12/01/21

Andai

Kembali sejenak menuju andai yang melekat  di celah pemikiran,

Menyulam berbagai kemungkinan untuk menyelamatkan diri, atau hanya bersembunyi

Menjadi bunyi paling sepi, atau malam yang diseduh secangkir kopi

 

Setidaknya, andai kembali berdamai.

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Lenggang

Adalah jarak yang membuat celah antara arteri dan vena

Adalah jarak yang merubuhkan perjumpaan antar tatap mata

Adalah jarak yang menggelisahkan setiap rasa percaya

Adalah jarak yang menjegal berbagai pertemuan manusia

Dan

Adalah jarak, yang membuat rindu semakin menggelora

 

Sejenak, malam adalah tempat baik untuk berpulang,

Menepikan setiap pesan yang menanti balasan datang,

Dermaga terbesar bagi khawatir yang tak tau arah pulang.

 

Telungkupkan telapak di hadapan dada

Rapal sebuah nama hingga Jibril turun dari surga

Beri pesan perlindungan agar dia senantiasa baik, sehat, dan tak kurang satupun

 

Ya

Adalah jarak,

Kembali berjarak,

Yang membuat risalah kian riuh bergerak

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Opasitas

Ramah Sang Singgah dan Tegap tekad yang menetap, 

hanyalah pelengkap dari damai damai yang sekejap hinggap.

Sejenak menenangkan, untuk kemudian mekar sebagai pusat keresahan

Sekilas bergerak bebas, atas segala penasaran yang tak kunjung tuntas

 

Pada akhirnya, kita kembali merengkuh waktu

Memunguti jarak dalam upaya menyembuhkan diri,

Setelah terhantam ratusan kali

Atas setiap janji yang tergores ribuan kali

 

 

Tak ubahnya sebuah naskah usang

Riwayat kerap menjadi tempat pulang,

Selepas puing puing harapan yang tertiup hilang

 

Matamu kian terkenang

Kata-katamu perlahan hilang.

 

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Siklus Alternasi

Bila, elegi telah fasih terlelap dalam dekap dada

desir nadi akan membawa cerita atas setiap luka yang jiwa dera

menjalar pada serambi kanan, hingga ujung pembuluh aorta

berkisah perihal kedukaan kelam yang dipaksa pulang,

hantaman kecewa yang berulang-ulang

dan luapan tangis yang menggenang atas seluruh keping getir yang mengais takdir.

 

Bila, janji telah fasih mengikat setiap papilla

Kata demi kata kembali menikam hadirku yang tertulis sebatas nama.

Sebatas asing yang kau temukan tanpa sengaja

Sebatas pengisi sepi yang kau anggap derita

Sebatas irama pengiring Bahagia yang kalian cipta berdua

Sebatas, kopi dingin yang kau diamkan di atas meja

 

Ketika pintu kedai mulai tertutup

Ketika kau hilang dengan segenap harap yang kutitip.

 

Bila, etika mulai tak mengenali rindu, atau meja kedai itu kian membeku

Percayalah,

Kelak, hadirmu akan menjadi luka paling manis yang disempurnakan oleh waktu

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Subletal Anestesi

Hingga malam kembali terburu-buru,

Menyambut rekahan waktu yang terbunuh semu,

Gerimis perlahan turun pada pipi yang pantas, atas seluruh pilu yang melintas

Kursi yang kau duduki memburumu berkali-kali

 

Menghujam tajam ratusan tanya yang sama,

Perihal lara yang kerap menyusupi pembuluh vena dan semarak hujan di antara purnama

 

" Mana yang akan hujan pilih malam ini ?

Tandus pipi pipimu saat sepi,

Atau hatinya yang berdetak tak henti henti ketika sunyi menghampiri ? "

 

 

Hingga malam tatkala suara kehilangan nada

Tandus kembali hadir dalam bentuk prasangka,

Kepada sesiapa saja yang salah menjatuhkan rasa, atau rasa yang terlalu cepat menguap sebelum menjadi harapan yang nyata.

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Kedai Puan

Sesingkat itu kau menjelma sudut pencarian,

Menjadi kursi tanpa penghuni yang telah lama pemuda itu tinggalkan,

 

Sepi,

Kosong dan tersiasati

Dingin begitu sibuk malam ini,

Matanya berlari mengikuti kata per kata atas singgahnya penikmat kecewa

 

Sunyi,

Dan kau begitu lihai menjadi tempat bersembunyi

 

Tak mengenal aman, kau lekas berpindah

Tanpa karena kau paksa lara kembali menjelajah

 

Seluas itu,

Selapang itu sudut waktu berlari atas luka yang mengerak di pintu hati.

 

Melekat di antara puing puing ingatan

Meledak menjadi buih harapan, atas pergi yang tak layak dirayakan.

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Partisi Fatamorgana

Pada sebuah kepingan mendung

Rindu singgah menemani sibuk yang tertidur pulas di atas meja

Memaknai lelah dan penat, atas segala cemas yang kerap terlibat

 

Betapa juang adalah wujud sebuah ikhlas yang dirayakan, karena segala kalah akan kembali merujuk pada pertanyaan

" Siapa di antara kita yang bersalah ?"

 

Hingga meja perlahan kosong dan tak terjamah

Hingga hujan menampar segala usahamu yang hilang arah

Hingga matamu menyusun gumpalan mendung dengan segala entah

Hingga pipi kembali basah dibilas penyesalan dan semua rasa bersalah

 

Lagi

Rindu adalah sirkulasi yang kerap mengitari

Atas segala waktu yang dinikmati berdua, atau ditangisi sendiri.

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

 

Helianthus

Untuk kesekian kali, daun demi daun kembali membisu

Sunyi hinggapi klorofil yang hancur dipecah waktu

Hening

Bahkan kicau burung menunjukan rasa angkuh

atas segala pertemuan musim yang kian menjauh

 

Untuk kesekian kali, petang tak lagi hinggap di tepian mahkota

Gelap kelopak surya menghiasi kebun yang dulunya dinamai surga

Tandus menyambangi diri

Mengoyak putik dengan tajam,

Merusak jaringan dada dari dalam

 

 

Mengering

Bunga itu kini tak lagi mentari

Mekarnya tak kunjung siang

Layu berserak daunnya

Nektar kian busuk tak terjamah telapak manusia

 

Malang Si Bunga malang

Hilang Sang Surya hilang

Berpangku akar rumpang

Menanti hingga setiap jiwa pulang

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Fraktus

Seketika rindu rindu tersipu malu,

Pada punggung tangan,

Pada cemas yang menenangkan

dan jemari yang rutin mengibarkan penasaran

 

Seketika petang meredup

Mengintip di antara dua ufuk khatulistiwa

Dan dua manik yang kerap kau lempar ke angkasa

 

Terkadang sore begitu menggemaskan

Kali ini,

Riang tawanya memutuskan untuk singgah menemui matamu,

 

Sebagai tempat bersemayam dua waktu

 

Untuk Tuan Pagi yang kian menyamaimu

Dan Puan Malam yang kerap mencemburuimu

 

Kau lebih liar dari waktu

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 06-10-20

18/12/20

Dawai

Manik matamu adalah ikrar puluhan malaikat di tengah kegelapan

Sihir abadi yang dibenamkan saat tandus

Dipeluk malam terik, menjadikan pendar itu begitu kudus

 

Bibirmu adalah taman bermain Jibril

Berlarian setiap risalah disana

Riang tawa melompat, di bawah teduh yang begitu memikat

 

Keningmu adalah dermaga besar bagi Vasco da Gama

Tempat penjelajah menepi

Menjatuhkan kecupan, di pelipis hingga tepi, untuk kemudian bermukim di batas pipi

 

Ya,

Kau adalah Taman Eden

Lahan yang telah dijanjikan sebelum Adam diciptakan,

Bahkan sebelum dunia dilahirkan

Taman suci tempat sayap-sayap mengistirahatkan diri

Hingga semua insan Dia panggil kembali.

 

-Sang Serdadu, Batam

 

04/05/20

Senyap

Detik kian fasih mengucap waktu yang rimbun,
Petang sigap menjemput tulisan yang terperangkap di sela ubun-ubun,
Hingga malam semakin ramai diterjang embun,
Merangkum setiap harap, akan tatap yang terhenti sepanjang tahun,

Sejenak menjadi musim dingin dengan gigil sebagai perjamuan,
Sejenak menjadi selasar kosong yang hinggap di perkotaan,
Sejenak bermimpi di atas pangkuan,
Sejenak rindu serupa beling yang menusuk tak karuan,

Sebisa mungkin rumput itu bergumam,
Menyebut jejak berulang kali,
Membangunkan diri pada proses siuman dari rasa sepi,
Sebisa mungkin siklus mencoba beralih
Sejak putaran jam pertama, hingga ke titik semula
Dan berakhir pada namamu, 
Tempat segala rasa akan bermuara

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 4 Mei 2020

23/04/20

Distilasi Larik

Tak ada yang mampu menerjemahkan sepi, sekalipun itu puisi
Hanya sebatas untaian kalimat yang larut dalam secangkir kopi,
Terbilas ludah, terserap untuk mengenyangkan segerombolan sel inti.

Mungkin, ada yang berharap menemui seseorang disana,
Diantara bilah-bilah kursi kayu, 
dan dicelah-celah jarum jam yang kusebut dunia, 
atau kilas balik garis maya

Mencari dan menemukan,
Terik dan kesejukan,
sepi dan keramaian,
teguk sampai habis lalu luapkan.

Mereka tak pernah mengerti,
Risalah yang telah tertulis, mungkin hanya sebatas imajinasi atau titik terahir dari sebuah intuisi.

Pecahkan disana, lalu jumpailah jarak yang terpisah,
Pesanmu akan terkirim menuju berbagai rumah dengan satu tuan tanah.

Teguk sampai habis, lalu luapkan semua,
Hingga kau menjadi yang paling purba,
dari putaran jarum jam, dan ciptaan yang tak pernah dianggap ada.

Semakin nyata,
semakin pudar,

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 12 Januari 2020

Disudut Bibir Sepi

Pada tepian bibir itu, bekas kecup dan potret jemari membentuk sebuah formasi baku,

Terlukis siluet dari keluhan lampu-lampu kota, jejak kaki risau yang mengudara, dan sepi yang kian menjadi penerjemah bahasa,

Sesekali bibir itu berdenting, 
bertanya pada isak yang menyesak, 
perihal cara melarikan diri dari sebuah ruang gerak tanpa meninggalkan jejak,

" seperti dugaanku, sepi menjadi penerjemah setiap bahasa "

Sesekali bibir itu berdenting kembali,
kini dia melemparkan pertanyaan serupa, pada embun yang sejak pagi lekat-lekat pada telapak kaki.

"seperti dugaanku, sepi menjadi penerjemah setiap bahasa"

Bibir itu berdenting untuk kesekian kali,
kini dia memutuskan untuk diam,
perlahan mengerti,
bahwa kota ini, hanyalah arloji tua yang Tuhan ciptakan untuk mengelabui manusia,

" di luar dugaanku, bahasa tak mampu menerjemahkan kesepian "

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 7 Februari 2020

Kota Itu

Kota itu akan membawaku kembali pulang,
Menjadi aspal jalanan yang mencuri setiap langkahmu.
Tergilas beberapa keping canda sepanjang perjalanan
Terbilas rinai cerita disetiap persimpangan

Lampu-lampu itu akan menarikku kembali pulang,
Menjadi bola matamu ketika teduh yang petang,
Mengecup setiap kedip dengan deras yang tak sempat terucap

Aku akan mencatat setiap bising yang bertamu,
Termasuk debar saat masing-masing dari kita tersipu
Kutulis satu per satu
Jejak aspal jalanan,
Lampu kota yang hampir dipadamkan,
Dan bunga yang setiap musim bermekaran.

Sebagai penenang, ketika langkahku merindukan kotamu.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 25-02-20

Sejak

Sejak petang,
Ada terik yang terusik khatulistiwa
Jingga tumpah pada sudut pelipis, 
dan tepian kelopak, yang semarak ditumbuhi
sisa tangis

Sejak petang,
Kilau lelehan matamu memenuhi isi bumi,
Meluap,
Menaklukan angkuh samudera, dan riuh gerombolan burung bangkai yang bersarang dicelah rongga dada

Sejak petang,
Sungai-sungai berhenti mengalir,
Tandus hinggap ditelapak tangan,
Gersang rimbun tepat menyekat batang pernapasan

Sejak petang,
Manik-manik matamu berlarian,
Meracau ke setiap penjuru
Menari kecil ditepian pilu

Sejak petang,
Semuanya hilang
Bahkan titik terakhir pada sebuah tulisan usang

Berpulang.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 06-03-2020

Ukir

Semalam, 
kutemukan matamu dikaki angkasa,
Kau angkuh melampaui rasi Cassiopeia, sebagai wujud termanis yang Tuhan turunkan dipuncak tangga,
Jemarimu berpesta pora disana,
semarak kuku-kuku penuh warna, menghiasi sisa-sisa cerita diatas meja

Malam berikutnya,
Kulihat simpul bibirmu lebih indah dari busur Artemis
Lesatan tak tertepis
Bergerak kencang menuju genggam yang mencari makna pulang

Malam-malam selanjutnya,
Kudengar setiap sudut meja membicarakan dirimu,
Matamu,
Elokmu
Segalamu,
Kisahmu, dan segenggam rindu dari seorang pria yang kerap mencumbuimu sebagai arus waktu.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 06-03-2020

Stagnan Yang Disajikan

Sekokoh peradaban Etiopia hingga hangat angin Mediterania
Megah gerbang Notre Dame tergambar jelas pada tenang arus Kanal Venesia

Merangkum kurun yang sempat hilang
Menuju isi kepala yang lupa jalan pulang

Tepian bibir ranum berbuah
Impresi kuat yang menyapa tiap-tiap papila di permukaan lidah

Sejauh itu kau kumaknai
Serupa kicauan waktu yang kerap di nanti

Di sanalah kububuhkan sejumput klausa
Hingga tumbuh liar merambat mengisi alinea
Menjadi gramatikal paling sempurna, 
pada kurun yang berserakan di atas meja

Tajuk paling purba itu, kini kusebut kopi
Tempat paling bijaksana untuk kita menuang keluh sepanjang hari
Sepanjang jarak mengajari cara gemintang pulang
Sejauh rindu menarik kembali langkah para petualang

Tepat, ketika pahit dihabiskan
dan musim perlahan dihentikan
saat itulah, 
waktu kembali hadir
untuk menamaimu, sebagai manis yang Tuhan sembunyikan.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 14-03-2020

08/03/20

DATARAN VERTIKAL

Laut sudah tak memerlukan ombak,
Gemuruhnya tenggelam pada kakimu yang berundak-undak,
Anginnya menjadi malam, 
Meniup sepenggal bulan yang mencemburui matamu sejauh pandangan.

Hingga langit jatuh dipenghujung musim,
Menghantam detak dalam sebuah sirkulasi iklim, yang kini menjadi candu bagi masing-masing teduh untuk bermukim

Mungkin semalam bintang berjatuhan,
Gugur bersama segelas kopi yang kita teguk di bahu jalan.
Berselindung pada gemerlap lampu kendaraan dan tatapanmu yang tak bisa kuasingkan.

Mungkin kala itu mataku terlalu lancang mencuri lengkungmu
Kusandarkan dalam jejak lensa kamera, 
Sebagai tamparan teruntuk petang yang tak bisa diterka.

Ya,
Hampir setiap pekan, kau menjadi udara yang tersesat dalam siklus pernapasan

Hampir setiap saat kau mekar dibalik sekat-sekat yang merambat
Hampir setiap hari,
Hampir setiap waktu,
kau adalah tempat pulang bagi terima kasih yang kusebut rindu

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 25-02-20

04/01/20

Jabat Tanggal

Selepas pergantian tanggal, banyak sisa-sisa kisah yang sempat tertinggal.
Semanis seduhan susu, sehangat teh bercampur madu, maupun sepahit kopi yang kerap menemani saat malam bertamu.
Akan selalu mengekor pada langkah, sejauh apapun kita bergerak.

Pada waktu yang sama, kita disuguhkan dengan dua buah pilihan, melangkah maju, atau kembali memperbaiki kesalahan diwaktu lalu.

" Apa pilihanmu ? "
Entah, mungkin menjadi jawaban terbaikku saat ini,

Sejenak, mari kita sedikit merayakan kesempatan untuk menetap lebih lama di dunia,
menitip harap pada ledakan-ledakan kembang api diatas sana,
Bersorai dengan meneriakan beragam rencana,
Dan menikmati momen singkat untuk berperan sebagai manusia merdeka,

Waktu masih berjalan,
Siklus datang dan pergi masih bergantian,
Suka dan duka masih beriringan.

Terima kasih untuk yang pernah hadir, yang masih menetap, yang berdo'a tanpa lelah, yang setia menjadi telinga untuk ruang keluh dan kesah.

#Cerita Diantara Tanduk 1
- National Gallery Singapore,
Tuan Rusa, 3 Januari 2020

Catatan Selepas Hujan Reda

Serendah langit-langit hingga seluas hamparan langit,
Kau tetap menjadi garis utama dalam sebuah kilas balik
Pendaran kisah paling klasik,
muara dari segala harap yang jatuh dilapangnya terik.

Kujumpai dirimu sebagai untai buku harian,
Persembahan termewah semesta selepas hujan,

Ya,
aroma itu yang kerap melekat diingatan,
Wangi kertas,
pita merah sebagai pembatas,
lelehan tinta,
gusar cerita,
luka,
suka,
dan sisa kering tetesan air mata.

Lagi,
Kau menemukanku dipenguhujung musim,
Kering menerpa angkasa, kau deras mengalir pada pipi-pipi yang merona.

Secepat itu musim berganti
Sesingkat ini cuaca terganti
Sehebat ini kecewa membuatmu kembali
Setangguh ini tulisan usang yang terhapus berulang kali

Hingga sebelum kau torehkan catatan kaki,
Disana telah tertulis,
Aku, masihlah kertas yang sama,
Kan kudekap semua kisah yang kau jatuhkan disana,
Kujilid sempurna, untuk kembali kita baca bersama.

Sepanjang apapun.


- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 22 Desember 2019

Semua Itu Aku

Sama keras serapuh cermin,
Ucap serupa, lintas suara saling menggema
Dia senang berjalan-jalan,
Kepalanya acap kali melawan

Terikatlah dia dengan sukarela
Tapi acapkali dia meronta
Kerap senyap, lalu riuh saat udara pengap.

Cermin tak pernah semuram itu
Musim tak pernah reda secepat itu
Kukira
Aku.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 3 Desember 2019

Di Bawah Permukaan

Dibawah gundukan tanah yang kusebut kaki malam,
Kulihat, kita masih asyik berbincang di tepian kolam,
Berdebat perihal debar yang mengkhawatirkan, dan sesiapa saja yang paling akrab dengan kekosongan

Semula kau bertanya,
" Debar siapa yang kerap membuatmu membangunkan purnama ? "
Jemari mengambil alih peran bibir,
Mendaratkan telunjuk pada permukaan gemas pipimu yang begitu menyihir

Kemudian, kau bersiap dengan pertanyaan kedua,
Terhenti sejenak,
bola matamu yang lucu berlarian mengitari kelopak, tercermin acak corak kata yang hendak kau susun dalam kepala,

Ingin sekali kucuri raut bingungmu kala itu,
kulipat dengan rapi dalam sebuah kotak,
untuk kemudian kuseduh bersama kopi dan secangkir sepi.
Dengan pahit yang menyeruak

Disanalah kau abadi
dalam sebuah aroma,
diantara tiap hirupan napas yang mengisi relung dada
Hadirmu kembali hidup pada balutan malam yang sempurna,

Sedekat kening dan angkasa,
Kita pernah mengawal malam menuju peraduannya.
Menghantarkan sejuk ke tempat dia seharusnya berada
Merangkum setiap musim, menjadi barisan kalimat untuk kita rapal bersama,

Dan sebelum bibirmu beranjak menjatuhkan tanya,
Kudahului suaramu bagai kilat yang kerap berada diawal suara
" Pertanyaan apapun yang kau ajukan,
debar akan selalu memberikan jawaban,
tersimpan disana,
di balik detak ,
yang tak kunjung reda "

-    Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Desember 2019

Dinding

Dijatuhkannya sebuah tulisan,
Permukaan dinding yang penuh lumut itu,
Kini menjadi hamparan kanvas yang begitu luas,

Tercatat dari senyawa Sang Penulis,
Rangkai katanya perlahan mulai berfotosintesis,
Tersusun rapi, membentuk siluet dari seorang gadis.

Ya
Dia yang membuatnya hidup sekali, dua kali, hingga berkali-kali.
Terlihat sejak coretan pertama yang sangat damai, hingga jejak apostrof yang berangsur menjadi bangkai.


" Engkau " sahutnya,
Ujaran tanpa filosofi yang merangkum banyak arti,
Selalu memelas untuk dicari, kerap berharap untuk dimaknai

Selang beberapa dinding,
Ia torehkan sejumput huruf pada bidang putihnya. Menjadi tunas ditengah lapang kosong ruang tanpa kuasa,


Terekstraksi dari kecewa seorang manusia,
Barisan hurufnya serupa bidang maya
Tercarik kemarau, luntur terbilas hujan yang menyapa.

Ya,
Dia yang membuatnya mati sekali, dua kali, hingga berkali-kali,
Terpampang dari jauhnya rentang spasi
Dengan ruang kosong yang ada disetiap sisi.

" E n g k a u ? ", jelasnya
Sebutan sarat makna, yang meluapkan tanda tanya,
Menjadi hantaman maha dahsyat sejak dalam kepala, hingga bertahan dan tetap bersarang, pada jasad manusia yang terbunuh kata-kata.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Desember 2019

16/12/19

Diorama Selaput Jala

Lihat,
Diantara iringan awan dan do'a yang berserakan,
Kau akan menemukan warna biru paling rindu disana,
Cerah yang jatuh di tengah penasaran, lalu berakhir pada ujung pertanyaan.
" Seriuh apa warna yang kau cipta pada sepasang kelopak yang lupa merasakan warna ? "

Langit memudarkan waktu beserta rekahannya,
Meringkus para pecandu senja paling agung ,dengan jingga yang terlukis mewah,
Disana kau menjadi rona merah,
Merekah indah,
memeluk erat, perlahan merambat, menyusuri tiap lekuk pembuluh darah

Tepat, setelah purnama -purnama diterbangkan.
Dengarlah do'a yang telah kupesan,
Melarut bersama pahit yang diseduh kesepian, kita membicarakan cantikmu hingga redup dinyalakan.
Kau terbit sebagai kejora,
Pada kepingan angkasa yang kutatap sekian lama,
Waktu demi waktu,
Masa ke masa
tetap menjelang,
Karena, pada kedalaman matamulah, semua indah lukis warna, akan kembali berpulang.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 Desember 2019

Ekspedisi Kemarau

Sore ini, aku menemuimu sebagai mendung yang pekat,
Memeluk napas begitu erat,
Dengan sepi yang mengikat begitu lekat.

Di dalam rimba aku berada,
Menanti deras yang dijanjikan,
Berharap kita saling mengerti pesan  yang disiratkan.
Di antara belantara kau telah menjadi gerimis,
Kunikmati sejuk mencaduimu sebagai khatulistiwa paling tropis
Dengan arus angin yang kian terarah,
Menuju hadirmu yang tak akan pernah musnah.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 25 November 2019

27/11/19

Titik Nol

Dari kejauhan, kulihat kelopak meranggaskan mahkotanya,
Satu demi satu, warna demi warna, 
Hingga tertunduklah segala aroma dalam balutan tanda tanya,

“ Kemanakah angin ini bermuara ? apakah berakhir pada sebuah awal ? 
atau bermula pada titik aba-aba ? “ 

Di atas sana, mendung sedang asyik menyembunyikan rintik,
Melipat rindu yang senantiasa tertitip pada gemuruh,
Mengemas khawatir penuh ratap yang kian riuh
Kemudian dia bertanya,

“ Bagaimana deras itu tercipta ? apakah dari luapan air yang tertahan ?
ataukah endapan dari debar yang tak diucapkan ? “

Jauh dari jangkauan awan, 
gemintang masih tetap menorehkan cemerlangmu di kaki angkasa,
Menyelamimu hingga menerobos selaput kornea
Merangkum tapak tilas sejak napas pertama,
hingga tempat bersemayamnya do’a-do’a

Tidak ada pertanyaan kali ini,
Jemari telah mengerti, 
bahwa riwayat yang telah dituliskan diam-diam
kini menjadi danau tempat segala tulisan tenggelam,
semakin dalam
semakin diam.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 27 November 2019.

21/11/19

Romansa di Bawah Pijakan

Potongan akar-akar rumpang,
Memancing kepalan hara tanpa huru
Menggeledah siku demi siku
Menyesap seluruh awal mula yang terbujur kaku

Potongan akar-akar rumpang
Kembali menyiangi masa yang tersirat diantara kering-kerontang
Berdialog perihal tumbuhnya tunas pertama
Hingga, sisa-sisa ocehan merpati yang tertinggal diangkasa.

Bercabang namun tak akan pernah menyesatkan
Rindang, dan begitu meneduhkan

Deras menguap diantara kalut
Terik menyeka kerumunan kabut
Potongan demi potongan mulai terpaut
Merayakan mekar pertama yang akan disambut

Bukan mawar yang diperbincangkan
Bukan melati yang mengharumkan
Mereka hanya pecahan akar-akar tanpa dedaunan.
Yang merekam kisah romansa dibawah pijakan.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019

Panggung Musim Kelima

Sejak runtuhnya petang,
Kidung-kidung perlahan dimainkan
Hingga tanah bijana mengalami pembusukan
Dan kelakar do'a mulai memenuhi seluruh ruangan

Sejak dilipatnya malam
Purnama berkeliling mengitari garis lintas
Memelas pada setiap Tuhan yang pantas
Mengemas keping-keping percaya yang terlepas

Sejak retaknya bilik-bilik pagi
Jarum-jarum berhenti kembali
Setiap sudut serupa duri
Mengecupi ubun-ubun, hingga menjalar ke ruas ruas kaki.

Kini do'a-do'a  serupa obituari
Sekat-sekat udara menjadi elegi
Pada pekik sepi, dan peluh yang mencuat tanpa henti

Sejak pudarnya warna pada senja kala
Kepakan sayap mulai bersuara
Menyuguhkan dingin selimut yang gulita
Menjadikannya tempat paling istimewa,
yang menahanmu untuk tetap ada.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019

19/11/19

Rentang

Barangkali,
Hanya sedekat jemari dan kaca-kaca yang dinanti hujan.
Jumpa kita tersekat satuan.
Kau adalah suhu dinding kamar, dan aku adalah pantulan cahaya ditengah deras yang berbinar.

Bersama, 
kita menjadi embun,
Tempat simbol hati berkerumun, 
hilang seketika, tersapu rindu yang menahun.

Barangkali,
Hanya sebatas akrab rentetan klausa dalam frasa
Debar yang ada, tak mampu diredam aksara
Bersama,
Kita mengisi rumpang bagian alinea,
Terpisah, kita menjadi yatim dan piatu puluhan kata

Barangkali,
Hanya sebatas ampas dan kopi,
Bersama, kita menjadi pahit sempurna yang bermuara pada lidah manusia,
Mengalir menuju pencernaan, lalu terserap sebagai ketenangan yang maha dahsyat.

Kita bisa lebih lancang dari rintik yang memeluk tanah,
Bisa menjadi yang paling keras kepala dibanding gemintang ditengah lampu kota.

Barangkali, angkasa jemu dengan untaian nama yang sama,
Maka, kita cukupkan sejenak dan mulailah menjadi paling berisik diantara sunyi,
Hingga kelak, ketika lagu-lagu itu mulai bersuara,
Segalamu akan kembali sebagai yang luar biasa.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 19 November 2019

Narasi Ilalang

Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
Tepat, ditepian halimun yang berkerumun,
Tatap pemuda itu berlarian, 
Mencari sudut-sudut persembunyian,

Dicelah bebatuan, 
dibalik karpet kemerahan,
ditengah telapak tangan, 
di jari-jari yang dikepalkan,
pada berkah-berkah yang dirapalkan
hingga, disela sorak tangis yang bersahutan.

“ Aku menemukanmu ! “
sahut detik pertama yang tertawa,
detik kedua, deras menyambangi pelupuk mata,
dan detik ketiga, hening bertamu tanpa mengenal kala.

Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
Pemuda itu kini mengunyah sisa langkah
Kelu lidah penuh liku luka kata-kata batinnya
Memuntahkan sumpah serapah, dia tertawa


Lekuk syaraf kian menebal
Parau tawa tersengal-sengal, sayup sayup perlahan redup
Tenggelam  diatas ranjang paling gulita
“ Indah sekali rasanya “ 
bisik aroma tanah dan ragam warna bunga kamboja
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
“ Tahukah tuan, siapa yang paling merasa riang ?
Sepasang malaikat,
Mereka hanya tahu cara tertawa, ditengah tiap tangisan, diatas kain yang diikatkan, dan
disela-sela tanah pemakaman “
Aku tahu, 
Akulah sepenggal sajak jalang, yang tengah dibacakan dikerumunan ilalang

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 18 November 2019