Setelah bertegur sapa dengan ragam praduga,
Secangkir kopi kembali melarutkan bias-bias kata
Beredar kesetiap pasang telinga yang sejak malam melangkah, namun tetap di tempat yang sama
Barisan papila kerap menagih manis seruan namamu,
Memaknai setiap binomial yang tersemat pada sisa napasmu,
Sebagai sebuah kompendium atas proses penciptaan rindu
" Bagian mana lagi, tentangmu yang kulewatkan ? Ataukah harus kucatat beberapa alinea paling hangat, untuk kemudian kujadikan alternatif pembaharuan ? "
Tutur sepasang kelopak pada goresan yang memberontak,
" Maka, jadikanlah dia sebuah gambar !
Pahat diantara celah angkasa !
Disela-sela lantunan do'a !
Dipermukaan dinding gedung-gedung kota !
Diatas hamparan aspal jalan raya !
Pada papan nama persimpangan tua !
Pada langit-langit mulut yang kini tunawicara !
Pada celah rongga dada, dan serambi kanan yang menunggangi detak tanpa irama !
Pahat !
Sedalam mungkin !
Sejelas mungkin !
Sebagai penerjemah, dari kecewa yang tak mampu diredam kata
Rindu yang mendidihkan rasa,
Dan penggambaran dari luka, sebagai sebuah seni paling sempurna "
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 6 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar