Dari kejauhan, kulihat kelopak meranggaskan mahkotanya,
Satu demi satu, warna demi warna,
Hingga tertunduklah segala aroma dalam balutan tanda tanya,
“ Kemanakah angin ini bermuara ? apakah berakhir pada sebuah awal ?
atau bermula pada titik aba-aba ? “
Di atas sana, mendung sedang asyik menyembunyikan rintik,
Melipat rindu yang senantiasa tertitip pada gemuruh,
Mengemas khawatir penuh ratap yang kian riuh
Kemudian dia bertanya,
“ Bagaimana deras itu tercipta ? apakah dari luapan air yang tertahan ?
ataukah endapan dari debar yang tak diucapkan ? “
Jauh dari jangkauan awan,
gemintang masih tetap menorehkan cemerlangmu di kaki angkasa,
Menyelamimu hingga menerobos selaput kornea
Merangkum tapak tilas sejak napas pertama,
hingga tempat bersemayamnya do’a-do’a
Tidak ada pertanyaan kali ini,
Jemari telah mengerti,
bahwa riwayat yang telah dituliskan diam-diam
kini menjadi danau tempat segala tulisan tenggelam,
semakin dalam
semakin diam.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 27 November 2019.
27/11/19
Titik Nol
Label:
Feathernoon,
Prosa,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
21/11/19
Romansa di Bawah Pijakan
Potongan akar-akar rumpang,
Memancing kepalan hara tanpa huru
Menggeledah siku demi siku
Menyesap seluruh awal mula yang terbujur kaku
Potongan akar-akar rumpang
Kembali menyiangi masa yang tersirat diantara kering-kerontang
Berdialog perihal tumbuhnya tunas pertama
Hingga, sisa-sisa ocehan merpati yang tertinggal diangkasa.
Bercabang namun tak akan pernah menyesatkan
Rindang, dan begitu meneduhkan
Deras menguap diantara kalut
Terik menyeka kerumunan kabut
Potongan demi potongan mulai terpaut
Merayakan mekar pertama yang akan disambut
Bukan mawar yang diperbincangkan
Bukan melati yang mengharumkan
Mereka hanya pecahan akar-akar tanpa dedaunan.
Yang merekam kisah romansa dibawah pijakan.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019
Memancing kepalan hara tanpa huru
Menggeledah siku demi siku
Menyesap seluruh awal mula yang terbujur kaku
Potongan akar-akar rumpang
Kembali menyiangi masa yang tersirat diantara kering-kerontang
Berdialog perihal tumbuhnya tunas pertama
Hingga, sisa-sisa ocehan merpati yang tertinggal diangkasa.
Bercabang namun tak akan pernah menyesatkan
Rindang, dan begitu meneduhkan
Deras menguap diantara kalut
Terik menyeka kerumunan kabut
Potongan demi potongan mulai terpaut
Merayakan mekar pertama yang akan disambut
Bukan mawar yang diperbincangkan
Bukan melati yang mengharumkan
Mereka hanya pecahan akar-akar tanpa dedaunan.
Yang merekam kisah romansa dibawah pijakan.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
Panggung Musim Kelima
Sejak runtuhnya petang,
Kidung-kidung perlahan dimainkan
Hingga tanah bijana mengalami pembusukan
Dan kelakar do'a mulai memenuhi seluruh ruangan
Sejak dilipatnya malam
Purnama berkeliling mengitari garis lintas
Memelas pada setiap Tuhan yang pantas
Mengemas keping-keping percaya yang terlepas
Sejak retaknya bilik-bilik pagi
Jarum-jarum berhenti kembali
Setiap sudut serupa duri
Mengecupi ubun-ubun, hingga menjalar ke ruas ruas kaki.
Kini do'a-do'a serupa obituari
Sekat-sekat udara menjadi elegi
Pada pekik sepi, dan peluh yang mencuat tanpa henti
Sejak pudarnya warna pada senja kala
Kepakan sayap mulai bersuara
Menyuguhkan dingin selimut yang gulita
Menjadikannya tempat paling istimewa,
yang menahanmu untuk tetap ada.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019
Kidung-kidung perlahan dimainkan
Hingga tanah bijana mengalami pembusukan
Dan kelakar do'a mulai memenuhi seluruh ruangan
Sejak dilipatnya malam
Purnama berkeliling mengitari garis lintas
Memelas pada setiap Tuhan yang pantas
Mengemas keping-keping percaya yang terlepas
Sejak retaknya bilik-bilik pagi
Jarum-jarum berhenti kembali
Setiap sudut serupa duri
Mengecupi ubun-ubun, hingga menjalar ke ruas ruas kaki.
Kini do'a-do'a serupa obituari
Sekat-sekat udara menjadi elegi
Pada pekik sepi, dan peluh yang mencuat tanpa henti
Sejak pudarnya warna pada senja kala
Kepakan sayap mulai bersuara
Menyuguhkan dingin selimut yang gulita
Menjadikannya tempat paling istimewa,
yang menahanmu untuk tetap ada.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 21 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
19/11/19
Rentang
Barangkali,
Hanya sedekat jemari dan kaca-kaca yang dinanti hujan.
Jumpa kita tersekat satuan.
Kau adalah suhu dinding kamar, dan aku adalah pantulan cahaya ditengah deras yang berbinar.
Bersama,
kita menjadi embun,
Tempat simbol hati berkerumun,
hilang seketika, tersapu rindu yang menahun.
Barangkali,
Hanya sebatas akrab rentetan klausa dalam frasa
Debar yang ada, tak mampu diredam aksara
Bersama,
Kita mengisi rumpang bagian alinea,
Terpisah, kita menjadi yatim dan piatu puluhan kata
Barangkali,
Hanya sebatas ampas dan kopi,
Bersama, kita menjadi pahit sempurna yang bermuara pada lidah manusia,
Mengalir menuju pencernaan, lalu terserap sebagai ketenangan yang maha dahsyat.
Kita bisa lebih lancang dari rintik yang memeluk tanah,
Bisa menjadi yang paling keras kepala dibanding gemintang ditengah lampu kota.
Barangkali, angkasa jemu dengan untaian nama yang sama,
Maka, kita cukupkan sejenak dan mulailah menjadi paling berisik diantara sunyi,
Hingga kelak, ketika lagu-lagu itu mulai bersuara,
Segalamu akan kembali sebagai yang luar biasa.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 19 November 2019
Hanya sedekat jemari dan kaca-kaca yang dinanti hujan.
Jumpa kita tersekat satuan.
Kau adalah suhu dinding kamar, dan aku adalah pantulan cahaya ditengah deras yang berbinar.
Bersama,
kita menjadi embun,
Tempat simbol hati berkerumun,
hilang seketika, tersapu rindu yang menahun.
Barangkali,
Hanya sebatas akrab rentetan klausa dalam frasa
Debar yang ada, tak mampu diredam aksara
Bersama,
Kita mengisi rumpang bagian alinea,
Terpisah, kita menjadi yatim dan piatu puluhan kata
Barangkali,
Hanya sebatas ampas dan kopi,
Bersama, kita menjadi pahit sempurna yang bermuara pada lidah manusia,
Mengalir menuju pencernaan, lalu terserap sebagai ketenangan yang maha dahsyat.
Kita bisa lebih lancang dari rintik yang memeluk tanah,
Bisa menjadi yang paling keras kepala dibanding gemintang ditengah lampu kota.
Barangkali, angkasa jemu dengan untaian nama yang sama,
Maka, kita cukupkan sejenak dan mulailah menjadi paling berisik diantara sunyi,
Hingga kelak, ketika lagu-lagu itu mulai bersuara,
Segalamu akan kembali sebagai yang luar biasa.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 19 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
Narasi Ilalang
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
Tepat, ditepian halimun yang berkerumun,
Tatap pemuda itu berlarian,
Mencari sudut-sudut persembunyian,
Dicelah bebatuan,
dibalik karpet kemerahan,
ditengah telapak tangan,
di jari-jari yang dikepalkan,
pada berkah-berkah yang dirapalkan
hingga, disela sorak tangis yang bersahutan.
“ Aku menemukanmu ! “
sahut detik pertama yang tertawa,
detik kedua, deras menyambangi pelupuk mata,
dan detik ketiga, hening bertamu tanpa mengenal kala.
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
Pemuda itu kini mengunyah sisa langkah
Kelu lidah penuh liku luka kata-kata batinnya
Memuntahkan sumpah serapah, dia tertawa
Lekuk syaraf kian menebal
Parau tawa tersengal-sengal, sayup sayup perlahan redup
Tenggelam diatas ranjang paling gulita
“ Indah sekali rasanya “
bisik aroma tanah dan ragam warna bunga kamboja
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
“ Tahukah tuan, siapa yang paling merasa riang ?
Sepasang malaikat,
Mereka hanya tahu cara tertawa, ditengah tiap tangisan, diatas kain yang diikatkan, dan
disela-sela tanah pemakaman “
Aku tahu,
Akulah sepenggal sajak jalang, yang tengah dibacakan dikerumunan ilalang
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 18 November 2019
Tepat, ditepian halimun yang berkerumun,
Tatap pemuda itu berlarian,
Mencari sudut-sudut persembunyian,
Dicelah bebatuan,
dibalik karpet kemerahan,
ditengah telapak tangan,
di jari-jari yang dikepalkan,
pada berkah-berkah yang dirapalkan
hingga, disela sorak tangis yang bersahutan.
“ Aku menemukanmu ! “
sahut detik pertama yang tertawa,
detik kedua, deras menyambangi pelupuk mata,
dan detik ketiga, hening bertamu tanpa mengenal kala.
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
Pemuda itu kini mengunyah sisa langkah
Kelu lidah penuh liku luka kata-kata batinnya
Memuntahkan sumpah serapah, dia tertawa
Lekuk syaraf kian menebal
Parau tawa tersengal-sengal, sayup sayup perlahan redup
Tenggelam diatas ranjang paling gulita
“ Indah sekali rasanya “
bisik aroma tanah dan ragam warna bunga kamboja
Sepenggal sajak jalang, tengah dibacakan diantara kalut marut ilalang.
“ Tahukah tuan, siapa yang paling merasa riang ?
Sepasang malaikat,
Mereka hanya tahu cara tertawa, ditengah tiap tangisan, diatas kain yang diikatkan, dan
disela-sela tanah pemakaman “
Aku tahu,
Akulah sepenggal sajak jalang, yang tengah dibacakan dikerumunan ilalang
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 18 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
Tuanrusa
Vista Genesis
Belum lama kitab-kitab kembali menuju sepi,
Kumpulan malaikat turun menyiangi sisa surgawi
Kisah legendaris metamorfosa sunyi
Hingga kelahiran yang ditepis mati.
Menyusuri bekas kecupan Sang Pujangga dari Avon
Dilekuk bibirmu yang kini merupa puisi
Mata ini menjadi saksi hidup sepenggal risalah penciptaan, untuk kemudian diterjemahkan kedalam satu sosok keindahan.
Dibibirku, kau terlukis sebagai secangkir anggur merah,
Ranum manis namamu rimbun dipermukaan lidah,
Lembut rerumputan bersarang diatas kasar epidermis yang terasah
Mengakar lebih dalam,
Mencuat kesetiap indera, menjelma elok cakrawala dipenghujung jumpa.
Ayat-ayat menyebutmu sebagai wanita
Malaikat memanggilmu Si Gadis Belia
Sedangkan, aku menemuimu sebagai sisa Taman Firdaus yang tertinggal di dunia.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 16 November 2019
Kumpulan malaikat turun menyiangi sisa surgawi
Kisah legendaris metamorfosa sunyi
Hingga kelahiran yang ditepis mati.
Menyusuri bekas kecupan Sang Pujangga dari Avon
Dilekuk bibirmu yang kini merupa puisi
Mata ini menjadi saksi hidup sepenggal risalah penciptaan, untuk kemudian diterjemahkan kedalam satu sosok keindahan.
Dibibirku, kau terlukis sebagai secangkir anggur merah,
Ranum manis namamu rimbun dipermukaan lidah,
Lembut rerumputan bersarang diatas kasar epidermis yang terasah
Mengakar lebih dalam,
Mencuat kesetiap indera, menjelma elok cakrawala dipenghujung jumpa.
Ayat-ayat menyebutmu sebagai wanita
Malaikat memanggilmu Si Gadis Belia
Sedangkan, aku menemuimu sebagai sisa Taman Firdaus yang tertinggal di dunia.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 16 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
12/11/19
SURAT KEPADA KOTA
Di ruas persimpangan itu, aku menemuimu sebagai lampu taman dikala hujan.
Kilauan pemeluk mata,
temaram mengisi ruang-ruang kosong disudut retina,
lalu jatuh sebagai sosok terindah dalam kepala.
Di ujung jalanan Bandung, aku mengenalimu sebagai bising debar yang tak terbendung.
Lekat-lekat pada permukaan membran telinga
Membisukan mata
dengan namamu yang menjadi keindahan diantara gedung kota
Di langit ini, aku mengingatmu sebagai warna biru diawal hari
merupa kaidah semesta bertegur sapa,
antara do’a-do’a
dan rindu yang ditelantarkan jarak
Kembali diruas persimpangan itu,
aku menemukan sebuah papan jalan tanpa bernama.
Rekaan waktu selepas hujan, sebagai kenangan yang akan semesta tuliskan.
bahwa kalimat pertama, adalah kau yang menjadi puan, denganku sebagai titik, sebagai tuan.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 November 2019
Kilauan pemeluk mata,
temaram mengisi ruang-ruang kosong disudut retina,
lalu jatuh sebagai sosok terindah dalam kepala.
Di ujung jalanan Bandung, aku mengenalimu sebagai bising debar yang tak terbendung.
Lekat-lekat pada permukaan membran telinga
Membisukan mata
dengan namamu yang menjadi keindahan diantara gedung kota
Di langit ini, aku mengingatmu sebagai warna biru diawal hari
merupa kaidah semesta bertegur sapa,
antara do’a-do’a
dan rindu yang ditelantarkan jarak
Kembali diruas persimpangan itu,
aku menemukan sebuah papan jalan tanpa bernama.
Rekaan waktu selepas hujan, sebagai kenangan yang akan semesta tuliskan.
bahwa kalimat pertama, adalah kau yang menjadi puan, denganku sebagai titik, sebagai tuan.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
KONTEMPLASI SATU ARAH
Untuk debar yang dibungkam sepi,
coretan acak tentang kita telah mengudara mengitari bumi
goresan paling membentang,
serupa cakrawala yang membenang
membelit setiap sisi, membentuk gurat-gurat diselaput mimpi.
Untuk denting yang bernafas diantara hampa,
saduran luka-liku lara, telah sampailah kesetiap pasang telinga
reka suara tawa, tangis, canda, bahagia, dan luka tertulis pada partiturnya
membuai ego yang berdamai, hingga ledakan badai dipelupuk mata.
Untuk do’a-do’a yang tersimpul di ujung usia
Kelopak-kelopak mulai merekah menggantikan senja
Gugur satu persatu menjadikannya sebongkah riasan mahkota,
Pendar terindah yang dirawat semesta.
Mendekatlah,
kusematkan beberapa kisah kecil ditiap bidangnya,
Perihal ranum asmara dibawah semesta,
Hangat rumah dipinggiran desa,
Sayur-mayur yang kau ingin tanam dihalamannya,
Lusinan jejak kecil yang memanggilmu mama,
Tawa riang disisi-sisi meja
Dan kisah lain yang telah kita susun sedemikian rupa.
Hingga manis gula-gula kian melarut
Rindu untukmu semakin kalut.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 November 2019
coretan acak tentang kita telah mengudara mengitari bumi
goresan paling membentang,
serupa cakrawala yang membenang
membelit setiap sisi, membentuk gurat-gurat diselaput mimpi.
Untuk denting yang bernafas diantara hampa,
saduran luka-liku lara, telah sampailah kesetiap pasang telinga
reka suara tawa, tangis, canda, bahagia, dan luka tertulis pada partiturnya
membuai ego yang berdamai, hingga ledakan badai dipelupuk mata.
Untuk do’a-do’a yang tersimpul di ujung usia
Kelopak-kelopak mulai merekah menggantikan senja
Gugur satu persatu menjadikannya sebongkah riasan mahkota,
Pendar terindah yang dirawat semesta.
Mendekatlah,
kusematkan beberapa kisah kecil ditiap bidangnya,
Perihal ranum asmara dibawah semesta,
Hangat rumah dipinggiran desa,
Sayur-mayur yang kau ingin tanam dihalamannya,
Lusinan jejak kecil yang memanggilmu mama,
Tawa riang disisi-sisi meja
Dan kisah lain yang telah kita susun sedemikian rupa.
Hingga manis gula-gula kian melarut
Rindu untukmu semakin kalut.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 12 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
10/11/19
KALA MEKAR
Pada kuncup-kuncup purnama selepas November,
Bermekaran sajak-sajak rindu yang ditepis hujan
Merekah merah tiap mahkotanya, tajam pula wewangian, menjadikannya sebuah berkah.
Membelit debar yang meradang,
Merindu kepingan darah yang lupa pulang,
Penolakan terhebat pada celah rumpang,
Antara rusuk dan lengkung yang merasuk.
Disini namamu masih kumakamkan, dipangkal tenggorokan,
Dilaring-laring yang bercelah,
Dibawah lidah,
Dan disekat peparu yang hampir pecah.
Sesekali kugali,
Untuk dipelajari,
Bahwa yang waktu adalah yang mati
Yang temu ialah yang jemu
Yang abadi adalah do'a-do'a manusia
pada Tuhan dengan nama berbeda.
Dan yang merusak, adalah harapan yang merisak.
Kupungut huruf per huruf hingga terlepas,
Untukku seduh bersama alir waktu di pipimu yang gemas
Kala itu,
Musim itu,
Hujan itu,
Tawa itu,
Kamu itu,
Rindu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam,
10 November 2019
Bermekaran sajak-sajak rindu yang ditepis hujan
Merekah merah tiap mahkotanya, tajam pula wewangian, menjadikannya sebuah berkah.
Membelit debar yang meradang,
Merindu kepingan darah yang lupa pulang,
Penolakan terhebat pada celah rumpang,
Antara rusuk dan lengkung yang merasuk.
Disini namamu masih kumakamkan, dipangkal tenggorokan,
Dilaring-laring yang bercelah,
Dibawah lidah,
Dan disekat peparu yang hampir pecah.
Sesekali kugali,
Untuk dipelajari,
Bahwa yang waktu adalah yang mati
Yang temu ialah yang jemu
Yang abadi adalah do'a-do'a manusia
pada Tuhan dengan nama berbeda.
Dan yang merusak, adalah harapan yang merisak.
Kupungut huruf per huruf hingga terlepas,
Untukku seduh bersama alir waktu di pipimu yang gemas
Kala itu,
Musim itu,
Hujan itu,
Tawa itu,
Kamu itu,
Rindu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam,
10 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
Tuanrusa
TAMAN
Dan pada kecupan sore,
Kembali kukibarkan pelukan paling jauh untuk cemasmu yang mulai riuh.
Beruntun kulepaskan rindu yang enggan mengalah, menuntun belahan arus menuju belantara yang tak terjamah.
Ragam cabang telah tersaji, untuk kau seleksi,
Kukembalikan semua pada dasar akal,
Berdiam diri pada kubangan dangkal,
Ataukah menyusuri lagi aspal jalanan dengan goresan kisah yang dirapal ?
Kutunggu kau dibawah bianglala,
Temui aku dengan senyum dan sepasang maaf, untuk semua yang waktu perbuat.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 10 November 2019
Kembali kukibarkan pelukan paling jauh untuk cemasmu yang mulai riuh.
Beruntun kulepaskan rindu yang enggan mengalah, menuntun belahan arus menuju belantara yang tak terjamah.
Ragam cabang telah tersaji, untuk kau seleksi,
Kukembalikan semua pada dasar akal,
Berdiam diri pada kubangan dangkal,
Ataukah menyusuri lagi aspal jalanan dengan goresan kisah yang dirapal ?
Kutunggu kau dibawah bianglala,
Temui aku dengan senyum dan sepasang maaf, untuk semua yang waktu perbuat.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 10 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
06/11/19
LUKIS TEPIAN WAKTU
Setelah bertegur sapa dengan ragam praduga,
Secangkir kopi kembali melarutkan bias-bias kata
Beredar kesetiap pasang telinga yang sejak malam melangkah, namun tetap di tempat yang sama
Barisan papila kerap menagih manis seruan namamu,
Memaknai setiap binomial yang tersemat pada sisa napasmu,
Sebagai sebuah kompendium atas proses penciptaan rindu
" Bagian mana lagi, tentangmu yang kulewatkan ? Ataukah harus kucatat beberapa alinea paling hangat, untuk kemudian kujadikan alternatif pembaharuan ? "
Tutur sepasang kelopak pada goresan yang memberontak,
" Maka, jadikanlah dia sebuah gambar !
Pahat diantara celah angkasa !
Disela-sela lantunan do'a !
Dipermukaan dinding gedung-gedung kota !
Diatas hamparan aspal jalan raya !
Pada papan nama persimpangan tua !
Pada langit-langit mulut yang kini tunawicara !
Pada celah rongga dada, dan serambi kanan yang menunggangi detak tanpa irama !
Pahat !
Sedalam mungkin !
Sejelas mungkin !
Sebagai penerjemah, dari kecewa yang tak mampu diredam kata
Rindu yang mendidihkan rasa,
Dan penggambaran dari luka, sebagai sebuah seni paling sempurna "
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 6 November 2019
Secangkir kopi kembali melarutkan bias-bias kata
Beredar kesetiap pasang telinga yang sejak malam melangkah, namun tetap di tempat yang sama
Barisan papila kerap menagih manis seruan namamu,
Memaknai setiap binomial yang tersemat pada sisa napasmu,
Sebagai sebuah kompendium atas proses penciptaan rindu
" Bagian mana lagi, tentangmu yang kulewatkan ? Ataukah harus kucatat beberapa alinea paling hangat, untuk kemudian kujadikan alternatif pembaharuan ? "
Tutur sepasang kelopak pada goresan yang memberontak,
" Maka, jadikanlah dia sebuah gambar !
Pahat diantara celah angkasa !
Disela-sela lantunan do'a !
Dipermukaan dinding gedung-gedung kota !
Diatas hamparan aspal jalan raya !
Pada papan nama persimpangan tua !
Pada langit-langit mulut yang kini tunawicara !
Pada celah rongga dada, dan serambi kanan yang menunggangi detak tanpa irama !
Pahat !
Sedalam mungkin !
Sejelas mungkin !
Sebagai penerjemah, dari kecewa yang tak mampu diredam kata
Rindu yang mendidihkan rasa,
Dan penggambaran dari luka, sebagai sebuah seni paling sempurna "
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 6 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
rasadalamaksara,
Sajak,
Tuanrusa
05/11/19
PADA CELAH JEDA
Pada malam-malam yang berkaca di kaki bulan,
Rangkai pesan dipintal sedemikian rupa,
Tersulam pada batang tubuh angkasa
Menjadikanmu sebuah asma yang berserakan disepanjang jangka
Memikat bagian-bagian yang tercantum pada bebunyian
Beranjak menyusuri luka-liku berbagai kesan
Dengan atau tanpa penopang jejak yang dilangkahkan, sebagai bungkam yang mekar disudut alasan.
Disana, namamu merabas
Menjelma penyintas yang berlari kecil pada lintas,
antara liar yang terbebas dan tatap yang membekas
Berlinang lepas, kemudian jatuh pada lahan-lahan cemas yang dikebumikan.
Kau, adalah pohon rimbun paling bersemi ditepian sanubari,
Berbatang kuat,
Berdaun lebat,
Dengan buah yang merupa cemas paling hebat untukku pelajari
Takjub paling luar biasa, bagi ketakutan yang menjadikannya manusia.
Secepat itu kau tumbuh,
Seindah itu debar untukmu bergemuruh.
Pada malam yang terasa asing,
Bagian pelupuk memanen rautmu atas keindahan masing-masing.
Sungging ayumu,
Manis gelakmu,
Kemas tuturmu,
Dan hal indah lain yang bersemayam pada atmamu.
Kau, kini merupa taman dicelah pagar
Sejuk terik yang tersamar,
Paling cerah bagi seluruh danau,
Dengan hadirku disana, sebagai penjaga dari kebun igau yang meracau kacau,
Pada malam-malam selanjutnya,
Aku masih menjadi pengagumu,
Menikmati teduh rayumu,
Sejauh itu,
Sediam itu
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 5 November 2019
Rangkai pesan dipintal sedemikian rupa,
Tersulam pada batang tubuh angkasa
Menjadikanmu sebuah asma yang berserakan disepanjang jangka
Memikat bagian-bagian yang tercantum pada bebunyian
Beranjak menyusuri luka-liku berbagai kesan
Dengan atau tanpa penopang jejak yang dilangkahkan, sebagai bungkam yang mekar disudut alasan.
Disana, namamu merabas
Menjelma penyintas yang berlari kecil pada lintas,
antara liar yang terbebas dan tatap yang membekas
Berlinang lepas, kemudian jatuh pada lahan-lahan cemas yang dikebumikan.
Kau, adalah pohon rimbun paling bersemi ditepian sanubari,
Berbatang kuat,
Berdaun lebat,
Dengan buah yang merupa cemas paling hebat untukku pelajari
Takjub paling luar biasa, bagi ketakutan yang menjadikannya manusia.
Secepat itu kau tumbuh,
Seindah itu debar untukmu bergemuruh.
Pada malam yang terasa asing,
Bagian pelupuk memanen rautmu atas keindahan masing-masing.
Sungging ayumu,
Manis gelakmu,
Kemas tuturmu,
Dan hal indah lain yang bersemayam pada atmamu.
Kau, kini merupa taman dicelah pagar
Sejuk terik yang tersamar,
Paling cerah bagi seluruh danau,
Dengan hadirku disana, sebagai penjaga dari kebun igau yang meracau kacau,
Pada malam-malam selanjutnya,
Aku masih menjadi pengagumu,
Menikmati teduh rayumu,
Sejauh itu,
Sediam itu
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 5 November 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
04/11/19
DIALOG DUA BIDANG
Kini malam tak seterang biasanya
Terlalu pekat untuk ditangkap selaput jala
Sedikit kehilangan riuh diantara udara
Dan, banyak menghadirkan cemas disela-selanya
Konfrontasi purnama dengan semesta menjadi cerita paling berisik disekujur sunyi
Serupa proses deflagrasi tanpa inti
Dengan debat dan terka yang hadir bertubi - tubi
Ya,
Sebagai bidak, kita hanya mampu meringkus gerombolan prasangka begitu banyak,
Entah penjajalan dari Sang Penulis Predesitnasi, ataukah lini masa dan semesta yang sedang berkonspirasi
Entahlah,
Sebagai bidak, kita hanya mampu meringkus gerombolan prasangka begitu banyak,
Pada akhirnya, kita kembali menjadi frasa
dalam naskah rumpang,
Serupa proses akulturasi masing-masing diksi untuk kemudian dimaknai,
Ataukah tetap bersimpuh dibalik barisan kalimat repetisi.
Tak ingatkah ?
Kita pernah dibaca sebagai kalimat majemuk, saling menyelamatkan Sang Waktu yang berada diujung tanduk,
Hingga apresiasi pun terdengar bagai kalimat pengutuk.
Tak inginkah ?
Mereka membaca kita kembali sebagai naskah yang utuh,
Pelengkap segala separuh
Menebus debar yang hampir runtuh,
Hangat yang menyeluruh
Paling jenaka pada lara yang luruh,
Hingga menjadi penyangga tiap jejak yang lumpuh.
Aku ingin itu,
Menjadi bacaan berulang sebelum semuanya hilang
Aku ingin itu,
Aku
Ingin
Itu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 3 November 2019
*Konfrontasi : permusuhan, pertentangan
Deflagrasi : proses pembakaran dalam waktu singkat, disertai nyala terang dan suara gemertak
Predestinasi : Ketentuan Tuhan
Deskripsi :
" Semesta tercipta dari dua bidang berlawanan dalam sebuah kesatuan,
Siang dan malam, kiri dan kanan, langit dan bumi, hidup dan mati. Dapatkah kau bayangkan jika satu bidang kemudian hilang ?
Aku tak ingin hanya menjadi malam tanpa siang, langit tanpa pijakan bumi, dan hidup tanpa mengenal mati.
Maka, tetaplah menjadi bidang datar yang selaras,
Jika Siang dan malam dapat dikatakan waktu, Kiri dan kanan menjadi sebuah arah, lalu, aku dan kamu melebur dalam kata Kita "
Terlalu pekat untuk ditangkap selaput jala
Sedikit kehilangan riuh diantara udara
Dan, banyak menghadirkan cemas disela-selanya
Konfrontasi purnama dengan semesta menjadi cerita paling berisik disekujur sunyi
Serupa proses deflagrasi tanpa inti
Dengan debat dan terka yang hadir bertubi - tubi
Ya,
Sebagai bidak, kita hanya mampu meringkus gerombolan prasangka begitu banyak,
Entah penjajalan dari Sang Penulis Predesitnasi, ataukah lini masa dan semesta yang sedang berkonspirasi
Entahlah,
Sebagai bidak, kita hanya mampu meringkus gerombolan prasangka begitu banyak,
Pada akhirnya, kita kembali menjadi frasa
dalam naskah rumpang,
Serupa proses akulturasi masing-masing diksi untuk kemudian dimaknai,
Ataukah tetap bersimpuh dibalik barisan kalimat repetisi.
Tak ingatkah ?
Kita pernah dibaca sebagai kalimat majemuk, saling menyelamatkan Sang Waktu yang berada diujung tanduk,
Hingga apresiasi pun terdengar bagai kalimat pengutuk.
Tak inginkah ?
Mereka membaca kita kembali sebagai naskah yang utuh,
Pelengkap segala separuh
Menebus debar yang hampir runtuh,
Hangat yang menyeluruh
Paling jenaka pada lara yang luruh,
Hingga menjadi penyangga tiap jejak yang lumpuh.
Aku ingin itu,
Menjadi bacaan berulang sebelum semuanya hilang
Aku ingin itu,
Aku
Ingin
Itu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 3 November 2019
*Konfrontasi : permusuhan, pertentangan
Deflagrasi : proses pembakaran dalam waktu singkat, disertai nyala terang dan suara gemertak
Predestinasi : Ketentuan Tuhan
Deskripsi :
" Semesta tercipta dari dua bidang berlawanan dalam sebuah kesatuan,
Siang dan malam, kiri dan kanan, langit dan bumi, hidup dan mati. Dapatkah kau bayangkan jika satu bidang kemudian hilang ?
Aku tak ingin hanya menjadi malam tanpa siang, langit tanpa pijakan bumi, dan hidup tanpa mengenal mati.
Maka, tetaplah menjadi bidang datar yang selaras,
Jika Siang dan malam dapat dikatakan waktu, Kiri dan kanan menjadi sebuah arah, lalu, aku dan kamu melebur dalam kata Kita "
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
02/11/19
PULANG PADA PALUNG MATAMU
Kudapati pagi menyembunyikan diri,
dibawah naungan rangka rangkai jarak diawal hari
Menghitung kilau awan,
Mengeja butir pasir,
Menyulam desir angin,
Hingga merakit kembali segala ingin,
Lalu,
Kutemukan petang berlalu-lalang,
Bingung yang tampak disekujur ruang,
Kembali berputar mengitari kepala,
Mengorbit pada batas garis maya,
Lalu mendarat sebagai hujan yang tertahan disekitar mata.
Detik pertama selalu mampu menyekat ruang pernafasan,
Menggurui jantung agar berdetak tak karuan, dengan jarak yang aliri pembuluh sebagai sebuah hambatan.
Kemudian, kujumpai malam tengah berbaring diatas ranjang,
Mengeluhkan purnama lain yang hilang
Dengan matamu sebagai tempat ternyaman gemintang bersarang.
Hingga keesokan hari, semua hilang tak kutemui kembali,
Rombongan awan,
Ombak lautan,
Bahkan terik yang memburu,
Segalanya sepakat untuk bersemayam pada matamu.
Sedalam itu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 2 november 2019
dibawah naungan rangka rangkai jarak diawal hari
Menghitung kilau awan,
Mengeja butir pasir,
Menyulam desir angin,
Hingga merakit kembali segala ingin,
Lalu,
Kutemukan petang berlalu-lalang,
Bingung yang tampak disekujur ruang,
Kembali berputar mengitari kepala,
Mengorbit pada batas garis maya,
Lalu mendarat sebagai hujan yang tertahan disekitar mata.
Detik pertama selalu mampu menyekat ruang pernafasan,
Menggurui jantung agar berdetak tak karuan, dengan jarak yang aliri pembuluh sebagai sebuah hambatan.
Kemudian, kujumpai malam tengah berbaring diatas ranjang,
Mengeluhkan purnama lain yang hilang
Dengan matamu sebagai tempat ternyaman gemintang bersarang.
Hingga keesokan hari, semua hilang tak kutemui kembali,
Rombongan awan,
Ombak lautan,
Bahkan terik yang memburu,
Segalanya sepakat untuk bersemayam pada matamu.
Sedalam itu.
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 2 november 2019
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
ELONGASI UJUNG PENA
Pada catatan lembar kesebelas,
Hadirmu kembali mengunjungi dataran tandus sebelum deras,
Membawa lagi rintik, dibalik gulungan angin yang begitu memelas
Rentetan senyum dingin, kembali kurangkap semua tanpa membekas
Dalam kekosongan laci-laci meja,
Namamu kutulis tanpa jeda,
Merangkai risalah, pada ingatan yang terpecah-belah,
Dengan diriku sebagai titik, dan kau, adalah tanda koma yang kerap berpindah
Menyiangi beragam alasan
Menyirami berbagai pertanyaan
Untuk kau jadikan pembaharuan,
Pada siklus hujan,
yang tertahan di setiap penghujung bulan,
Di ujung setiap kedipan.
Bolehkah catatan itu kubaca ulang ?
Pada baris obrolan ringan,
menatap senja diperjalanan,
Hal-hal memalukan,
Bincang-bincang kesedihan,
Solusi sepi kekecewaan,
dan kenangan lain di beberapa bagian,
Bolehkah ?
Sebelum sosokmu menjadi puisi,
atau debar mulai kehilangan arti.
Lihatlah tubuh siapa yang jatuh berulang kali,
Genggam kuat luka jemari,
Perjuangan yang dimakamkan,
Sabar yang tak sadarkan,
Hingga hadir yang dihilangkan.
Maaf, kau masih tetap kujadikan tanda koma di setiap kata,
Metafora yang kuanggap nyata,
Dan pusat kerinduan, dari luka yang keras kepala.
Seindah ini menuliskan sosok manusia, sebagai lara
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 2 November 2019
ELONGASI : Sudut antara dua benda langit terhadap satu titik acuan tertentu,
" Setelah kejadian itu, namamu kembali kutuliskan sebagai lara paling nikmat untuk ditulis,
Luka terindah untuk dilukis,
Sekaligus bahagia sementara yang paling bengis,
Terima kasih untuk pengalamannya, maaf, rinduku masih tetap keras kepala, seperti sediakala "
Hadirmu kembali mengunjungi dataran tandus sebelum deras,
Membawa lagi rintik, dibalik gulungan angin yang begitu memelas
Rentetan senyum dingin, kembali kurangkap semua tanpa membekas
Dalam kekosongan laci-laci meja,
Namamu kutulis tanpa jeda,
Merangkai risalah, pada ingatan yang terpecah-belah,
Dengan diriku sebagai titik, dan kau, adalah tanda koma yang kerap berpindah
Menyiangi beragam alasan
Menyirami berbagai pertanyaan
Untuk kau jadikan pembaharuan,
Pada siklus hujan,
yang tertahan di setiap penghujung bulan,
Di ujung setiap kedipan.
Bolehkah catatan itu kubaca ulang ?
Pada baris obrolan ringan,
menatap senja diperjalanan,
Hal-hal memalukan,
Bincang-bincang kesedihan,
Solusi sepi kekecewaan,
dan kenangan lain di beberapa bagian,
Bolehkah ?
Sebelum sosokmu menjadi puisi,
atau debar mulai kehilangan arti.
Lihatlah tubuh siapa yang jatuh berulang kali,
Genggam kuat luka jemari,
Perjuangan yang dimakamkan,
Sabar yang tak sadarkan,
Hingga hadir yang dihilangkan.
Maaf, kau masih tetap kujadikan tanda koma di setiap kata,
Metafora yang kuanggap nyata,
Dan pusat kerinduan, dari luka yang keras kepala.
Seindah ini menuliskan sosok manusia, sebagai lara
- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 2 November 2019
ELONGASI : Sudut antara dua benda langit terhadap satu titik acuan tertentu,
" Setelah kejadian itu, namamu kembali kutuliskan sebagai lara paling nikmat untuk ditulis,
Luka terindah untuk dilukis,
Sekaligus bahagia sementara yang paling bengis,
Terima kasih untuk pengalamannya, maaf, rinduku masih tetap keras kepala, seperti sediakala "
Label:
Feathernoon,
Prosa,
Puisi,
rasadalamaksara,
Sajak,
sangserdadu,
sastra,
serdadupejuangrasa,
Tuanrusa
Langganan:
Postingan (Atom)