Di ruas persimpangan itu, aku menemuimu sebagai lampu taman dikala hujan.
Kilauan pemeluk mata,
temaram mengisi ruang-ruang kosong disudut retina,
lalu jatuh sebagai sosok terindah dalam kepala.
Di ujung jalanan Bandung, aku mengenalimu sebagai bising debar yang tak terbendung.
Lekat-lekat pada permukaan membran telinga
Membisukan mata
dengan namamu yang menjadi keindahan diantara gedung kota
Di langit ini, aku mengingatmu sebagai warna biru diawal hari
merupa kaidah semesta bertegur sapa,
antara do’a-do’a
dan rindu yang ditelantarkan jarak
Kembali diruas persimpangan itu,
aku menemukan sebuah papan jalan tanpa bernama.
Rekaan waktu selepas hujan, sebagai kenangan yang akan semesta tuliskan.
bahwa kalimat pertama, adalah kau yang menjadi puan, denganku sebagai titik, sebagai tuan.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar