.

Untuk do’a-do’a yang tersimpul di ujung usia
Kelopak-kelopak mulai merekah menggantikan senja
Gugur satu persatu menjadikannya sebongkah riasan mahkota,
Pendar terindah yang dirawat semesta.

Mendekatlah, 
kusematkan beberapa kisah kecil ditiap bidangnya,
Perihal ranum asmara dibawah semesta,
Hangat rumah dipinggiran desa,
Sayur-mayur yang kau ingin tanam dihalamannya,
Lusinan jejak kecil yang memanggilmu mama,
Tawa riang disisi-sisi meja
Dan kisah lain yang telah kita susun sedemikian rupa.


Hingga manis gula-gula kian melarut
Rindu untukmu semakin kalut.

 - Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 November 2019

10/11/19

KALA MEKAR

Pada kuncup-kuncup purnama selepas November,
Bermekaran sajak-sajak rindu yang ditepis hujan
Merekah merah tiap mahkotanya, tajam pula wewangian, menjadikannya sebuah berkah.

Membelit debar yang meradang,
Merindu kepingan darah yang lupa pulang,
Penolakan terhebat pada celah rumpang,
Antara rusuk dan lengkung yang merasuk.

Disini namamu masih kumakamkan, dipangkal tenggorokan,
Dilaring-laring yang bercelah,
Dibawah lidah,
Dan disekat peparu yang hampir pecah.

Sesekali kugali,
Untuk dipelajari,
Bahwa yang waktu adalah yang mati
Yang temu ialah yang jemu
Yang abadi adalah do'a-do'a manusia
pada Tuhan dengan nama berbeda.
Dan yang merusak, adalah harapan yang merisak.

Kupungut huruf per huruf hingga terlepas,
Untukku seduh bersama alir waktu di pipimu yang gemas

Kala itu,
Musim itu,
Hujan itu,
Tawa itu,
Kamu itu,
Rindu.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam,
10 November 2019

TAMAN

Dan pada kecupan sore,
Kembali kukibarkan pelukan paling jauh untuk cemasmu yang mulai riuh.
Beruntun kulepaskan rindu yang enggan mengalah, menuntun belahan arus menuju belantara yang tak terjamah.

Ragam cabang telah tersaji, untuk kau seleksi,
Kukembalikan semua pada dasar akal,
Berdiam diri pada kubangan dangkal,
Ataukah menyusuri lagi aspal jalanan dengan goresan kisah yang dirapal ?

Kutunggu kau dibawah bianglala,
Temui aku dengan senyum dan sepasang maaf, untuk semua yang waktu perbuat.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 10 November 2019

06/11/19

LUKIS TEPIAN WAKTU

Setelah bertegur sapa dengan ragam praduga,
Secangkir kopi kembali melarutkan bias-bias kata
Beredar kesetiap pasang telinga yang sejak malam melangkah, namun tetap di tempat yang sama

Barisan papila kerap menagih manis seruan namamu,
Memaknai setiap binomial yang tersemat pada sisa napasmu, 
Sebagai sebuah kompendium atas proses penciptaan rindu

" Bagian mana lagi, tentangmu yang kulewatkan ? Ataukah harus kucatat beberapa alinea paling hangat, untuk kemudian kujadikan alternatif pembaharuan ? " 

Tutur sepasang kelopak pada goresan yang memberontak,

" Maka, jadikanlah dia sebuah gambar !
Pahat diantara celah angkasa !
Disela-sela lantunan do'a !
Dipermukaan dinding gedung-gedung kota !
Diatas hamparan aspal jalan raya !
Pada papan nama persimpangan tua !
Pada langit-langit mulut  yang kini tunawicara !
Pada celah rongga dada, dan serambi kanan yang menunggangi detak tanpa irama !
Pahat !
Sedalam mungkin !
Sejelas mungkin ! 
Sebagai penerjemah, dari kecewa yang tak mampu diredam kata
Rindu yang mendidihkan rasa,
Dan penggambaran dari luka, sebagai sebuah seni paling sempurna "

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 6 November 2019

05/11/19

PADA CELAH JEDA

Pada malam-malam yang berkaca di kaki bulan,
Rangkai pesan dipintal sedemikian rupa,
Tersulam pada batang tubuh angkasa
Menjadikanmu sebuah asma yang berserakan disepanjang jangka

Memikat bagian-bagian yang tercantum pada bebunyian
Beranjak menyusuri luka-liku berbagai kesan
Dengan atau tanpa penopang jejak yang dilangkahkan, sebagai bungkam yang mekar disudut alasan.

Disana, namamu merabas
Menjelma penyintas yang berlari kecil pada lintas, 
antara liar yang terbebas dan tatap yang membekas
Berlinang lepas, kemudian jatuh pada lahan-lahan cemas yang dikebumikan.

Kau, adalah pohon rimbun paling bersemi  ditepian sanubari,
Berbatang kuat,
Berdaun lebat, 
Dengan buah yang merupa cemas paling hebat untukku pelajari

Takjub paling luar biasa, bagi ketakutan yang menjadikannya manusia.

Secepat itu kau tumbuh,
Seindah itu debar untukmu bergemuruh.

Pada malam yang terasa asing,
Bagian pelupuk memanen rautmu atas keindahan masing-masing.
Sungging ayumu,
Manis gelakmu,
Kemas tuturmu,
Dan hal indah lain yang bersemayam pada atmamu.

Kau, kini merupa taman dicelah pagar
Sejuk terik yang tersamar,
Paling cerah bagi seluruh danau,
Dengan hadirku disana, sebagai penjaga dari kebun igau yang meracau kacau,

Pada malam-malam selanjutnya,
Aku masih menjadi pengagumu,
Menikmati teduh rayumu,
Sejauh itu,
Sediam itu

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 5 November 2019

04/11/19

DIALOG DUA BIDANG

Kini malam tak seterang biasanya
Terlalu pekat untuk ditangkap selaput jala
Sedikit kehilangan riuh diantara udara
Dan, banyak menghadirkan cemas disela-selanya

Konfrontasi purnama dengan semesta menjadi cerita paling berisik disekujur sunyi
Serupa proses deflagrasi tanpa inti
Dengan debat dan terka yang hadir bertubi - tubi

Ya,
Sebagai bidak, kita hanya mampu meringkus gerombolan prasangka begitu banyak,
Entah penjajalan dari  Sang Penulis Predesitnasi, ataukah lini masa dan semesta yang sedang berkonspirasi
Entahlah,
Sebagai bidak, kita hanya mampu meringkus gerombolan prasangka begitu banyak,

Pada akhirnya, kita kembali menjadi frasa 
dalam naskah rumpang,
Serupa proses akulturasi masing-masing diksi untuk kemudian dimaknai,
Ataukah tetap bersimpuh dibalik barisan kalimat repetisi.

Tak ingatkah ?
Kita pernah dibaca sebagai kalimat majemuk, saling menyelamatkan Sang Waktu yang berada diujung tanduk, 
Hingga apresiasi pun terdengar bagai kalimat pengutuk.

Tak inginkah ?
Mereka membaca kita kembali sebagai naskah yang utuh,
Pelengkap segala separuh
Menebus debar yang hampir runtuh,
Hangat yang menyeluruh
Paling jenaka pada lara yang luruh, 
Hingga menjadi penyangga tiap jejak yang lumpuh.

Aku ingin itu,
Menjadi bacaan berulang sebelum semuanya hilang
Aku ingin itu,
Aku
Ingin
Itu.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 3 November 2019

*Konfrontasi : permusuhan, pertentangan
 Deflagrasi : proses pembakaran dalam waktu singkat, disertai nyala terang dan suara gemertak
Predestinasi : Ketentuan Tuhan

Deskripsi :
" Semesta tercipta dari dua bidang berlawanan dalam sebuah kesatuan, 
Siang dan malam, kiri dan kanan, langit dan bumi, hidup dan mati. Dapatkah kau bayangkan jika satu bidang kemudian hilang ? 
Aku tak ingin hanya menjadi malam tanpa siang, langit tanpa pijakan bumi, dan hidup tanpa mengenal mati.
Maka, tetaplah menjadi bidang datar yang selaras,
Jika Siang dan malam dapat dikatakan waktu, Kiri dan kanan menjadi sebuah arah, lalu, aku dan kamu melebur dalam kata Kita "

02/11/19

PULANG PADA PALUNG MATAMU

Kudapati pagi menyembunyikan diri,
dibawah naungan rangka rangkai jarak diawal hari

Menghitung kilau awan,
Mengeja butir pasir,
Menyulam desir angin,
Hingga merakit kembali segala ingin,

Lalu,
Kutemukan petang berlalu-lalang,

Bingung yang tampak disekujur ruang,
Kembali berputar mengitari kepala,
Mengorbit pada batas garis maya,
Lalu mendarat sebagai hujan yang tertahan disekitar mata.

Detik pertama selalu mampu menyekat ruang pernafasan,
Menggurui jantung agar berdetak tak karuan, dengan jarak yang aliri pembuluh sebagai sebuah hambatan.

Kemudian, kujumpai malam tengah berbaring diatas ranjang,
Mengeluhkan purnama lain yang hilang
Dengan matamu sebagai tempat ternyaman gemintang bersarang.

Hingga keesokan hari, semua hilang tak kutemui kembali,
Rombongan awan, 
Ombak lautan,
Bahkan terik yang memburu,
Segalanya sepakat untuk bersemayam pada matamu.
Sedalam itu.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 2 november 2019

ELONGASI UJUNG PENA

Pada catatan lembar kesebelas,
Hadirmu kembali mengunjungi dataran tandus sebelum deras,
Membawa lagi rintik, dibalik gulungan angin yang begitu memelas
Rentetan senyum dingin, kembali kurangkap semua tanpa membekas

Dalam kekosongan laci-laci meja,
Namamu kutulis tanpa jeda,
Merangkai risalah,  pada ingatan yang terpecah-belah,
Dengan diriku sebagai titik, dan kau, adalah tanda koma yang kerap berpindah

Menyiangi beragam alasan
Menyirami berbagai pertanyaan
Untuk kau jadikan pembaharuan,
Pada siklus hujan,
yang tertahan di setiap penghujung bulan,
Di ujung setiap kedipan.

Bolehkah catatan itu kubaca ulang ?
Pada baris obrolan ringan,
menatap senja diperjalanan,
Hal-hal memalukan,
Bincang-bincang kesedihan,
Solusi sepi kekecewaan, 
dan kenangan lain di beberapa bagian,
Bolehkah ?

Sebelum sosokmu menjadi puisi, 
atau debar mulai kehilangan arti.
Lihatlah tubuh siapa yang jatuh berulang kali,
Genggam kuat luka jemari,
Perjuangan yang dimakamkan,
Sabar yang tak sadarkan,
Hingga hadir yang dihilangkan.

Maaf, kau masih tetap kujadikan tanda koma di setiap kata,
Metafora yang kuanggap nyata,
Dan pusat kerinduan, dari luka yang keras kepala.

Seindah ini menuliskan sosok manusia, sebagai lara

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 2 November 2019

ELONGASI : Sudut antara dua benda langit terhadap satu titik acuan tertentu,

" Setelah kejadian itu, namamu kembali kutuliskan sebagai lara paling nikmat untuk ditulis,
Luka terindah untuk dilukis,
Sekaligus bahagia sementara yang paling bengis,
Terima kasih untuk pengalamannya, maaf, rinduku masih tetap keras kepala, seperti sediakala "

29/10/19

RISALAH 4 MUSIM

Kembali menuju sekumpulan senja yang berjatuhan, 
Dari atas puncak seluruh ingatan,

Kudapati kau, berbisik pada hujan,
Mengarahkan ujung jemari, ke tempat terbitnya kemarau berkepanjangan,
Sebelum akhirnya menghilang, diantara semua kebisingan.

Kembali menuju kumpulan bunga bermekaran,
Dari balik batang pinus,

Kudapati kau, menjelma kupu-kupu
Kepak tersejuk diantara badai yang bersemi merdu,
Peretas musim terhebat pada arus angin yang tak menentu
Sebelum akhirnya menghilang, tertiup deru diambang waktu,

Dan, kembali pada seluruh awal mula,
Diantara celah tanah,

Kudapati kau memijaki bumi,
Penguasa seluruh kemarau,
Menjadikannya sejuk rintik ditengah badai
Menjelma titik terakhir dari proses kreasi penuh kuasa Sang Maha,
Dengan yakin, bahwa surga telah Tuhan turunkan disana.

Napasmu adalah ayat-ayat yang diberkahi,
Rautmu, serupa cetak biru paras bidadari,
Tuturmu, selayak-layaknya kitab yang dituliskan kembali,
Untukku baca berulang kali,
sebagai hamba paling sunyi dari jasad yang dihidupkan sekali lagi.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Oktober 2019

28/10/19

MNEMONIK

Lagi-lagi, kutemukan dirimu dibalik rinai mentari,
Bermandikan pekat ingatan di kota lalu,
Berjalan perlahan, menuju tepian alir waktu
Yang kini terbujur kaku,

Lagi-lagi, kudengar suaramu diantara gemericik awan pagi,
Menyulam kembali bait-bait puisi
Menjadi sebuah titik penolakan sebuah elegi
Diantara kicau-kicau burung pengawal hari

Lagi-lagi, kudapati matamu melintasi rana cakrawala
Menelisik dicelah pepohonan
Menyinari bunga bermekaran
Merupa sinar jatuh diatas tanah tak bertuan

Lagi-lagi, segalamu mendatangiku,
Mencair menjadi rintik-rintik rindu,
Melebur dalam secangkir kopi dengan seduhan namamu
Melarutkannya kedalam deras yang bertamu

Hingga ampas, 
Menjadikanmu pahit paling mesra,
Ketika sosokmu mengembara didalam kepala.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Oktober 2019

MNEMONIK : rumus atau ungkapan untuk membantu mengingat sesuatu

" Setiap indra memiliki fungsi terhadap responnya masing-masing,
Seperti kulit untuk menyentuh, mata untuk melihat, lidah untuk mengecap, dan   fungsi indra lainnya,
Namun hadirmu, menjadi sebuah sensor terkuat untuk mengaktifkan semuanya sekaligus, 
Ya, seluruh indraku tercipta untuk merespon berkali-kali hadirmu "

EPISODIK HIPOKAMPUS

Hingga langit menyeduh purnama untuk kesekian kali, melarutkan langkah-langkah bahu jalan,
Iring- iringan bising persimpangan,
Kilat-kilat lampu sepanjang perhentian,
Menjadi merdu yang mengiringi sepi disekujur diri.

Kau, masih kurawat dalam benak yang terhantam jarak,

Kusimpan di tempat paling layak, dibalik sepasang lengan yang lebam membiru
Sebagai lapisan paling lembut, dari kasar bidang kenyataan yang diacuhkan waktu

Lepasmu adalah separuh,

Lengkapmu menjadikannya utuh,
Bius menjalar menyeluruh, 
piara bagi keping-keping rindu yang kerap bergemuruh

Kau, masih menjadi kepak kupu-kupu dalam taman yang bersemayam dibalik rongga dada,

Debar  bersemikan bunga
Nektar menghiasi cabang pembuluh vena,
Padang rumput di tepian aorta
Dan cakrawala yang melintang diantara diafragma

Kau, masih menjadi riuh di udara, sebagai alasan utama peparu tetap bekerja sama.


Menyerap berbagai kemungkinan

Menyibak segala kekhawatiran


Kau, masih seperti sediakala,

Pesona paling nyata,
Menjadikannya alasan utamaku untuk tetap ada,

Selama ini,

Sejauh ini,

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 29 Oktober 2019


EPISODIK : koleksi ingatan yang unik dan terjadi pada masing-masing invididu dengan pemanggilan ingatan yang belum jelas

HIPOKAMPUS :  bagian otak besar yang memproses informasi dari luar untuk disimpan, termasuk emosi dan memori

" Karena, mengingat adalah bagian dari tantangan hidup,

Seperti cara menghirup udara, cara menikmati indah dunia, cara menyentuh lembut sutra dan cara-cara lainnya,
Dan kau, berhasil merangkum itu semua kedalam satu indra,
Disini, tepat dibalik rongga dada "

METABOLIS


Pada hiruk pikuk aroma kopi yang menyapa,
Kutemukan dirimu melayang diantaranya
Melarut sempurna pada bilah - bilah meja,
Hingga purnama terekstraksi sempurna

Sesekali pahit terdampar diantara papila,
bertamu di pangkal kerongkongan,
Lalu bersemayam pada ladang perasaan

Mungkin seperti ini cara kerja dari pencernaan,
Menelan yang ada di ingatan,
berakhir menjadi debar yang mengkhawatirkan

Serupa proses katalisasi ,
dengan rindu sebagai molekul yang berotasi tanpa henti,
Kemudian merupa cemas yang diterima inti hati.

Tak jarang,
kopi mampu membuat jemari bergetar,
Tetiba  bekerja sama dengan alam bawah sadar,
Menerjemahkan kilat-kilat yang teringat, menjadi pesan singkat tentang suatu kabar.

Mungkin seperti ini proses merindukan,
Tertampung pada batang tenggorokan, lalu menyekat seluruh pernafasan.
Mengikat saraf sensoris, dengan sosokmu sebagai gelisah paling manis.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 26 Oktober 2019

MEJA PERTAMA


Kopi sangat terampil dalam merangkum kisah disetiap tetesnya
Menyulam kenang dipekat harumnya
Menyisipkan rindu disetiap adukan, hingga larut sempurna diantara buih debar, dan pesan yang kemudian samar

Denting bergulir pelan
Lampu padam secara perlahan
Sepi lirih bersahutan
Hadirmu, merupa kopi ternikmat yang pernah kupesan

Seperti biasa, tanpa gula
Karena, raut senyummu masih lebih manis dibanding sukrosa

Tak lupa, tolong sajikan selagi panas,
Karena, akulah orang pertama yang ingin menenangkanmu dikala cemas.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 2019


26/10/19

KOAGREGASI MAGNETISME



Disajikannya secangkir pendar lautan,
Berdampingan sedikit ombak, dan kumpulan camar yang mencari persinggahan
Kita larut dalam jarak, suatu distilasi waktu yang memaksa diri untuk beranjak

Menyusuri setiap perhentian
Menyapa setiap persimpangan

Kita adalah penikmat rindu paling hebat,
Merupa detik-detik dan satuan lain yang senantiasa berkutat
Tanpa sadar, langkah-langkah mengejar tiap kepulan yang sporadis tersebar
Menemui kembali kepingan hati yang belum bersandar.
Sebelum semuanya tampak memudar.

Rindu menjadi tempat rekreasi paling menyenangkan
Sesekali merupa pecahan beling yang menghambat degup
Seringkali berpendar menerangi mimpi yang meredup.
" Bukankah hal itu yang mampu membuat setiap pasangan tetap hidup ? "

Menyiangi ilalang tanya,
Kita rancang beragam debar sebagai mahkota,
Untuk kemudian menjadi persembahan di masing-masing kepala,
Sebagai pengingat hingga masa tua,

Bahwa,
Sejauh apapun jejak mengangkasa,
Selalu ada pulang yang menanti untuk tiba.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 2019

KOAGREGASI : penyatuan tetes-tetes kabut menjadi awan yang besar
MAGNETISME : gejala fisika pada benda yang mampu menimbulkan gaya magnet

" Karena terik selalu membuat air menguap diudara,
Angin mampu menerbangkan entah kemana,
Dan kau selalu menjadi titik balik kepada semua awal mula"

SEBATAS EPIDERMIS



Dan ketika kepak-kepak berjatuhan,
Binar-binar perlahan terbit dalam kelopakmu,
Raut kemarau yang hampir badai
Panas terik diantara rinai
Dan secarik cemas yang enggan berdamai,

Khawatir terhebat dibalik diam,
Sepi terkuat dibandingkan batu pualam.

Diujung lesung yang kau sajikan,
Kutemukan sedikit deras disana,
Menyembunyikan diri dibalik pori-pori
Melurus paksakan ujung setiap lengkung
Pada satu manusia dengan rusuk yang berkabung.

Selama ini,
aku masih menjadi sepasang telinga,
menyisir berbagai cerita, adalah takdirku untuk tetap ada,
Penelisik terbaik saat gelisahmu mendera

Sejauh ini,
aku masih menjadi sepasang mata,
Menelaah bagian terdalam,
pada celah rumpang suaramu yang berlapis bungkam
Pengamat paling hebat,
dengan debar, yang semakin terjerat.

Sedini ini,
Aku masih menyiapkan barisan jemari,
Menguatkan pondasi sekali lagi
Karena,
Ketika deras menyambangi matamu kembali,
Atau kau tersesat dalam sebuah labirin sunyi,
Akan selalu ada genggamku, yang menemanimu berulang kali.
Lagi,
Kembali,
Tanpa henti.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 26 Oktober 2019

EPIDERMIS : Lapisan kulit terluar sebagai pelindung, tidak peka, tanpa pembuluh darah

" Mungkin kau sangka rasaku hanya sebatas epidermis, bagian terluar, mudah terganti,
Namun, kau harus tahu, akulah yang berada digaris terdepan saat terik, dan mendekap paling erat saat dingin menjerat "

20/10/19

PLATINA

Diantara luas Kalahari, hingga teriknya Sahara.
Telah jatuh setetes cahaya untuk mengajari dunia.
Lembut menawan mata
Tertuang penuh dalam kemilau sebuah cawan nan bijaksana

menyuburkan,
menyejukan,
Paling manis dibanding seluruh nektar yang Tuhan ciptakan.

Pada detik yang sama,
Gema tawa pertama memenuhi lintas kejora Santorini hingga Athena.
Penyejuk ditiap telinga
Peretas rangkai kata yang terbalut metafora.

Hadir sebagai kompas diawal hari
Jejakmu membuka pintu gerbang imaji
Menjadi setapak terakhir pada proses abreaksi, dengan landai disetiap sisi

Terbentur euforia yang menjemukan
Langkahmu turun perlahan
Menyusuri ruang-ruang konsonan
Memetik buah-buah percakapan, pada rimbunnya tatap-tatap saat sapa saling tertitip.

Kau, wanita bergaun emas
Untukmu kupalingkan kedip-kedip penuh cemas, dengan mustahil menyuguhkan luka sebagai sambut meriah suatu jumpa.
Darimu, semua indah terpampang nyata
Padamu, ketenangan akan selalu bermuara

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 18 Oktober 2019

15/10/19

SIKLUS ANGIOPATI



Menyibak tirai malam diantara riuh denting gelas.
Mengamati kursi-kursi untuk dinaikan, dan beberapa lampu yang sengaja dipadamkan sebagai penegas.
Bahwa ada rindu yang perlahan meranggas

Lalu merupa kristalisasi udara,
terhirup,
kemudian mengarus diantara selaput halus, dalam celah peparu yang berongga.
Tertahan dan berotasi disana,
Berputar perlahan, lalu mengikis permukaan yang terbuka,
Lalu , meregang tanya, tentang
Akankah aku menemukanmu kembali pada rentetan malam-malamku yang samar ? Ataukah kau hanya singgah sebagai bintang pertama dengan pendar yang tak wajar ?


Disanalah ia bertunas,
Diantara rimbunan kabar yang terbias, dan rasa penasaran yang tak tuntas.
Tumbuh dengan cepat, menancap dengan kuat,
Mencibir setiap oksigen, dengan nama yang terselip, diberat molekulnya sebagai pengikat.

Kusibak kembali tirai malam diantara riuh denting gelas.
Bersanding dengan secangkir kopi, dan rindu yang begitu ranum.
Menjalar sejak detak pertama,
Hingga ingatan disudut mata,

Tentang cambukan rindu yang berirama
Tentang tepisan candu diruang hampa
Tentang sosokmu yang bersembunyi dicelah aksara,
Dan tentang harapku yang tertidur lelap didalam pusara.

- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung 2 September 2019.
siklus : putaran waktu yang didalamnya terdapat rangkaian berulang
angiopati : gangguan komplikasi yang menyerang pembuluh darah
“ pernahkah kau merasa sesak saat merindukan seseorang ?
diawali dengan rasa terbakar diantara rongga dada, kemudian menjalar ke sekujur raga,
seperti itulah rindu, yang berulangkali ditepis rindu.
akan tetap seperti itu, berulang dalam sebuah siklus “

14/10/19

DILATASI KAROTIS

Pernahkah, langit malam menghujam jantungmu dikeramaian sepi ?
Memutus aliran darah pada batang tubuh arteri,
Menghambat laju detak, 
Membius seluruh gertak,
pada perangai intuisi yang perlahan rusak.

Pernahkah, matamu dibutakan redup purnama tak berjarak ?
Mengunci tepat semua derai dibalik kelopak,
Menghapus rentang yang tak utuh,
Dengan seketika yang kemudian runtuh.

Rintik yang turun dipaksakan,
Mengalir deras, kemudian meluap dilapangnya permukaan.

Kabar pun datang menggeledah,
Menyisir tepian batas keadaan yang begitu membuncah,
Menyiasati maaf atas segala upaya, ditiap manik alveolus yang terpecah.

Aku pernah,
Mematenkan sosokmu sebagai yang terindah,
Untuk kemudian kau anggap segala tentangku hanyalah tempat singgah,
Terburu-buru berpindah, 
Bahkan sebelum terlontar ucap,
Sudah.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 10 Oktober 2019

Dilatasi : pemuaian suatu ruang, rongga dan sebagainya
Karotis : Arteri yang menyalurkan darah ke leher dan kepala

" Dikala tarikan napasmu pergi, 
Kau berhasil membuat sepasang peparu terkhianati, menghentikan setiap laju darah di pembuluh arteri, hingga detak yang di paksa untuk berhenti. Setidaknya,
Kau tahu, itulah alasan utamaku untuk mati "

02/10/19

AURUM

Dan pada akhirnya, waktu hadir kembali dengan kilauan lampu taman.
Fenomena paling dinanti, selepas pesta pora sebuah perjamuan.
Antara baris tanya sebuah rindu, dan untai langkah yang sukar bertemu.
Meluruh seketika.
memadat tiba-tiba.

Kemudian, dia berputar kembali,
Merangkum berbagai fenomena untuk kesekian kali,
Dengan pendar keemasan yang mengiringi,
Selalu pada poros yang sama,
Tetap memusat pada lengkung pertama

Kali ini dia enggan bersembunyi
Kali ini dia ingin dimaknai
Sebagai sebuah ucap yang meringkas jutaan arti
Sebagai sebuah jumpa dengan debar yang mengawali

Rindu semakin berpendar, walau temu terhadang sukar
Tatap-tatap kian berpencar, berselang do'a yang sporadis tersebar

Rindu selalu membuat detik dan detak terikat,
Maka, mari sejenak kita persingkat,
Tak perlu sebuah tanya perihal siapa yang paling sering terlibat
Karena, sejak detik pertama, 
Akulah yang sebenarnya telah terpikat.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 1 Oktober 2019

EKSTRAKSI KISAH


Bagi para penguasa akhir hari
Meneguk kopi merupakan cara paling bijaksana untuk merayakan sepi
Menepis penat yang menghampiri
Merangkum setiap kisah diantara pendar lampu kedai yang setia disinggahi
Membicarakan hal sederhana hingga lupa membeli kata
Bersenandung mesra dalam naung purnama
Itu yang kusukai dari mereka
Kumpulan manusia yang gemar menyesap kata.

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam 2019

CELOTEH KAFEIN

Ada sesuatu yang berkumpul diantara ruas lapang meja
Riuh dentingnya silih berganti dibawah temaram lampu kota
Pekat kentalnya merangkum huruf per huruf, kata per kata
Menyuling sebuah kalimat, menguap memenuhi ruang udara

Ada sesuatu yang bercerita diantara bilah kursi yang diturunkan
Sebuah sublimasi aroma perjalanan yang disempurnakan
Berkisah perihal lain pertemuan
Diiringi beberapa teguk ringan dari Kerinci yang sedikit malu untuk ditelan

Ada sesuatu yang menunggui kedai tanpa tuan
Bayang jabat perjumpaan
Melebur dalam intonasi detik dalam detak yang bersahutan
Menjadi pembuka jalan sebuah perbincangan pada tatap-tatap yang sedang dirayakan

Ada sesuatu diatas semua itu
Tumpukan meja kayu, seduhan Kopi Kerinci yang merayu, dan kumpulan jejak-jejak manusia yang bertamu

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 2019

31/08/19

SANG PEMBACA

Rona suaramu selalu menjadi awal mula
Kemudian terlantun rentetan kata dengan rasa yang tersulam sempurna
Membaur dicelah udara
Memeluk erat luka yang ditelan setiap pasang telinga

Dalam ruang tanpa tatap mata
Lidahmu menari menyusuri setiap pasangan kata
terkadang lelah,
acap kali kaku,
Hingga sebuah simbol senyum tak jarang terlontar,
mewakili sorot matamu yang mulai lesu
Dalam ruang satu suara
Puluhan jemari, bekerja sama dengan tiap kedipan netra yang telah terkoordinasi
Menjahit rasa hingga lahir pagi
Merangkum puluhan kisah, meringkas setiap makna pisah
yang kemudian terdistilasi merupa larik-larik puisi.

Dikawal sinar rembulan yang memasuki celah-celah jendela kamar
Dikelilingi alunan dering cerita yang menunggu untuk didengar
kau,
tetap setia menyimpan kisahmu dibalik layar
walau detak selalu memohon untuk terdengar

Mungkin menjadi sebuah penghormatan tertinggi
Mungkin menjadi kumpulan kalimat yang akan dilewati
Namun, terima kasih kami untukmu, telah merupa puisi

-Serdadu Pejuang Rasa, 2019

NIRMANA


Aku pernah
 menjadi bising kendaraan disore hari
Berlarian diruas jalan yang tak pernah disinggahi
Mengusik jejak yang ditinggalkan setiap pasang kaki
Kemudian berderu diantara deretan  sunyi
Hingga menggema ke seluruh penjuru bumi

Aku pernah
menjadi lampu jalan ditengah deras hujan
Menyinari tiap retak yang pernah dikisahkan
Menaungi tangismu yang dikemas kekecewaan
Lalu meredup,
Sejak melihat purnama kembali kelain pelukan

Aku pernah
menjadi senja yang selalu diacuhkan
Dengan kau,
sebagai bidadari pertama yang selalu kulibatkan
Kau tawan tiap helai saraf pada retina
Memutus peredaran disepanjang pembuluh aorta
Menyekat satu nama yang terperangkap diantara diafragma
Kemudian memuncah,
 Dan meledak,
Lalu merupa sesak
yang membakar seluruh rongga dada

Aku pernah,
Menjadi malam tanpa bintang
merupa titik paling gelap, saat ragamu terlelap
menjadi gejolak rasa paling berisik, diantara seluruh senyap
berselang tebaran senyummu yang acap kali kusesap

Berperan sebagai saksi bisu,
dalam sebuah pementasan rindu yang terkhianati waktu
Aku pernah mengagumimu segila itu
Bersembunyi dibalik untaian diksi,
Dengan sebuah mustahil untuk melukai

Mencuri setiap keping tawa,
Memanen tiap kedipan mata
Merangkum aromamu dicelah udata
Untukku ingat sebagai sebuah peristiwa
Bahwa, untuk mencintaimu hingga jejak menghabiskan langkah,
Menyesap segala gelisah, mematahkan yang tak mampu lagi patah
Setidaknya, aku pernah

- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung 2019

PARALEL


Debu bernyanyian diatas sebuah buku tanpa tuan
Terkadang, aroma lembut tinta itu masih berkeliaran
mengitari udara, bersinggungan dengan cahaya jatuh ditengah kesunyian
Berselang ringkihan lantai kayu, yang terinjak langkah tanpa haluan.

Semuanya menguap tanpa sebab,
menghilang diantara arus rotasi bumi, terlepas dari ikatan dimensi
kemudian terombang-ambing menyusuri luka diatas perlintasan pagi

termasuk kita,
semakin asing, dan menjadi-jadi
nama yang sudah tidak dikenali
temu yang tak pernah dicari
jabat yang kemudian ditinggal mati

apakah ini masih kesalahan Sang Waktu ?
yang dengan rela menjual alurnya, hanya demi menyandingkan
kaki kiri dan kanan
memotong setiap denting napasnya, demi menyatukan dua tokoh tanpa peran

Kita pernah menjadi satu paragraf yang mengagumkan
mengadu kisah ditengah riuhnya pendar kopi dan aroma senja
mencipta semesta diantara deretan aksara yang tumpah diujung pena
lalu merupa elegi paling merdu yang mengawal sebuah perayaan dari perpisahan
dengan masing masing dari kita membawa sebuah robekan

Hingga, semuanya menguap tanpa sebab
menghilang diantara arus rotasi bumi, terlepas dari ikatan dimensi
dan disini, buku itu masih tetap ada sebagai pelengkap sepi
saksi mati dari kisah yang tak mampu dibacakan kembali.
-          Serdadu Pejuang Rasa, Bandung ,2019

APOLLO


Kepadamu, yang terbit diufuk timur
Syahdu napasmu selalu menjadi sebuah awal.
Pada barisan naskah yang merambat menyusuri garis vertikal.
Diapit dua kepak sayap malaikat nan kekal

Lukis rautmu mengudara,
Merupa kreasi Tuhan paling sempurna,
Dibatas kaki langit yang  semakin menua.
Lengkung bibirmu terhampar diangkasa.
Menjadi titik seimbang gugusan Libra
Kemudian menjelma pancaran pesona termewah disekujur khatulistiwa.
Dengan pendaran galaksi yang tersemat diantara kelopak mata.

Kepadamu yang terbit diufuk timur

Penguasa kejora yang Tuhan terbitkan ditengah dunia
Kau berhasil merusak dimensi yang telah ku susun sedemikian rupa
Menghancurkan struktur waktu hingga seluruh penalaran logika
Memaksa diri berkeliling mengitari garis orbit, diselingi harap untuk berada dititik garis yang sama.
menarik setiap langkah dalam sebuah medan pengikat
menjerat rindu dalam sebuah pelukan manis begitu erat

Kemudian
Kau turun diantara rintik gerimis,
sebagai sebuah peristiwa termanis yang pernah kutulis.

Membasahi tanah,
jatuh ditengah gersang satu naskah.
kemudian terpancar rupa yang membuat budak sajak ini jatuh dalam dekap asmara

Padamu yang tenggelam di ufuk barat
tunggulah napasku datang
denganmu sebagai titik utamaku untuk pulang
untuk saling mengulum makna cinta, sebelum waktu memaksamu kembali hilang.
-          Serdadu Pejuang Rasa, Bandung , 2019

PANDEMIK AGNOSIA


Dan kemudian, aku kembali membenamkan diri  pada pekat rayuan malam.
Sibuk memunguti puing puing hati yang tertancap begitu dalam
Sebagai rutinitas utama, sebelum sepasang mataku benar-benar terpejam.

Bersenandung riuh diantara denting gelas dan pekat aroma kopi.
Menghirup keping-keping kenang yang mengitari.
Meneguk sedikit, demi sedikit tentangmu yang menyapa hati.
Dengan secercah senyum yang terperangkap dalan potret diri.

Barangkali akan tetap seperti ini.
Saling memadatkan waktu, hingga kita lupa,
bahwa ada suatu pernah yang kini telah punah
bahwa ada suatu kasih yang kini menjadi potongan-potongan kisah.
bahwa pernah singgah secercah indah, untuk kemudian saling kita recah.
kata per kata
huruf per huruf

barangkali akan tetap seperti ini.
Sirna seluruh bincang yang menghangatkan, berselang harap yang menikam dibalik kesunyian
Hingga rindu berteriak memohon,
mendekap segala kepergian, sebelum ia pulang,
 kembali kepada Sang Pembolak Balik Perasaan.

barangkali akan tetap seperti ini.
bertahan pada siapakah yang menjadi paling ?
Terjebak dalam sebuah peran asing, dengan kenangan masing-masing.

Barangkali akan tetap seperti ini.
terbiasa menjadi sepasang pujangga
menceritakan keramah tamahan luka
hingga setiap genggam yang dikisahkan
serupa kiasan dalam buku sastra.
Barangkali, aku akan tetap seperti ini.
seorang yang berulang kali kau patahkan,
menyumpahi diri atas musnahnya seluruh harapan
dan rencana yang dulu pernah coba kita sempurnakan.
Hingga hadirku kau hapus tanpa alasan,
hingga seluruh detak jantung berhasil kumakamkan.

- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 1 September 2019

pandemik : penyakit yang tersebar luas disuatu kawasan
agnosia : ketidak sanggupan mengenali benda, hilangnya kemampuan indra memahami informasi

 sejak diperkenalkan dengan sebuah kepergian, seluruh panca indera dibungkam paksa.
mata yang dibutakan, hingga akal yang dihilangkan.
namun, jemariku masih dapat bekerja sama, untuk tetap menuliskan rindu, agar mampu dikabarkan keseluruh pasang telinga,
semoga kau mendengarnya “