Lihat,
Diantara iringan awan dan do'a yang berserakan,
Kau akan menemukan warna biru paling rindu disana,
Cerah yang jatuh di tengah penasaran, lalu berakhir pada ujung pertanyaan.
" Seriuh apa warna yang kau cipta pada sepasang kelopak yang lupa merasakan warna ? "
Langit memudarkan waktu beserta rekahannya,
Meringkus para pecandu senja paling agung ,dengan jingga yang terlukis mewah,
Disana kau menjadi rona merah,
Merekah indah,
memeluk erat, perlahan merambat, menyusuri tiap lekuk pembuluh darah
Tepat, setelah purnama -purnama diterbangkan.
Dengarlah do'a yang telah kupesan,
Melarut bersama pahit yang diseduh kesepian, kita membicarakan cantikmu hingga redup dinyalakan.
Kau terbit sebagai kejora,
Pada kepingan angkasa yang kutatap sekian lama,
Waktu demi waktu,
Masa ke masa
tetap menjelang,
Karena, pada kedalaman matamulah, semua indah lukis warna, akan kembali berpulang.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 Desember 2019
16/12/19
Ekspedisi Kemarau
Sore ini, aku menemuimu sebagai mendung yang pekat,
Memeluk napas begitu erat,
Dengan sepi yang mengikat begitu lekat.
Di dalam rimba aku berada,
Menanti deras yang dijanjikan,
Berharap kita saling mengerti pesan yang disiratkan.
Di antara belantara kau telah menjadi gerimis,
Kunikmati sejuk mencaduimu sebagai khatulistiwa paling tropis
Dengan arus angin yang kian terarah,
Menuju hadirmu yang tak akan pernah musnah.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 25 November 2019
Memeluk napas begitu erat,
Dengan sepi yang mengikat begitu lekat.
Di dalam rimba aku berada,
Menanti deras yang dijanjikan,
Berharap kita saling mengerti pesan yang disiratkan.
Di antara belantara kau telah menjadi gerimis,
Kunikmati sejuk mencaduimu sebagai khatulistiwa paling tropis
Dengan arus angin yang kian terarah,
Menuju hadirmu yang tak akan pernah musnah.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 25 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
27/11/19
Titik Nol
Dari kejauhan, kulihat kelopak meranggaskan mahkotanya,
Satu demi satu, warna demi warna,
Hingga tertunduklah segala aroma dalam balutan tanda tanya,
“ Kemanakah angin ini bermuara ? apakah berakhir pada sebuah awal ?
atau bermula pada titik aba-aba ? “
Di atas sana, mendung sedang asyik menyembunyikan rintik,
Melipat rindu yang senantiasa tertitip pada gemuruh,
Mengemas khawatir penuh ratap yang kian riuh
Kemudian dia bertanya,
“ Bagaimana deras itu tercipta ? apakah dari luapan air yang tertahan ?
ataukah endapan dari debar yang tak diucapkan ? “
Jauh dari jangkauan awan,
gemintang masih tetap menorehkan cemerlangmu di kaki angkasa,
Menyelamimu hingga menerobos selaput kornea
Merangkum tapak tilas sejak napas pertama,
hingga tempat bersemayamnya do’a-do’a
Tidak ada pertanyaan kali ini,
Jemari telah mengerti,
bahwa riwayat yang telah dituliskan diam-diam
kini menjadi danau tempat segala tulisan tenggelam,
semakin dalam
semakin diam.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 27 November 2019.
Satu demi satu, warna demi warna,
Hingga tertunduklah segala aroma dalam balutan tanda tanya,
“ Kemanakah angin ini bermuara ? apakah berakhir pada sebuah awal ?
atau bermula pada titik aba-aba ? “
Di atas sana, mendung sedang asyik menyembunyikan rintik,
Melipat rindu yang senantiasa tertitip pada gemuruh,
Mengemas khawatir penuh ratap yang kian riuh
Kemudian dia bertanya,
“ Bagaimana deras itu tercipta ? apakah dari luapan air yang tertahan ?
ataukah endapan dari debar yang tak diucapkan ? “
Jauh dari jangkauan awan,
gemintang masih tetap menorehkan cemerlangmu di kaki angkasa,
Menyelamimu hingga menerobos selaput kornea
Merangkum tapak tilas sejak napas pertama,
hingga tempat bersemayamnya do’a-do’a
Tidak ada pertanyaan kali ini,
Jemari telah mengerti,
bahwa riwayat yang telah dituliskan diam-diam
kini menjadi danau tempat segala tulisan tenggelam,
semakin dalam
semakin diam.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 27 November 2019.
Label:
Feathernoon,
Prosa,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
21/11/19
Romansa di Bawah Pijakan
Potongan akar-akar rumpang,
Memancing kepalan hara tanpa huru
Menggeledah siku demi siku
Menyesap seluruh awal mula yang terbujur kaku
Potongan akar-akar rumpang
Kembali menyiangi masa yang tersirat diantara kering-kerontang
Berdialog perihal tumbuhnya tunas pertama
Hingga, sisa-sisa ocehan merpati yang tertinggal diangkasa.
Bercabang namun tak akan pernah menyesatkan
Rindang, dan begitu meneduhkan
Deras menguap diantara kalut
Terik menyeka kerumunan kabut
Potongan demi potongan mulai terpaut
Merayakan mekar pertama yang akan disambut
Bukan mawar yang diperbincangkan
Bukan melati yang mengharumkan
Mereka hanya pecahan akar-akar tanpa dedaunan.
Yang merekam kisah romansa dibawah pijakan.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019
Memancing kepalan hara tanpa huru
Menggeledah siku demi siku
Menyesap seluruh awal mula yang terbujur kaku
Potongan akar-akar rumpang
Kembali menyiangi masa yang tersirat diantara kering-kerontang
Berdialog perihal tumbuhnya tunas pertama
Hingga, sisa-sisa ocehan merpati yang tertinggal diangkasa.
Bercabang namun tak akan pernah menyesatkan
Rindang, dan begitu meneduhkan
Deras menguap diantara kalut
Terik menyeka kerumunan kabut
Potongan demi potongan mulai terpaut
Merayakan mekar pertama yang akan disambut
Bukan mawar yang diperbincangkan
Bukan melati yang mengharumkan
Mereka hanya pecahan akar-akar tanpa dedaunan.
Yang merekam kisah romansa dibawah pijakan.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
Panggung Musim Kelima
Sejak runtuhnya petang,
Kidung-kidung perlahan dimainkan
Hingga tanah bijana mengalami pembusukan
Dan kelakar do'a mulai memenuhi seluruh ruangan
Sejak dilipatnya malam
Purnama berkeliling mengitari garis lintas
Memelas pada setiap Tuhan yang pantas
Mengemas keping-keping percaya yang terlepas
Sejak retaknya bilik-bilik pagi
Jarum-jarum berhenti kembali
Setiap sudut serupa duri
Mengecupi ubun-ubun, hingga menjalar ke ruas ruas kaki.
Kini do'a-do'a serupa obituari
Sekat-sekat udara menjadi elegi
Pada pekik sepi, dan peluh yang mencuat tanpa henti
Sejak pudarnya warna pada senja kala
Kepakan sayap mulai bersuara
Menyuguhkan dingin selimut yang gulita
Menjadikannya tempat paling istimewa,
yang menahanmu untuk tetap ada.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019
Kidung-kidung perlahan dimainkan
Hingga tanah bijana mengalami pembusukan
Dan kelakar do'a mulai memenuhi seluruh ruangan
Sejak dilipatnya malam
Purnama berkeliling mengitari garis lintas
Memelas pada setiap Tuhan yang pantas
Mengemas keping-keping percaya yang terlepas
Sejak retaknya bilik-bilik pagi
Jarum-jarum berhenti kembali
Setiap sudut serupa duri
Mengecupi ubun-ubun, hingga menjalar ke ruas ruas kaki.
Kini do'a-do'a serupa obituari
Sekat-sekat udara menjadi elegi
Pada pekik sepi, dan peluh yang mencuat tanpa henti
Sejak pudarnya warna pada senja kala
Kepakan sayap mulai bersuara
Menyuguhkan dingin selimut yang gulita
Menjadikannya tempat paling istimewa,
yang menahanmu untuk tetap ada.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
19/11/19
Rentang
Barangkali,
Hanya sedekat jemari dan kaca-kaca yang dinanti hujan.
Jumpa kita tersekat satuan.
Kau adalah suhu dinding kamar, dan aku adalah pantulan cahaya ditengah deras yang berbinar.
Bersama,
kita menjadi embun,
Tempat simbol hati berkerumun,
hilang seketika, tersapu rindu yang menahun.
Barangkali,
Hanya sebatas akrab rentetan klausa dalam frasa
Debar yang ada, tak mampu diredam aksara
Bersama,
Kita mengisi rumpang bagian alinea,
Terpisah, kita menjadi yatim dan piatu puluhan kata
Barangkali,
Hanya sebatas ampas dan kopi,
Bersama, kita menjadi pahit sempurna yang bermuara pada lidah manusia,
Mengalir menuju pencernaan, lalu terserap sebagai ketenangan yang maha dahsyat.
Kita bisa lebih lancang dari rintik yang memeluk tanah,
Bisa menjadi yang paling keras kepala dibanding gemintang ditengah lampu kota.
Barangkali, angkasa jemu dengan untaian nama yang sama,
Maka, kita cukupkan sejenak dan mulailah menjadi paling berisik diantara sunyi,
Hingga kelak, ketika lagu-lagu itu mulai bersuara,
Segalamu akan kembali sebagai yang luar biasa.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 19 November 2019
Hanya sedekat jemari dan kaca-kaca yang dinanti hujan.
Jumpa kita tersekat satuan.
Kau adalah suhu dinding kamar, dan aku adalah pantulan cahaya ditengah deras yang berbinar.
Bersama,
kita menjadi embun,
Tempat simbol hati berkerumun,
hilang seketika, tersapu rindu yang menahun.
Barangkali,
Hanya sebatas akrab rentetan klausa dalam frasa
Debar yang ada, tak mampu diredam aksara
Bersama,
Kita mengisi rumpang bagian alinea,
Terpisah, kita menjadi yatim dan piatu puluhan kata
Barangkali,
Hanya sebatas ampas dan kopi,
Bersama, kita menjadi pahit sempurna yang bermuara pada lidah manusia,
Mengalir menuju pencernaan, lalu terserap sebagai ketenangan yang maha dahsyat.
Kita bisa lebih lancang dari rintik yang memeluk tanah,
Bisa menjadi yang paling keras kepala dibanding gemintang ditengah lampu kota.
Barangkali, angkasa jemu dengan untaian nama yang sama,
Maka, kita cukupkan sejenak dan mulailah menjadi paling berisik diantara sunyi,
Hingga kelak, ketika lagu-lagu itu mulai bersuara,
Segalamu akan kembali sebagai yang luar biasa.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 19 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
Narasi Ilalang
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
Tepat, ditepian halimun yang berkerumun,
Tatap pemuda itu berlarian,
Mencari sudut-sudut persembunyian,
Dicelah bebatuan,
dibalik karpet kemerahan,
ditengah telapak tangan,
di jari-jari yang dikepalkan,
pada berkah-berkah yang dirapalkan
hingga, disela sorak tangis yang bersahutan.
“ Aku menemukanmu ! “
sahut detik pertama yang tertawa,
detik kedua, deras menyambangi pelupuk mata,
dan detik ketiga, hening bertamu tanpa mengenal kala.
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
Pemuda itu kini mengunyah sisa langkah
Kelu lidah penuh liku luka kata-kata batinnya
Memuntahkan sumpah serapah, dia tertawa
Lekuk syaraf kian menebal
Parau tawa tersengal-sengal, sayup sayup perlahan redup
Tenggelam diatas ranjang paling gulita
“ Indah sekali rasanya “
bisik aroma tanah dan ragam warna bunga kamboja
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
“ Tahukah tuan, siapa yang paling merasa riang ?
Sepasang malaikat,
Mereka hanya tahu cara tertawa, ditengah tiap tangisan, diatas kain yang diikatkan, dan
disela-sela tanah pemakaman “
Aku tahu,
Akulah sepenggal sajak jalang, yang tengah dibacakan dikerumunan ilalang
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 18 November 2019
Tepat, ditepian halimun yang berkerumun,
Tatap pemuda itu berlarian,
Mencari sudut-sudut persembunyian,
Dicelah bebatuan,
dibalik karpet kemerahan,
ditengah telapak tangan,
di jari-jari yang dikepalkan,
pada berkah-berkah yang dirapalkan
hingga, disela sorak tangis yang bersahutan.
“ Aku menemukanmu ! “
sahut detik pertama yang tertawa,
detik kedua, deras menyambangi pelupuk mata,
dan detik ketiga, hening bertamu tanpa mengenal kala.
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
Pemuda itu kini mengunyah sisa langkah
Kelu lidah penuh liku luka kata-kata batinnya
Memuntahkan sumpah serapah, dia tertawa
Lekuk syaraf kian menebal
Parau tawa tersengal-sengal, sayup sayup perlahan redup
Tenggelam diatas ranjang paling gulita
“ Indah sekali rasanya “
bisik aroma tanah dan ragam warna bunga kamboja
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
“ Tahukah tuan, siapa yang paling merasa riang ?
Sepasang malaikat,
Mereka hanya tahu cara tertawa, ditengah tiap tangisan, diatas kain yang diikatkan, dan
disela-sela tanah pemakaman “
Aku tahu,
Akulah sepenggal sajak jalang, yang tengah dibacakan dikerumunan ilalang
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 18 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
Tuanrusa
Vista Genesis
Belum lama kitab-kitab kembali menuju sepi,
Kumpulan malaikat turun menyiangi sisa surgawi
Kisah legendaris metamorfosa sunyi
Hingga kelahiran yang ditepis mati.
Menyusuri bekas kecupan Sang Pujangga dari Avon
Dilekuk bibirmu yang kini merupa puisi
Mata ini menjadi saksi hidup sepenggal risalah penciptaan, untuk kemudian diterjemahkan kedalam satu sosok keindahan.
Dibibirku, kau terlukis sebagai secangkir anggur merah,
Ranum manis namamu rimbun dipermukaan lidah,
Lembut rerumputan bersarang diatas kasar epidermis yang terasah
Mengakar lebih dalam,
Mencuat kesetiap indera, menjelma elok cakrawala dipenghujung jumpa.
Ayat-ayat menyebutmu sebagai wanita
Malaikat memanggilmu Si Gadis Belia
Sedangkan, aku menemuimu sebagai sisa Taman Firdaus yang tertinggal di dunia.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 16 November 2019
Kumpulan malaikat turun menyiangi sisa surgawi
Kisah legendaris metamorfosa sunyi
Hingga kelahiran yang ditepis mati.
Menyusuri bekas kecupan Sang Pujangga dari Avon
Dilekuk bibirmu yang kini merupa puisi
Mata ini menjadi saksi hidup sepenggal risalah penciptaan, untuk kemudian diterjemahkan kedalam satu sosok keindahan.
Dibibirku, kau terlukis sebagai secangkir anggur merah,
Ranum manis namamu rimbun dipermukaan lidah,
Lembut rerumputan bersarang diatas kasar epidermis yang terasah
Mengakar lebih dalam,
Mencuat kesetiap indera, menjelma elok cakrawala dipenghujung jumpa.
Ayat-ayat menyebutmu sebagai wanita
Malaikat memanggilmu Si Gadis Belia
Sedangkan, aku menemuimu sebagai sisa Taman Firdaus yang tertinggal di dunia.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 16 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
12/11/19
SURAT KEPADA KOTA
Di ruas persimpangan itu, aku menemuimu sebagai lampu taman dikala hujan.
Kilauan pemeluk mata,
temaram mengisi ruang-ruang kosong disudut retina,
lalu jatuh sebagai sosok terindah dalam kepala.
Di ujung jalanan Bandung, aku mengenalimu sebagai bising debar yang tak terbendung.
Lekat-lekat pada permukaan membran telinga
Membisukan mata
dengan namamu yang menjadi keindahan diantara gedung kota
Di langit ini, aku mengingatmu sebagai warna biru diawal hari
merupa kaidah semesta bertegur sapa,
antara do’a-do’a
dan rindu yang ditelantarkan jarak
Kembali diruas persimpangan itu,
aku menemukan sebuah papan jalan tanpa bernama.
Rekaan waktu selepas hujan, sebagai kenangan yang akan semesta tuliskan.
bahwa kalimat pertama, adalah kau yang menjadi puan, denganku sebagai titik, sebagai tuan.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 November 2019
Kilauan pemeluk mata,
temaram mengisi ruang-ruang kosong disudut retina,
lalu jatuh sebagai sosok terindah dalam kepala.
Di ujung jalanan Bandung, aku mengenalimu sebagai bising debar yang tak terbendung.
Lekat-lekat pada permukaan membran telinga
Membisukan mata
dengan namamu yang menjadi keindahan diantara gedung kota
Di langit ini, aku mengingatmu sebagai warna biru diawal hari
merupa kaidah semesta bertegur sapa,
antara do’a-do’a
dan rindu yang ditelantarkan jarak
Kembali diruas persimpangan itu,
aku menemukan sebuah papan jalan tanpa bernama.
Rekaan waktu selepas hujan, sebagai kenangan yang akan semesta tuliskan.
bahwa kalimat pertama, adalah kau yang menjadi puan, denganku sebagai titik, sebagai tuan.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
KONTEMPLASI SATU ARAH
Untuk debar yang dibungkam sepi,
coretan acak tentang kita telah mengudara mengitari bumi
goresan paling membentang,
serupa cakrawala yang membenang
membelit setiap sisi, membentuk gurat-gurat diselaput mimpi.
Untuk denting yang bernafas diantara hampa,
saduran luka-liku lara, telah sampailah kesetiap pasang telinga
reka suara tawa, tangis, canda, bahagia, dan luka tertulis pada partiturnya
membuai ego yang berdamai, hingga ledakan badai dipelupuk mata.
Untuk do’a-do’a yang tersimpul di ujung usia
Kelopak-kelopak mulai merekah menggantikan senja
Gugur satu persatu menjadikannya sebongkah riasan mahkota,
Pendar terindah yang dirawat semesta.
Mendekatlah,
kusematkan beberapa kisah kecil ditiap bidangnya,
Perihal ranum asmara dibawah semesta,
Hangat rumah dipinggiran desa,
Sayur-mayur yang kau ingin tanam dihalamannya,
Lusinan jejak kecil yang memanggilmu mama,
Tawa riang disisi-sisi meja
Dan kisah lain yang telah kita susun sedemikian rupa.
Hingga manis gula-gula kian melarut
Rindu untukmu semakin kalut.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 November 2019
coretan acak tentang kita telah mengudara mengitari bumi
goresan paling membentang,
serupa cakrawala yang membenang
membelit setiap sisi, membentuk gurat-gurat diselaput mimpi.
Untuk denting yang bernafas diantara hampa,
saduran luka-liku lara, telah sampailah kesetiap pasang telinga
reka suara tawa, tangis, canda, bahagia, dan luka tertulis pada partiturnya
membuai ego yang berdamai, hingga ledakan badai dipelupuk mata.
Untuk do’a-do’a yang tersimpul di ujung usia
Kelopak-kelopak mulai merekah menggantikan senja
Gugur satu persatu menjadikannya sebongkah riasan mahkota,
Pendar terindah yang dirawat semesta.
Mendekatlah,
kusematkan beberapa kisah kecil ditiap bidangnya,
Perihal ranum asmara dibawah semesta,
Hangat rumah dipinggiran desa,
Sayur-mayur yang kau ingin tanam dihalamannya,
Lusinan jejak kecil yang memanggilmu mama,
Tawa riang disisi-sisi meja
Dan kisah lain yang telah kita susun sedemikian rupa.
Hingga manis gula-gula kian melarut
Rindu untukmu semakin kalut.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
10/11/19
KALA MEKAR
Pada kuncup-kuncup purnama selepas November,
Bermekaran sajak-sajak rindu yang ditepis hujan
Merekah merah tiap mahkotanya, tajam pula wewangian, menjadikannya sebuah berkah.
Membelit debar yang meradang,
Merindu kepingan darah yang lupa pulang,
Penolakan terhebat pada celah rumpang,
Antara rusuk dan lengkung yang merasuk.
Disini namamu masih kumakamkan, dipangkal tenggorokan,
Dilaring-laring yang bercelah,
Dibawah lidah,
Dan disekat peparu yang hampir pecah.
Sesekali kugali,
Untuk dipelajari,
Bahwa yang waktu adalah yang mati
Yang temu ialah yang jemu
Yang abadi adalah do'a-do'a manusia
pada Tuhan dengan nama berbeda.
Dan yang merusak, adalah harapan yang merisak.
Kupungut huruf per huruf hingga terlepas,
Untukku seduh bersama alir waktu di pipimu yang gemas
Kala itu,
Musim itu,
Hujan itu,
Tawa itu,
Kamu itu,
Rindu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam,
10 November 2019
Bermekaran sajak-sajak rindu yang ditepis hujan
Merekah merah tiap mahkotanya, tajam pula wewangian, menjadikannya sebuah berkah.
Membelit debar yang meradang,
Merindu kepingan darah yang lupa pulang,
Penolakan terhebat pada celah rumpang,
Antara rusuk dan lengkung yang merasuk.
Disini namamu masih kumakamkan, dipangkal tenggorokan,
Dilaring-laring yang bercelah,
Dibawah lidah,
Dan disekat peparu yang hampir pecah.
Sesekali kugali,
Untuk dipelajari,
Bahwa yang waktu adalah yang mati
Yang temu ialah yang jemu
Yang abadi adalah do'a-do'a manusia
pada Tuhan dengan nama berbeda.
Dan yang merusak, adalah harapan yang merisak.
Kupungut huruf per huruf hingga terlepas,
Untukku seduh bersama alir waktu di pipimu yang gemas
Kala itu,
Musim itu,
Hujan itu,
Tawa itu,
Kamu itu,
Rindu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam,
10 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
Tuanrusa
TAMAN
Dan pada kecupan sore,
Kembali kukibarkan pelukan paling jauh untuk cemasmu yang mulai riuh.
Beruntun kulepaskan rindu yang enggan mengalah, menuntun belahan arus menuju belantara yang tak terjamah.
Ragam cabang telah tersaji, untuk kau seleksi,
Kukembalikan semua pada dasar akal,
Berdiam diri pada kubangan dangkal,
Ataukah menyusuri lagi aspal jalanan dengan goresan kisah yang dirapal ?
Kutunggu kau dibawah bianglala,
Temui aku dengan senyum dan sepasang maaf, untuk semua yang waktu perbuat.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 10 November 2019
Kembali kukibarkan pelukan paling jauh untuk cemasmu yang mulai riuh.
Beruntun kulepaskan rindu yang enggan mengalah, menuntun belahan arus menuju belantara yang tak terjamah.
Ragam cabang telah tersaji, untuk kau seleksi,
Kukembalikan semua pada dasar akal,
Berdiam diri pada kubangan dangkal,
Ataukah menyusuri lagi aspal jalanan dengan goresan kisah yang dirapal ?
Kutunggu kau dibawah bianglala,
Temui aku dengan senyum dan sepasang maaf, untuk semua yang waktu perbuat.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 10 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
06/11/19
LUKIS TEPIAN WAKTU
Setelah bertegur sapa dengan ragam praduga,
Secangkir kopi kembali melarutkan bias-bias kata
Beredar kesetiap pasang telinga yang sejak malam melangkah, namun tetap di tempat yang sama
Barisan papila kerap menagih manis seruan namamu,
Memaknai setiap binomial yang tersemat pada sisa napasmu,
Sebagai sebuah kompendium atas proses penciptaan rindu
" Bagian mana lagi, tentangmu yang kulewatkan ? Ataukah harus kucatat beberapa alinea paling hangat, untuk kemudian kujadikan alternatif pembaharuan ? "
Tutur sepasang kelopak pada goresan yang memberontak,
" Maka, jadikanlah dia sebuah gambar !
Pahat diantara celah angkasa !
Disela-sela lantunan do'a !
Dipermukaan dinding gedung-gedung kota !
Diatas hamparan aspal jalan raya !
Pada papan nama persimpangan tua !
Pada langit-langit mulut yang kini tunawicara !
Pada celah rongga dada, dan serambi kanan yang menunggangi detak tanpa irama !
Pahat !
Sedalam mungkin !
Sejelas mungkin !
Sebagai penerjemah, dari kecewa yang tak mampu diredam kata
Rindu yang mendidihkan rasa,
Dan penggambaran dari luka, sebagai sebuah seni paling sempurna "
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 6 November 2019
Secangkir kopi kembali melarutkan bias-bias kata
Beredar kesetiap pasang telinga yang sejak malam melangkah, namun tetap di tempat yang sama
Barisan papila kerap menagih manis seruan namamu,
Memaknai setiap binomial yang tersemat pada sisa napasmu,
Sebagai sebuah kompendium atas proses penciptaan rindu
" Bagian mana lagi, tentangmu yang kulewatkan ? Ataukah harus kucatat beberapa alinea paling hangat, untuk kemudian kujadikan alternatif pembaharuan ? "
Tutur sepasang kelopak pada goresan yang memberontak,
" Maka, jadikanlah dia sebuah gambar !
Pahat diantara celah angkasa !
Disela-sela lantunan do'a !
Dipermukaan dinding gedung-gedung kota !
Diatas hamparan aspal jalan raya !
Pada papan nama persimpangan tua !
Pada langit-langit mulut yang kini tunawicara !
Pada celah rongga dada, dan serambi kanan yang menunggangi detak tanpa irama !
Pahat !
Sedalam mungkin !
Sejelas mungkin !
Sebagai penerjemah, dari kecewa yang tak mampu diredam kata
Rindu yang mendidihkan rasa,
Dan penggambaran dari luka, sebagai sebuah seni paling sempurna "
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 6 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
rasadalamaksara,
Sajak,
Tuanrusa
05/11/19
PADA CELAH JEDA
Pada malam-malam yang berkaca di kaki bulan,
Rangkai pesan dipintal sedemikian rupa,
Tersulam pada batang tubuh angkasa
Menjadikanmu sebuah asma yang berserakan disepanjang jangka
Memikat bagian-bagian yang tercantum pada bebunyian
Beranjak menyusuri luka-liku berbagai kesan
Dengan atau tanpa penopang jejak yang dilangkahkan, sebagai bungkam yang mekar disudut alasan.
Disana, namamu merabas
Menjelma penyintas yang berlari kecil pada lintas,
antara liar yang terbebas dan tatap yang membekas
Berlinang lepas, kemudian jatuh pada lahan-lahan cemas yang dikebumikan.
Kau, adalah pohon rimbun paling bersemi ditepian sanubari,
Berbatang kuat,
Berdaun lebat,
Dengan buah yang merupa cemas paling hebat untukku pelajari
Takjub paling luar biasa, bagi ketakutan yang menjadikannya manusia.
Secepat itu kau tumbuh,
Seindah itu debar untukmu bergemuruh.
Pada malam yang terasa asing,
Bagian pelupuk memanen rautmu atas keindahan masing-masing.
Sungging ayumu,
Manis gelakmu,
Kemas tuturmu,
Dan hal indah lain yang bersemayam pada atmamu.
Kau, kini merupa taman dicelah pagar
Sejuk terik yang tersamar,
Paling cerah bagi seluruh danau,
Dengan hadirku disana, sebagai penjaga dari kebun igau yang meracau kacau,
Pada malam-malam selanjutnya,
Aku masih menjadi pengagumu,
Menikmati teduh rayumu,
Sejauh itu,
Sediam itu
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 5 November 2019
Rangkai pesan dipintal sedemikian rupa,
Tersulam pada batang tubuh angkasa
Menjadikanmu sebuah asma yang berserakan disepanjang jangka
Memikat bagian-bagian yang tercantum pada bebunyian
Beranjak menyusuri luka-liku berbagai kesan
Dengan atau tanpa penopang jejak yang dilangkahkan, sebagai bungkam yang mekar disudut alasan.
Disana, namamu merabas
Menjelma penyintas yang berlari kecil pada lintas,
antara liar yang terbebas dan tatap yang membekas
Berlinang lepas, kemudian jatuh pada lahan-lahan cemas yang dikebumikan.
Kau, adalah pohon rimbun paling bersemi ditepian sanubari,
Berbatang kuat,
Berdaun lebat,
Dengan buah yang merupa cemas paling hebat untukku pelajari
Takjub paling luar biasa, bagi ketakutan yang menjadikannya manusia.
Secepat itu kau tumbuh,
Seindah itu debar untukmu bergemuruh.
Pada malam yang terasa asing,
Bagian pelupuk memanen rautmu atas keindahan masing-masing.
Sungging ayumu,
Manis gelakmu,
Kemas tuturmu,
Dan hal indah lain yang bersemayam pada atmamu.
Kau, kini merupa taman dicelah pagar
Sejuk terik yang tersamar,
Paling cerah bagi seluruh danau,
Dengan hadirku disana, sebagai penjaga dari kebun igau yang meracau kacau,
Pada malam-malam selanjutnya,
Aku masih menjadi pengagumu,
Menikmati teduh rayumu,
Sejauh itu,
Sediam itu
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 5 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
04/11/19
DIALOG DUA BIDANG
Kini malam tak seterang biasanya
Terlalu pekat untuk ditangkap selaput jala
Sedikit kehilangan riuh diantara udara
Dan, banyak menghadirkan cemas disela-selanya
Konfrontasi purnama dengan semesta menjadi cerita paling berisik disekujur sunyi
Serupa proses deflagrasi tanpa inti
Dengan debat dan terka yang hadir bertubi - tubi
Ya,
Sebagai bidak, kita hanya mampu meringkus gerombolan prasangka begitu banyak,
Entah penjajalan dari Sang Penulis Predesitnasi, ataukah lini masa dan semesta yang sedang berkonspirasi
Entahlah,
Sebagai bidak, kita hanya mampu meringkus gerombolan prasangka begitu banyak,
Pada akhirnya, kita kembali menjadi frasa
dalam naskah rumpang,
Serupa proses akulturasi masing-masing diksi untuk kemudian dimaknai,
Ataukah tetap bersimpuh dibalik barisan kalimat repetisi.
Tak ingatkah ?
Kita pernah dibaca sebagai kalimat majemuk, saling menyelamatkan Sang Waktu yang berada diujung tanduk,
Hingga apresiasi pun terdengar bagai kalimat pengutuk.
Tak inginkah ?
Mereka membaca kita kembali sebagai naskah yang utuh,
Pelengkap segala separuh
Menebus debar yang hampir runtuh,
Hangat yang menyeluruh
Paling jenaka pada lara yang luruh,
Hingga menjadi penyangga tiap jejak yang lumpuh.
Aku ingin itu,
Menjadi bacaan berulang sebelum semuanya hilang
Aku ingin itu,
Aku
Ingin
Itu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 3 November 2019
*Konfrontasi : permusuhan, pertentangan
Deflagrasi : proses pembakaran dalam waktu singkat, disertai nyala terang dan suara gemertak
Predestinasi : Ketentuan Tuhan
Deskripsi :
" Semesta tercipta dari dua bidang berlawanan dalam sebuah kesatuan,
Siang dan malam, kiri dan kanan, langit dan bumi, hidup dan mati. Dapatkah kau bayangkan jika satu bidang kemudian hilang ?
Aku tak ingin hanya menjadi malam tanpa siang, langit tanpa pijakan bumi, dan hidup tanpa mengenal mati.
Maka, tetaplah menjadi bidang datar yang selaras,
Jika Siang dan malam dapat dikatakan waktu, Kiri dan kanan menjadi sebuah arah, lalu, aku dan kamu melebur dalam kata Kita "
Terlalu pekat untuk ditangkap selaput jala
Sedikit kehilangan riuh diantara udara
Dan, banyak menghadirkan cemas disela-selanya
Konfrontasi purnama dengan semesta menjadi cerita paling berisik disekujur sunyi
Serupa proses deflagrasi tanpa inti
Dengan debat dan terka yang hadir bertubi - tubi
Ya,
Sebagai bidak, kita hanya mampu meringkus gerombolan prasangka begitu banyak,
Entah penjajalan dari Sang Penulis Predesitnasi, ataukah lini masa dan semesta yang sedang berkonspirasi
Entahlah,
Sebagai bidak, kita hanya mampu meringkus gerombolan prasangka begitu banyak,
Pada akhirnya, kita kembali menjadi frasa
dalam naskah rumpang,
Serupa proses akulturasi masing-masing diksi untuk kemudian dimaknai,
Ataukah tetap bersimpuh dibalik barisan kalimat repetisi.
Tak ingatkah ?
Kita pernah dibaca sebagai kalimat majemuk, saling menyelamatkan Sang Waktu yang berada diujung tanduk,
Hingga apresiasi pun terdengar bagai kalimat pengutuk.
Tak inginkah ?
Mereka membaca kita kembali sebagai naskah yang utuh,
Pelengkap segala separuh
Menebus debar yang hampir runtuh,
Hangat yang menyeluruh
Paling jenaka pada lara yang luruh,
Hingga menjadi penyangga tiap jejak yang lumpuh.
Aku ingin itu,
Menjadi bacaan berulang sebelum semuanya hilang
Aku ingin itu,
Aku
Ingin
Itu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 3 November 2019
*Konfrontasi : permusuhan, pertentangan
Deflagrasi : proses pembakaran dalam waktu singkat, disertai nyala terang dan suara gemertak
Predestinasi : Ketentuan Tuhan
Deskripsi :
" Semesta tercipta dari dua bidang berlawanan dalam sebuah kesatuan,
Siang dan malam, kiri dan kanan, langit dan bumi, hidup dan mati. Dapatkah kau bayangkan jika satu bidang kemudian hilang ?
Aku tak ingin hanya menjadi malam tanpa siang, langit tanpa pijakan bumi, dan hidup tanpa mengenal mati.
Maka, tetaplah menjadi bidang datar yang selaras,
Jika Siang dan malam dapat dikatakan waktu, Kiri dan kanan menjadi sebuah arah, lalu, aku dan kamu melebur dalam kata Kita "
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
02/11/19
PULANG PADA PALUNG MATAMU
Kudapati pagi menyembunyikan diri,
dibawah naungan rangka rangkai jarak diawal hari
Menghitung kilau awan,
Mengeja butir pasir,
Menyulam desir angin,
Hingga merakit kembali segala ingin,
Lalu,
Kutemukan petang berlalu-lalang,
Bingung yang tampak disekujur ruang,
Kembali berputar mengitari kepala,
Mengorbit pada batas garis maya,
Lalu mendarat sebagai hujan yang tertahan disekitar mata.
Detik pertama selalu mampu menyekat ruang pernafasan,
Menggurui jantung agar berdetak tak karuan, dengan jarak yang aliri pembuluh sebagai sebuah hambatan.
Kemudian, kujumpai malam tengah berbaring diatas ranjang,
Mengeluhkan purnama lain yang hilang
Dengan matamu sebagai tempat ternyaman gemintang bersarang.
Hingga keesokan hari, semua hilang tak kutemui kembali,
Rombongan awan,
Ombak lautan,
Bahkan terik yang memburu,
Segalanya sepakat untuk bersemayam pada matamu.
Sedalam itu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 2 november 2019
dibawah naungan rangka rangkai jarak diawal hari
Menghitung kilau awan,
Mengeja butir pasir,
Menyulam desir angin,
Hingga merakit kembali segala ingin,
Lalu,
Kutemukan petang berlalu-lalang,
Bingung yang tampak disekujur ruang,
Kembali berputar mengitari kepala,
Mengorbit pada batas garis maya,
Lalu mendarat sebagai hujan yang tertahan disekitar mata.
Detik pertama selalu mampu menyekat ruang pernafasan,
Menggurui jantung agar berdetak tak karuan, dengan jarak yang aliri pembuluh sebagai sebuah hambatan.
Kemudian, kujumpai malam tengah berbaring diatas ranjang,
Mengeluhkan purnama lain yang hilang
Dengan matamu sebagai tempat ternyaman gemintang bersarang.
Hingga keesokan hari, semua hilang tak kutemui kembali,
Rombongan awan,
Ombak lautan,
Bahkan terik yang memburu,
Segalanya sepakat untuk bersemayam pada matamu.
Sedalam itu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 2 november 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
ELONGASI UJUNG PENA
Pada catatan lembar kesebelas,
Hadirmu kembali mengunjungi dataran tandus sebelum deras,
Membawa lagi rintik, dibalik gulungan angin yang begitu memelas
Rentetan senyum dingin, kembali kurangkap semua tanpa membekas
Dalam kekosongan laci-laci meja,
Namamu kutulis tanpa jeda,
Merangkai risalah, pada ingatan yang terpecah-belah,
Dengan diriku sebagai titik, dan kau, adalah tanda koma yang kerap berpindah
Menyiangi beragam alasan
Menyirami berbagai pertanyaan
Untuk kau jadikan pembaharuan,
Pada siklus hujan,
yang tertahan di setiap penghujung bulan,
Di ujung setiap kedipan.
Bolehkah catatan itu kubaca ulang ?
Pada baris obrolan ringan,
menatap senja diperjalanan,
Hal-hal memalukan,
Bincang-bincang kesedihan,
Solusi sepi kekecewaan,
dan kenangan lain di beberapa bagian,
Bolehkah ?
Sebelum sosokmu menjadi puisi,
atau debar mulai kehilangan arti.
Lihatlah tubuh siapa yang jatuh berulang kali,
Genggam kuat luka jemari,
Perjuangan yang dimakamkan,
Sabar yang tak sadarkan,
Hingga hadir yang dihilangkan.
Maaf, kau masih tetap kujadikan tanda koma di setiap kata,
Metafora yang kuanggap nyata,
Dan pusat kerinduan, dari luka yang keras kepala.
Seindah ini menuliskan sosok manusia, sebagai lara
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 2 November 2019
ELONGASI : Sudut antara dua benda langit terhadap satu titik acuan tertentu,
" Setelah kejadian itu, namamu kembali kutuliskan sebagai lara paling nikmat untuk ditulis,
Luka terindah untuk dilukis,
Sekaligus bahagia sementara yang paling bengis,
Terima kasih untuk pengalamannya, maaf, rinduku masih tetap keras kepala, seperti sediakala "
Hadirmu kembali mengunjungi dataran tandus sebelum deras,
Membawa lagi rintik, dibalik gulungan angin yang begitu memelas
Rentetan senyum dingin, kembali kurangkap semua tanpa membekas
Dalam kekosongan laci-laci meja,
Namamu kutulis tanpa jeda,
Merangkai risalah, pada ingatan yang terpecah-belah,
Dengan diriku sebagai titik, dan kau, adalah tanda koma yang kerap berpindah
Menyiangi beragam alasan
Menyirami berbagai pertanyaan
Untuk kau jadikan pembaharuan,
Pada siklus hujan,
yang tertahan di setiap penghujung bulan,
Di ujung setiap kedipan.
Bolehkah catatan itu kubaca ulang ?
Pada baris obrolan ringan,
menatap senja diperjalanan,
Hal-hal memalukan,
Bincang-bincang kesedihan,
Solusi sepi kekecewaan,
dan kenangan lain di beberapa bagian,
Bolehkah ?
Sebelum sosokmu menjadi puisi,
atau debar mulai kehilangan arti.
Lihatlah tubuh siapa yang jatuh berulang kali,
Genggam kuat luka jemari,
Perjuangan yang dimakamkan,
Sabar yang tak sadarkan,
Hingga hadir yang dihilangkan.
Maaf, kau masih tetap kujadikan tanda koma di setiap kata,
Metafora yang kuanggap nyata,
Dan pusat kerinduan, dari luka yang keras kepala.
Seindah ini menuliskan sosok manusia, sebagai lara
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 2 November 2019
ELONGASI : Sudut antara dua benda langit terhadap satu titik acuan tertentu,
" Setelah kejadian itu, namamu kembali kutuliskan sebagai lara paling nikmat untuk ditulis,
Luka terindah untuk dilukis,
Sekaligus bahagia sementara yang paling bengis,
Terima kasih untuk pengalamannya, maaf, rinduku masih tetap keras kepala, seperti sediakala "
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
29/10/19
RISALAH 4 MUSIM
Kembali menuju sekumpulan senja yang berjatuhan,
Dari atas puncak seluruh ingatan,
Kudapati kau, berbisik pada hujan,
Mengarahkan ujung jemari, ke tempat terbitnya kemarau berkepanjangan,
Sebelum akhirnya menghilang, diantara semua kebisingan.
Kembali menuju kumpulan bunga bermekaran,
Dari balik batang pinus,
Kudapati kau, menjelma kupu-kupu
Kepak tersejuk diantara badai yang bersemi merdu,
Peretas musim terhebat pada arus angin yang tak menentu
Sebelum akhirnya menghilang, tertiup deru diambang waktu,
Dan, kembali pada seluruh awal mula,
Diantara celah tanah,
Kudapati kau memijaki bumi,
Penguasa seluruh kemarau,
Menjadikannya sejuk rintik ditengah badai
Menjelma titik terakhir dari proses kreasi penuh kuasa Sang Maha,
Dengan yakin, bahwa surga telah Tuhan turunkan disana.
Napasmu adalah ayat-ayat yang diberkahi,
Rautmu, serupa cetak biru paras bidadari,
Tuturmu, selayak-layaknya kitab yang dituliskan kembali,
Untukku baca berulang kali,
sebagai hamba paling sunyi dari jasad yang dihidupkan sekali lagi.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Oktober 2019
Dari atas puncak seluruh ingatan,
Kudapati kau, berbisik pada hujan,
Mengarahkan ujung jemari, ke tempat terbitnya kemarau berkepanjangan,
Sebelum akhirnya menghilang, diantara semua kebisingan.
Kembali menuju kumpulan bunga bermekaran,
Dari balik batang pinus,
Kudapati kau, menjelma kupu-kupu
Kepak tersejuk diantara badai yang bersemi merdu,
Peretas musim terhebat pada arus angin yang tak menentu
Sebelum akhirnya menghilang, tertiup deru diambang waktu,
Dan, kembali pada seluruh awal mula,
Diantara celah tanah,
Kudapati kau memijaki bumi,
Penguasa seluruh kemarau,
Menjadikannya sejuk rintik ditengah badai
Menjelma titik terakhir dari proses kreasi penuh kuasa Sang Maha,
Dengan yakin, bahwa surga telah Tuhan turunkan disana.
Napasmu adalah ayat-ayat yang diberkahi,
Rautmu, serupa cetak biru paras bidadari,
Tuturmu, selayak-layaknya kitab yang dituliskan kembali,
Untukku baca berulang kali,
sebagai hamba paling sunyi dari jasad yang dihidupkan sekali lagi.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Oktober 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
28/10/19
MNEMONIK
Lagi-lagi, kutemukan dirimu dibalik rinai mentari,
Bermandikan pekat ingatan di kota lalu,
Berjalan perlahan, menuju tepian alir waktu
Yang kini terbujur kaku,
Lagi-lagi, kudengar suaramu diantara gemericik awan pagi,
Menyulam kembali bait-bait puisi
Menjadi sebuah titik penolakan sebuah elegi
Diantara kicau-kicau burung pengawal hari
Lagi-lagi, kudapati matamu melintasi rana cakrawala
Menelisik dicelah pepohonan
Menyinari bunga bermekaran
Merupa sinar jatuh diatas tanah tak bertuan
Lagi-lagi, segalamu mendatangiku,
Mencair menjadi rintik-rintik rindu,
Melebur dalam secangkir kopi dengan seduhan namamu
Melarutkannya kedalam deras yang bertamu
Hingga ampas,
Menjadikanmu pahit paling mesra,
Ketika sosokmu mengembara didalam kepala.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Oktober 2019
MNEMONIK : rumus atau ungkapan untuk membantu mengingat sesuatu
" Setiap indra memiliki fungsi terhadap responnya masing-masing,
Seperti kulit untuk menyentuh, mata untuk melihat, lidah untuk mengecap, dan fungsi indra lainnya,
Namun hadirmu, menjadi sebuah sensor terkuat untuk mengaktifkan semuanya sekaligus,
Ya, seluruh indraku tercipta untuk merespon berkali-kali hadirmu "
Bermandikan pekat ingatan di kota lalu,
Berjalan perlahan, menuju tepian alir waktu
Yang kini terbujur kaku,
Lagi-lagi, kudengar suaramu diantara gemericik awan pagi,
Menyulam kembali bait-bait puisi
Menjadi sebuah titik penolakan sebuah elegi
Diantara kicau-kicau burung pengawal hari
Lagi-lagi, kudapati matamu melintasi rana cakrawala
Menelisik dicelah pepohonan
Menyinari bunga bermekaran
Merupa sinar jatuh diatas tanah tak bertuan
Lagi-lagi, segalamu mendatangiku,
Mencair menjadi rintik-rintik rindu,
Melebur dalam secangkir kopi dengan seduhan namamu
Melarutkannya kedalam deras yang bertamu
Hingga ampas,
Menjadikanmu pahit paling mesra,
Ketika sosokmu mengembara didalam kepala.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Oktober 2019
MNEMONIK : rumus atau ungkapan untuk membantu mengingat sesuatu
" Setiap indra memiliki fungsi terhadap responnya masing-masing,
Seperti kulit untuk menyentuh, mata untuk melihat, lidah untuk mengecap, dan fungsi indra lainnya,
Namun hadirmu, menjadi sebuah sensor terkuat untuk mengaktifkan semuanya sekaligus,
Ya, seluruh indraku tercipta untuk merespon berkali-kali hadirmu "
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
EPISODIK HIPOKAMPUS
Hingga langit menyeduh purnama untuk kesekian kali, melarutkan langkah-langkah bahu jalan,
Iring- iringan bising persimpangan,
Kilat-kilat lampu sepanjang perhentian,
Menjadi merdu yang mengiringi sepi disekujur diri.
Kau, masih kurawat dalam benak yang terhantam jarak,
Kusimpan di tempat paling layak, dibalik sepasang lengan yang lebam membiru
Sebagai lapisan paling lembut, dari kasar bidang kenyataan yang diacuhkan waktu
Lepasmu adalah separuh,
Lengkapmu menjadikannya utuh,
Bius menjalar menyeluruh,
piara bagi keping-keping rindu yang kerap bergemuruh
Kau, masih menjadi kepak kupu-kupu dalam taman yang bersemayam dibalik rongga dada,
Debar bersemikan bunga
Nektar menghiasi cabang pembuluh vena,
Padang rumput di tepian aorta
Dan cakrawala yang melintang diantara diafragma
Kau, masih menjadi riuh di udara, sebagai alasan utama peparu tetap bekerja sama.
Menyerap berbagai kemungkinan
Menyibak segala kekhawatiran
Kau, masih seperti sediakala,
Pesona paling nyata,
Menjadikannya alasan utamaku untuk tetap ada,
Selama ini,
Sejauh ini,
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 29 Oktober 2019
EPISODIK : koleksi ingatan yang unik dan terjadi pada masing-masing invididu dengan pemanggilan ingatan yang belum jelas
HIPOKAMPUS : bagian otak besar yang memproses informasi dari luar untuk disimpan, termasuk emosi dan memori
" Karena, mengingat adalah bagian dari tantangan hidup,
Seperti cara menghirup udara, cara menikmati indah dunia, cara menyentuh lembut sutra dan cara-cara lainnya,
Dan kau, berhasil merangkum itu semua kedalam satu indra,
Disini, tepat dibalik rongga dada "
Iring- iringan bising persimpangan,
Kilat-kilat lampu sepanjang perhentian,
Menjadi merdu yang mengiringi sepi disekujur diri.
Kau, masih kurawat dalam benak yang terhantam jarak,
Kusimpan di tempat paling layak, dibalik sepasang lengan yang lebam membiru
Sebagai lapisan paling lembut, dari kasar bidang kenyataan yang diacuhkan waktu
Lepasmu adalah separuh,
Lengkapmu menjadikannya utuh,
Bius menjalar menyeluruh,
piara bagi keping-keping rindu yang kerap bergemuruh
Kau, masih menjadi kepak kupu-kupu dalam taman yang bersemayam dibalik rongga dada,
Debar bersemikan bunga
Nektar menghiasi cabang pembuluh vena,
Padang rumput di tepian aorta
Dan cakrawala yang melintang diantara diafragma
Kau, masih menjadi riuh di udara, sebagai alasan utama peparu tetap bekerja sama.
Menyerap berbagai kemungkinan
Menyibak segala kekhawatiran
Kau, masih seperti sediakala,
Pesona paling nyata,
Menjadikannya alasan utamaku untuk tetap ada,
Selama ini,
Sejauh ini,
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 29 Oktober 2019
EPISODIK : koleksi ingatan yang unik dan terjadi pada masing-masing invididu dengan pemanggilan ingatan yang belum jelas
HIPOKAMPUS : bagian otak besar yang memproses informasi dari luar untuk disimpan, termasuk emosi dan memori
" Karena, mengingat adalah bagian dari tantangan hidup,
Seperti cara menghirup udara, cara menikmati indah dunia, cara menyentuh lembut sutra dan cara-cara lainnya,
Dan kau, berhasil merangkum itu semua kedalam satu indra,
Disini, tepat dibalik rongga dada "
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
Tuanrusa
METABOLIS
Pada hiruk pikuk aroma kopi yang menyapa,
Kutemukan dirimu melayang diantaranya
Melarut sempurna pada bilah - bilah meja,
Hingga purnama terekstraksi sempurna
Sesekali pahit terdampar diantara papila,
bertamu di pangkal kerongkongan,
Lalu bersemayam pada ladang perasaan
Mungkin seperti ini cara kerja dari
pencernaan,
Menelan yang ada di ingatan,
berakhir menjadi debar yang
mengkhawatirkan
Serupa proses katalisasi ,
dengan rindu sebagai molekul yang berotasi
tanpa henti,
Kemudian merupa cemas yang diterima inti
hati.
Tak jarang,
kopi mampu membuat jemari bergetar,
Tetiba
bekerja sama dengan alam bawah sadar,
Menerjemahkan kilat-kilat yang teringat,
menjadi pesan singkat tentang suatu kabar.
Mungkin seperti ini proses merindukan,
Tertampung pada batang tenggorokan, lalu
menyekat seluruh pernafasan.
Mengikat saraf sensoris, dengan sosokmu
sebagai gelisah paling manis.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 26 Oktober
2019
MEJA PERTAMA
Kopi sangat terampil dalam merangkum kisah
disetiap tetesnya
Menyulam kenang dipekat harumnya
Menyisipkan rindu disetiap adukan, hingga
larut sempurna diantara buih debar, dan pesan yang kemudian samar
Denting bergulir pelan
Lampu padam secara perlahan
Sepi lirih bersahutan
Hadirmu, merupa kopi ternikmat yang pernah
kupesan
Seperti biasa, tanpa gula
Karena, raut senyummu masih lebih manis
dibanding sukrosa
Tak lupa, tolong sajikan selagi panas,
Karena, akulah orang pertama yang ingin
menenangkanmu dikala cemas.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 2019
26/10/19
KOAGREGASI MAGNETISME
Disajikannya secangkir pendar lautan,
Berdampingan sedikit ombak, dan kumpulan
camar yang mencari persinggahan
Kita larut dalam jarak, suatu distilasi
waktu yang memaksa diri untuk beranjak
Menyusuri setiap perhentian
Menyapa setiap persimpangan
Kita adalah penikmat rindu paling hebat,
Merupa detik-detik dan satuan lain yang
senantiasa berkutat
Tanpa sadar, langkah-langkah mengejar tiap
kepulan yang sporadis tersebar
Menemui kembali kepingan hati yang belum
bersandar.
Sebelum semuanya tampak memudar.
Rindu menjadi tempat rekreasi paling
menyenangkan
Sesekali merupa pecahan beling yang
menghambat degup
Seringkali berpendar menerangi mimpi yang
meredup.
" Bukankah hal itu yang mampu membuat
setiap pasangan tetap hidup ? "
Menyiangi ilalang tanya,
Kita rancang beragam debar sebagai
mahkota,
Untuk kemudian menjadi persembahan di
masing-masing kepala,
Sebagai pengingat hingga masa tua,
Bahwa,
Sejauh apapun jejak mengangkasa,
Selalu ada pulang yang menanti untuk tiba.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 2019
KOAGREGASI : penyatuan tetes-tetes kabut
menjadi awan yang besar
MAGNETISME : gejala fisika pada benda yang
mampu menimbulkan gaya magnet
" Karena terik selalu membuat air
menguap diudara,
Angin mampu menerbangkan entah kemana,
Dan kau selalu menjadi titik balik kepada
semua awal mula"
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
Tuanrusa
SEBATAS EPIDERMIS
Dan ketika kepak-kepak berjatuhan,
Binar-binar perlahan terbit dalam
kelopakmu,
Raut kemarau yang hampir badai
Panas terik diantara rinai
Dan secarik cemas yang enggan berdamai,
Khawatir terhebat dibalik diam,
Sepi terkuat dibandingkan batu pualam.
Diujung lesung yang kau sajikan,
Kutemukan sedikit deras disana,
Menyembunyikan diri dibalik pori-pori
Melurus paksakan ujung setiap lengkung
Pada satu manusia dengan rusuk yang
berkabung.
Selama ini,
aku masih menjadi sepasang telinga,
menyisir berbagai cerita, adalah takdirku
untuk tetap ada,
Penelisik terbaik saat gelisahmu mendera
Sejauh ini,
aku masih menjadi sepasang mata,
Menelaah bagian terdalam,
pada celah rumpang suaramu yang berlapis
bungkam
Pengamat paling hebat,
dengan debar, yang semakin terjerat.
Sedini ini,
Aku masih menyiapkan barisan jemari,
Menguatkan pondasi sekali lagi
Karena,
Ketika deras menyambangi matamu kembali,
Atau kau tersesat dalam sebuah labirin
sunyi,
Akan selalu ada genggamku, yang menemanimu
berulang kali.
Lagi,
Kembali,
Tanpa henti.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 26 Oktober
2019
EPIDERMIS : Lapisan kulit terluar sebagai
pelindung, tidak peka, tanpa pembuluh darah
" Mungkin kau sangka rasaku hanya
sebatas epidermis, bagian terluar, mudah terganti,
Namun, kau harus tahu, akulah yang berada
digaris terdepan saat terik, dan mendekap paling erat saat dingin menjerat
"
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
Tuanrusa
20/10/19
PLATINA
Diantara luas Kalahari, hingga teriknya Sahara.
Telah jatuh setetes cahaya untuk mengajari dunia.
Lembut menawan mata
Tertuang penuh dalam kemilau sebuah cawan nan bijaksana
menyuburkan,
menyejukan,
Paling manis dibanding seluruh nektar yang Tuhan ciptakan.
Pada detik yang sama,
Gema tawa pertama memenuhi lintas kejora Santorini hingga Athena.
Penyejuk ditiap telinga
Peretas rangkai kata yang terbalut metafora.
Hadir sebagai kompas diawal hari
Jejakmu membuka pintu gerbang imaji
Menjadi setapak terakhir pada proses abreaksi, dengan landai disetiap sisi
Terbentur euforia yang menjemukan
Langkahmu turun perlahan
Menyusuri ruang-ruang konsonan
Memetik buah-buah percakapan, pada rimbunnya tatap-tatap saat sapa saling tertitip.
Kau, wanita bergaun emas
Untukmu kupalingkan kedip-kedip penuh cemas, dengan mustahil menyuguhkan luka sebagai sambut meriah suatu jumpa.
Darimu, semua indah terpampang nyata
Padamu, ketenangan akan selalu bermuara
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 18 Oktober 2019
Telah jatuh setetes cahaya untuk mengajari dunia.
Lembut menawan mata
Tertuang penuh dalam kemilau sebuah cawan nan bijaksana
menyuburkan,
menyejukan,
Paling manis dibanding seluruh nektar yang Tuhan ciptakan.
Pada detik yang sama,
Gema tawa pertama memenuhi lintas kejora Santorini hingga Athena.
Penyejuk ditiap telinga
Peretas rangkai kata yang terbalut metafora.
Hadir sebagai kompas diawal hari
Jejakmu membuka pintu gerbang imaji
Menjadi setapak terakhir pada proses abreaksi, dengan landai disetiap sisi
Terbentur euforia yang menjemukan
Langkahmu turun perlahan
Menyusuri ruang-ruang konsonan
Memetik buah-buah percakapan, pada rimbunnya tatap-tatap saat sapa saling tertitip.
Kau, wanita bergaun emas
Untukmu kupalingkan kedip-kedip penuh cemas, dengan mustahil menyuguhkan luka sebagai sambut meriah suatu jumpa.
Darimu, semua indah terpampang nyata
Padamu, ketenangan akan selalu bermuara
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 18 Oktober 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
15/10/19
SIKLUS ANGIOPATI
Menyibak tirai malam diantara riuh denting
gelas.
Mengamati kursi-kursi untuk dinaikan, dan
beberapa lampu yang sengaja dipadamkan sebagai penegas.
Bahwa ada rindu yang perlahan meranggas
Lalu merupa kristalisasi udara,
terhirup,
kemudian mengarus diantara selaput halus,
dalam celah peparu yang berongga.
Tertahan dan berotasi disana,
Berputar perlahan, lalu mengikis permukaan
yang terbuka,
Lalu , meregang tanya, tentang
Lalu , meregang tanya, tentang
Akankah aku menemukanmu kembali pada
rentetan malam-malamku yang samar ? Ataukah kau hanya singgah sebagai bintang
pertama dengan pendar yang tak wajar ?
Disanalah ia bertunas,
Diantara rimbunan kabar yang terbias, dan
rasa penasaran yang tak tuntas.
Tumbuh dengan cepat, menancap dengan kuat,
Mencibir setiap oksigen, dengan nama yang
terselip, diberat molekulnya sebagai pengikat.
Kusibak kembali tirai malam diantara riuh
denting gelas.
Bersanding dengan secangkir kopi, dan rindu
yang begitu ranum.
Menjalar sejak detak pertama,
Hingga ingatan disudut mata,
Tentang cambukan rindu yang berirama
Tentang tepisan candu diruang hampa
Tentang sosokmu yang bersembunyi dicelah
aksara,
Dan tentang harapku yang tertidur lelap
didalam pusara.
- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung 2 September
2019.
siklus : putaran waktu yang didalamnya
terdapat rangkaian berulang
angiopati : gangguan komplikasi yang menyerang pembuluh darah
angiopati : gangguan komplikasi yang menyerang pembuluh darah
“ pernahkah kau merasa sesak saat
merindukan seseorang ?
diawali dengan rasa terbakar diantara rongga dada, kemudian menjalar ke sekujur raga,
seperti itulah rindu, yang berulangkali ditepis rindu.
akan tetap seperti itu, berulang dalam sebuah siklus “
diawali dengan rasa terbakar diantara rongga dada, kemudian menjalar ke sekujur raga,
seperti itulah rindu, yang berulangkali ditepis rindu.
akan tetap seperti itu, berulang dalam sebuah siklus “
Label:
Prosa,
rasadalamaksara,
Sajak,
sastra,
serdadupejuangrasa
14/10/19
DILATASI KAROTIS
Pernahkah, langit malam menghujam jantungmu dikeramaian sepi ?
Memutus aliran darah pada batang tubuh arteri,
Menghambat laju detak,
Membius seluruh gertak,
pada perangai intuisi yang perlahan rusak.
Pernahkah, matamu dibutakan redup purnama tak berjarak ?
Mengunci tepat semua derai dibalik kelopak,
Menghapus rentang yang tak utuh,
Dengan seketika yang kemudian runtuh.
Rintik yang turun dipaksakan,
Mengalir deras, kemudian meluap dilapangnya permukaan.
Kabar pun datang menggeledah,
Menyisir tepian batas keadaan yang begitu membuncah,
Menyiasati maaf atas segala upaya, ditiap manik alveolus yang terpecah.
Aku pernah,
Mematenkan sosokmu sebagai yang terindah,
Untuk kemudian kau anggap segala tentangku hanyalah tempat singgah,
Terburu-buru berpindah,
Bahkan sebelum terlontar ucap,
Sudah.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 10 Oktober 2019
Dilatasi : pemuaian suatu ruang, rongga dan sebagainya
Karotis : Arteri yang menyalurkan darah ke leher dan kepala
" Dikala tarikan napasmu pergi,
Kau berhasil membuat sepasang peparu terkhianati, menghentikan setiap laju darah di pembuluh arteri, hingga detak yang di paksa untuk berhenti. Setidaknya,
Kau tahu, itulah alasan utamaku untuk mati "
Memutus aliran darah pada batang tubuh arteri,
Menghambat laju detak,
Membius seluruh gertak,
pada perangai intuisi yang perlahan rusak.
Pernahkah, matamu dibutakan redup purnama tak berjarak ?
Mengunci tepat semua derai dibalik kelopak,
Menghapus rentang yang tak utuh,
Dengan seketika yang kemudian runtuh.
Rintik yang turun dipaksakan,
Mengalir deras, kemudian meluap dilapangnya permukaan.
Kabar pun datang menggeledah,
Menyisir tepian batas keadaan yang begitu membuncah,
Menyiasati maaf atas segala upaya, ditiap manik alveolus yang terpecah.
Aku pernah,
Mematenkan sosokmu sebagai yang terindah,
Untuk kemudian kau anggap segala tentangku hanyalah tempat singgah,
Terburu-buru berpindah,
Bahkan sebelum terlontar ucap,
Sudah.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 10 Oktober 2019
Dilatasi : pemuaian suatu ruang, rongga dan sebagainya
Karotis : Arteri yang menyalurkan darah ke leher dan kepala
" Dikala tarikan napasmu pergi,
Kau berhasil membuat sepasang peparu terkhianati, menghentikan setiap laju darah di pembuluh arteri, hingga detak yang di paksa untuk berhenti. Setidaknya,
Kau tahu, itulah alasan utamaku untuk mati "
Label:
Feathernoon,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
serdadupejuangrasa
02/10/19
AURUM
Dan pada akhirnya, waktu hadir kembali dengan kilauan lampu taman.
Fenomena paling dinanti, selepas pesta pora sebuah perjamuan.
Antara baris tanya sebuah rindu, dan untai langkah yang sukar bertemu.
Meluruh seketika.
memadat tiba-tiba.
Kemudian, dia berputar kembali,
Merangkum berbagai fenomena untuk kesekian kali,
Dengan pendar keemasan yang mengiringi,
Selalu pada poros yang sama,
Tetap memusat pada lengkung pertama
Kali ini dia enggan bersembunyi
Kali ini dia ingin dimaknai
Sebagai sebuah ucap yang meringkas jutaan arti
Sebagai sebuah jumpa dengan debar yang mengawali
Rindu semakin berpendar, walau temu terhadang sukar
Tatap-tatap kian berpencar, berselang do'a yang sporadis tersebar
Rindu selalu membuat detik dan detak terikat,
Maka, mari sejenak kita persingkat,
Tak perlu sebuah tanya perihal siapa yang paling sering terlibat
Karena, sejak detik pertama,
Akulah yang sebenarnya telah terpikat.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 1 Oktober 2019
Fenomena paling dinanti, selepas pesta pora sebuah perjamuan.
Antara baris tanya sebuah rindu, dan untai langkah yang sukar bertemu.
Meluruh seketika.
memadat tiba-tiba.
Kemudian, dia berputar kembali,
Merangkum berbagai fenomena untuk kesekian kali,
Dengan pendar keemasan yang mengiringi,
Selalu pada poros yang sama,
Tetap memusat pada lengkung pertama
Kali ini dia enggan bersembunyi
Kali ini dia ingin dimaknai
Sebagai sebuah ucap yang meringkas jutaan arti
Sebagai sebuah jumpa dengan debar yang mengawali
Rindu semakin berpendar, walau temu terhadang sukar
Tatap-tatap kian berpencar, berselang do'a yang sporadis tersebar
Rindu selalu membuat detik dan detak terikat,
Maka, mari sejenak kita persingkat,
Tak perlu sebuah tanya perihal siapa yang paling sering terlibat
Karena, sejak detik pertama,
Akulah yang sebenarnya telah terpikat.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 1 Oktober 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sastra,
serdadupejuangrasa
EKSTRAKSI KISAH
Bagi para penguasa akhir hari
Meneguk kopi merupakan cara paling bijaksana untuk merayakan sepi
Menepis penat yang menghampiri
Merangkum setiap kisah diantara pendar lampu kedai yang setia disinggahi
Membicarakan hal sederhana hingga lupa membeli kata
Bersenandung mesra dalam naung purnama
Itu yang kusukai dari mereka
Kumpulan manusia yang gemar menyesap kata.
-Serdadu Pejuang Rasa, Batam 2019
CELOTEH KAFEIN
Ada sesuatu yang berkumpul diantara ruas lapang meja
Riuh dentingnya silih berganti dibawah temaram lampu kota
Pekat kentalnya merangkum huruf per huruf, kata per kata
Menyuling sebuah kalimat, menguap memenuhi ruang udara
Ada sesuatu yang bercerita diantara bilah kursi yang diturunkan
Sebuah sublimasi aroma perjalanan yang disempurnakan
Berkisah perihal lain pertemuan
Diiringi beberapa teguk ringan dari Kerinci yang sedikit malu untuk ditelan
Ada sesuatu yang menunggui kedai tanpa tuan
Bayang jabat perjumpaan
Melebur dalam intonasi detik dalam detak yang bersahutan
Menjadi pembuka jalan sebuah perbincangan pada tatap-tatap yang sedang dirayakan
Ada sesuatu diatas semua itu
Tumpukan meja kayu, seduhan Kopi Kerinci yang merayu, dan kumpulan jejak-jejak manusia yang bertamu
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 2019
Riuh dentingnya silih berganti dibawah temaram lampu kota
Pekat kentalnya merangkum huruf per huruf, kata per kata
Menyuling sebuah kalimat, menguap memenuhi ruang udara
Ada sesuatu yang bercerita diantara bilah kursi yang diturunkan
Sebuah sublimasi aroma perjalanan yang disempurnakan
Berkisah perihal lain pertemuan
Diiringi beberapa teguk ringan dari Kerinci yang sedikit malu untuk ditelan
Ada sesuatu yang menunggui kedai tanpa tuan
Bayang jabat perjumpaan
Melebur dalam intonasi detik dalam detak yang bersahutan
Menjadi pembuka jalan sebuah perbincangan pada tatap-tatap yang sedang dirayakan
Ada sesuatu diatas semua itu
Tumpukan meja kayu, seduhan Kopi Kerinci yang merayu, dan kumpulan jejak-jejak manusia yang bertamu
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sastra,
serdadupejuangrasa
31/08/19
SANG PEMBACA
Rona suaramu selalu menjadi awal mula
Kemudian terlantun rentetan kata dengan rasa yang tersulam sempurna
Membaur dicelah udara
Memeluk erat luka yang ditelan setiap pasang telinga
Dalam ruang tanpa tatap mata
Lidahmu menari menyusuri setiap pasangan kata
terkadang lelah,
acap kali kaku,
Hingga sebuah simbol senyum tak jarang terlontar,
mewakili sorot matamu yang mulai lesu
Dalam ruang satu suaraKemudian terlantun rentetan kata dengan rasa yang tersulam sempurna
Membaur dicelah udara
Memeluk erat luka yang ditelan setiap pasang telinga
Dalam ruang tanpa tatap mata
Lidahmu menari menyusuri setiap pasangan kata
terkadang lelah,
acap kali kaku,
Hingga sebuah simbol senyum tak jarang terlontar,
mewakili sorot matamu yang mulai lesu
Puluhan jemari, bekerja sama dengan tiap kedipan netra yang telah terkoordinasi
Menjahit rasa hingga lahir pagi
Merangkum puluhan kisah, meringkas setiap makna pisah
yang kemudian terdistilasi merupa larik-larik puisi.
Dikawal sinar rembulan yang memasuki celah-celah jendela kamar
Dikelilingi alunan dering cerita yang menunggu untuk didengar
kau,
tetap setia menyimpan kisahmu dibalik layar
walau detak selalu memohon untuk terdengar
Mungkin menjadi sebuah penghormatan tertinggi
Mungkin menjadi kumpulan kalimat yang akan dilewati
Namun, terima kasih kami untukmu, telah merupa puisi
-Serdadu Pejuang Rasa, 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sastra,
serdadupejuangrasa
NIRMANA
Aku pernah
menjadi bising
kendaraan disore hari
Berlarian diruas jalan yang tak pernah disinggahi
Mengusik jejak yang ditinggalkan setiap pasang kaki
Kemudian berderu diantara deretan sunyi
Hingga menggema ke seluruh penjuru bumi
Aku pernah
menjadi lampu jalan ditengah deras hujan
Menyinari tiap retak yang pernah dikisahkan
Menaungi tangismu yang dikemas kekecewaan
Lalu meredup,
Sejak melihat purnama kembali kelain pelukan
Aku pernah
menjadi senja yang selalu diacuhkan
Dengan kau,
sebagai bidadari pertama yang selalu kulibatkan
Kau tawan tiap helai saraf pada retina
Memutus peredaran disepanjang pembuluh aorta
Memutus peredaran disepanjang pembuluh aorta
Menyekat satu nama yang terperangkap diantara diafragma
Kemudian memuncah,
Dan meledak,
Lalu merupa sesak
yang membakar seluruh rongga dada
Aku pernah,
Menjadi malam tanpa bintang
merupa titik paling gelap, saat ragamu terlelap
menjadi gejolak rasa paling berisik, diantara seluruh senyap
berselang tebaran senyummu yang acap kali kusesap
Berperan sebagai saksi bisu,
dalam sebuah pementasan rindu yang terkhianati waktu
Aku pernah mengagumimu segila itu
Bersembunyi dibalik untaian diksi,
Dengan sebuah mustahil untuk melukai
Mencuri setiap keping tawa,
Memanen tiap kedipan mata
Merangkum aromamu dicelah udata
Untukku ingat sebagai sebuah peristiwa
Bahwa, untuk mencintaimu hingga jejak menghabiskan langkah,
Menyesap segala gelisah, mematahkan yang tak mampu lagi
patah
Setidaknya, aku pernah
- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sastra,
serdadupejuangrasa
PARALEL
Debu bernyanyian diatas sebuah buku tanpa tuan
Terkadang, aroma lembut tinta itu masih berkeliaran
mengitari udara, bersinggungan dengan cahaya jatuh ditengah
kesunyian
Berselang ringkihan lantai kayu, yang terinjak langkah tanpa
haluan.
Semuanya menguap tanpa sebab,
menghilang diantara arus rotasi bumi, terlepas dari ikatan
dimensi
kemudian terombang-ambing menyusuri luka diatas perlintasan
pagi
termasuk kita,
semakin asing, dan menjadi-jadi
nama yang sudah tidak dikenali
temu yang tak pernah dicari
jabat yang kemudian ditinggal mati
apakah ini masih kesalahan Sang Waktu ?
yang dengan rela menjual alurnya, hanya demi menyandingkan
kaki kiri dan kanan
memotong setiap denting napasnya, demi menyatukan dua tokoh
tanpa peran
Kita pernah menjadi satu paragraf yang mengagumkan
mengadu kisah ditengah riuhnya pendar kopi dan aroma senja
mencipta semesta diantara deretan aksara yang tumpah diujung
pena
lalu merupa elegi paling merdu yang mengawal sebuah perayaan
dari perpisahan
dengan masing masing dari kita membawa sebuah robekan
Hingga, semuanya menguap tanpa sebab
menghilang diantara arus rotasi bumi, terlepas dari ikatan
dimensi
dan disini, buku itu masih tetap ada sebagai pelengkap sepi
saksi mati dari kisah yang tak mampu dibacakan kembali.
-
Serdadu Pejuang Rasa, Bandung ,2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sastra,
serdadupejuangrasa
APOLLO
Kepadamu, yang terbit diufuk timur
Syahdu napasmu selalu menjadi sebuah awal.
Pada barisan naskah yang merambat menyusuri garis vertikal.
Diapit dua kepak sayap malaikat nan kekal
Lukis rautmu mengudara,
Merupa kreasi Tuhan paling sempurna,
Dibatas kaki langit yang
semakin menua.
Lengkung bibirmu terhampar diangkasa.
Menjadi titik seimbang gugusan Libra
Kemudian menjelma pancaran pesona termewah disekujur
khatulistiwa.
Dengan pendaran galaksi yang tersemat diantara kelopak mata.
Kepadamu yang terbit diufuk timur
Penguasa kejora yang Tuhan terbitkan ditengah dunia
Kau berhasil merusak dimensi yang telah ku susun sedemikian
rupa
Menghancurkan struktur waktu hingga seluruh penalaran logika
Memaksa diri berkeliling mengitari garis orbit, diselingi
harap untuk berada dititik garis yang sama.
menarik setiap langkah dalam sebuah medan pengikat
menjerat rindu dalam sebuah pelukan manis begitu erat
Kemudian
Kau turun diantara rintik gerimis,
sebagai sebuah peristiwa termanis yang pernah kutulis.
sebagai sebuah peristiwa termanis yang pernah kutulis.
Membasahi tanah,
jatuh ditengah gersang satu naskah.
kemudian terpancar rupa yang membuat budak sajak ini jatuh dalam dekap asmara
Padamu yang tenggelam di ufuk barat
tunggulah napasku datang
denganmu sebagai titik utamaku untuk pulang
untuk saling mengulum makna cinta, sebelum waktu memaksamu kembali hilang.
jatuh ditengah gersang satu naskah.
kemudian terpancar rupa yang membuat budak sajak ini jatuh dalam dekap asmara
Padamu yang tenggelam di ufuk barat
tunggulah napasku datang
denganmu sebagai titik utamaku untuk pulang
untuk saling mengulum makna cinta, sebelum waktu memaksamu kembali hilang.
-
Serdadu Pejuang Rasa, Bandung , 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sastra,
serdadupejuangrasa
PANDEMIK AGNOSIA
Dan kemudian, aku kembali membenamkan diri pada pekat rayuan malam.
Sibuk memunguti puing puing hati yang tertancap begitu dalam
Sebagai rutinitas utama, sebelum sepasang mataku benar-benar
terpejam.
Bersenandung riuh diantara denting gelas dan pekat aroma
kopi.
Menghirup keping-keping kenang yang mengitari.
Meneguk sedikit, demi sedikit tentangmu yang menyapa hati.
Dengan secercah senyum yang terperangkap dalan potret diri.
Barangkali akan tetap seperti ini.
Saling memadatkan waktu, hingga kita lupa,
bahwa ada suatu pernah yang kini telah punah
bahwa ada suatu kasih yang kini menjadi potongan-potongan kisah.
bahwa pernah singgah secercah indah, untuk kemudian saling kita recah.
kata per kata
huruf per huruf
barangkali akan tetap seperti ini.
Sirna seluruh bincang yang menghangatkan, berselang harap yang menikam dibalik kesunyian
Hingga rindu berteriak memohon,
mendekap segala kepergian, sebelum ia pulang,
kembali kepada Sang Pembolak Balik Perasaan.
barangkali akan tetap seperti ini.
bertahan pada siapakah yang menjadi paling ?
Terjebak dalam sebuah peran asing, dengan kenangan masing-masing.
Saling memadatkan waktu, hingga kita lupa,
bahwa ada suatu pernah yang kini telah punah
bahwa ada suatu kasih yang kini menjadi potongan-potongan kisah.
bahwa pernah singgah secercah indah, untuk kemudian saling kita recah.
kata per kata
huruf per huruf
barangkali akan tetap seperti ini.
Sirna seluruh bincang yang menghangatkan, berselang harap yang menikam dibalik kesunyian
Hingga rindu berteriak memohon,
mendekap segala kepergian, sebelum ia pulang,
kembali kepada Sang Pembolak Balik Perasaan.
barangkali akan tetap seperti ini.
bertahan pada siapakah yang menjadi paling ?
Terjebak dalam sebuah peran asing, dengan kenangan masing-masing.
Barangkali akan tetap seperti ini.
terbiasa menjadi sepasang pujangga
menceritakan keramah tamahan luka
hingga setiap genggam yang dikisahkan
serupa kiasan dalam buku sastra.
terbiasa menjadi sepasang pujangga
menceritakan keramah tamahan luka
hingga setiap genggam yang dikisahkan
serupa kiasan dalam buku sastra.
Barangkali, aku akan tetap seperti ini.
seorang yang berulang kali kau patahkan,
menyumpahi diri atas musnahnya seluruh harapan
dan rencana yang dulu pernah coba kita sempurnakan.
Hingga hadirku kau hapus tanpa alasan,
hingga seluruh detak jantung berhasil kumakamkan.
- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 1 September 2019
pandemik : penyakit yang tersebar luas disuatu kawasan
agnosia : ketidak sanggupan mengenali benda, hilangnya kemampuan indra memahami informasi
“ sejak diperkenalkan dengan sebuah kepergian, seluruh panca indera dibungkam paksa.
mata yang dibutakan, hingga akal yang dihilangkan.
namun, jemariku masih dapat bekerja sama, untuk tetap menuliskan rindu, agar mampu dikabarkan keseluruh pasang telinga,
semoga kau mendengarnya “
seorang yang berulang kali kau patahkan,
menyumpahi diri atas musnahnya seluruh harapan
dan rencana yang dulu pernah coba kita sempurnakan.
Hingga hadirku kau hapus tanpa alasan,
hingga seluruh detak jantung berhasil kumakamkan.
- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 1 September 2019
pandemik : penyakit yang tersebar luas disuatu kawasan
agnosia : ketidak sanggupan mengenali benda, hilangnya kemampuan indra memahami informasi
“ sejak diperkenalkan dengan sebuah kepergian, seluruh panca indera dibungkam paksa.
mata yang dibutakan, hingga akal yang dihilangkan.
namun, jemariku masih dapat bekerja sama, untuk tetap menuliskan rindu, agar mampu dikabarkan keseluruh pasang telinga,
semoga kau mendengarnya “
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sastra,
serdadupejuangrasa
Langganan:
Postingan (Atom)