18/12/20

Dawai

Manik matamu adalah ikrar puluhan malaikat di tengah kegelapan

Sihir abadi yang dibenamkan saat tandus

Dipeluk malam terik, menjadikan pendar itu begitu kudus

 

Bibirmu adalah taman bermain Jibril

Berlarian setiap risalah disana

Riang tawa melompat, di bawah teduh yang begitu memikat

 

Keningmu adalah dermaga besar bagi Vasco da Gama

Tempat penjelajah menepi

Menjatuhkan kecupan, di pelipis hingga tepi, untuk kemudian bermukim di batas pipi

 

Ya,

Kau adalah Taman Eden

Lahan yang telah dijanjikan sebelum Adam diciptakan,

Bahkan sebelum dunia dilahirkan

Taman suci tempat sayap-sayap mengistirahatkan diri

Hingga semua insan Dia panggil kembali.

 

-Sang Serdadu, Batam

 

04/05/20

Senyap

Detik kian fasih mengucap waktu yang rimbun,
Petang sigap menjemput tulisan yang terperangkap di sela ubun-ubun,
Hingga malam semakin ramai diterjang embun,
Merangkum setiap harap, akan tatap yang terhenti sepanjang tahun,

Sejenak menjadi musim dingin dengan gigil sebagai perjamuan,
Sejenak menjadi selasar kosong yang hinggap di perkotaan,
Sejenak bermimpi di atas pangkuan,
Sejenak rindu serupa beling yang menusuk tak karuan,

Sebisa mungkin rumput itu bergumam,
Menyebut jejak berulang kali,
Membangunkan diri pada proses siuman dari rasa sepi,
Sebisa mungkin siklus mencoba beralih
Sejak putaran jam pertama, hingga ke titik semula
Dan berakhir pada namamu, 
Tempat segala rasa akan bermuara

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 4 Mei 2020

23/04/20

Distilasi Larik

Tak ada yang mampu menerjemahkan sepi, sekalipun itu puisi
Hanya sebatas untaian kalimat yang larut dalam secangkir kopi,
Terbilas ludah, terserap untuk mengenyangkan segerombolan sel inti.

Mungkin, ada yang berharap menemui seseorang disana,
Diantara bilah-bilah kursi kayu, 
dan dicelah-celah jarum jam yang kusebut dunia, 
atau kilas balik garis maya

Mencari dan menemukan,
Terik dan kesejukan,
sepi dan keramaian,
teguk sampai habis lalu luapkan.

Mereka tak pernah mengerti,
Risalah yang telah tertulis, mungkin hanya sebatas imajinasi atau titik terahir dari sebuah intuisi.

Pecahkan disana, lalu jumpailah jarak yang terpisah,
Pesanmu akan terkirim menuju berbagai rumah dengan satu tuan tanah.

Teguk sampai habis, lalu luapkan semua,
Hingga kau menjadi yang paling purba,
dari putaran jarum jam, dan ciptaan yang tak pernah dianggap ada.

Semakin nyata,
semakin pudar,

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 12 Januari 2020

Disudut Bibir Sepi

Pada tepian bibir itu, bekas kecup dan potret jemari membentuk sebuah formasi baku,

Terlukis siluet dari keluhan lampu-lampu kota, jejak kaki risau yang mengudara, dan sepi yang kian menjadi penerjemah bahasa,

Sesekali bibir itu berdenting, 
bertanya pada isak yang menyesak, 
perihal cara melarikan diri dari sebuah ruang gerak tanpa meninggalkan jejak,

" seperti dugaanku, sepi menjadi penerjemah setiap bahasa "

Sesekali bibir itu berdenting kembali,
kini dia melemparkan pertanyaan serupa, pada embun yang sejak pagi lekat-lekat pada telapak kaki.

"seperti dugaanku, sepi menjadi penerjemah setiap bahasa"

Bibir itu berdenting untuk kesekian kali,
kini dia memutuskan untuk diam,
perlahan mengerti,
bahwa kota ini, hanyalah arloji tua yang Tuhan ciptakan untuk mengelabui manusia,

" di luar dugaanku, bahasa tak mampu menerjemahkan kesepian "

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 7 Februari 2020

Kota Itu

Kota itu akan membawaku kembali pulang,
Menjadi aspal jalanan yang mencuri setiap langkahmu.
Tergilas beberapa keping canda sepanjang perjalanan
Terbilas rinai cerita disetiap persimpangan

Lampu-lampu itu akan menarikku kembali pulang,
Menjadi bola matamu ketika teduh yang petang,
Mengecup setiap kedip dengan deras yang tak sempat terucap

Aku akan mencatat setiap bising yang bertamu,
Termasuk debar saat masing-masing dari kita tersipu
Kutulis satu per satu
Jejak aspal jalanan,
Lampu kota yang hampir dipadamkan,
Dan bunga yang setiap musim bermekaran.

Sebagai penenang, ketika langkahku merindukan kotamu.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 25-02-20

Sejak

Sejak petang,
Ada terik yang terusik khatulistiwa
Jingga tumpah pada sudut pelipis, 
dan tepian kelopak, yang semarak ditumbuhi
sisa tangis

Sejak petang,
Kilau lelehan matamu memenuhi isi bumi,
Meluap,
Menaklukan angkuh samudera, dan riuh gerombolan burung bangkai yang bersarang dicelah rongga dada

Sejak petang,
Sungai-sungai berhenti mengalir,
Tandus hinggap ditelapak tangan,
Gersang rimbun tepat menyekat batang pernapasan

Sejak petang,
Manik-manik matamu berlarian,
Meracau ke setiap penjuru
Menari kecil ditepian pilu

Sejak petang,
Semuanya hilang
Bahkan titik terakhir pada sebuah tulisan usang

Berpulang.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 06-03-2020

Ukir

Semalam, 
kutemukan matamu dikaki angkasa,
Kau angkuh melampaui rasi Cassiopeia, sebagai wujud termanis yang Tuhan turunkan dipuncak tangga,
Jemarimu berpesta pora disana,
semarak kuku-kuku penuh warna, menghiasi sisa-sisa cerita diatas meja

Malam berikutnya,
Kulihat simpul bibirmu lebih indah dari busur Artemis
Lesatan tak tertepis
Bergerak kencang menuju genggam yang mencari makna pulang

Malam-malam selanjutnya,
Kudengar setiap sudut meja membicarakan dirimu,
Matamu,
Elokmu
Segalamu,
Kisahmu, dan segenggam rindu dari seorang pria yang kerap mencumbuimu sebagai arus waktu.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 06-03-2020

Stagnan Yang Disajikan

Sekokoh peradaban Etiopia hingga hangat angin Mediterania
Megah gerbang Notre Dame tergambar jelas pada tenang arus Kanal Venesia

Merangkum kurun yang sempat hilang
Menuju isi kepala yang lupa jalan pulang

Tepian bibir ranum berbuah
Impresi kuat yang menyapa tiap-tiap papila di permukaan lidah

Sejauh itu kau kumaknai
Serupa kicauan waktu yang kerap di nanti

Di sanalah kububuhkan sejumput klausa
Hingga tumbuh liar merambat mengisi alinea
Menjadi gramatikal paling sempurna, 
pada kurun yang berserakan di atas meja

Tajuk paling purba itu, kini kusebut kopi
Tempat paling bijaksana untuk kita menuang keluh sepanjang hari
Sepanjang jarak mengajari cara gemintang pulang
Sejauh rindu menarik kembali langkah para petualang

Tepat, ketika pahit dihabiskan
dan musim perlahan dihentikan
saat itulah, 
waktu kembali hadir
untuk menamaimu, sebagai manis yang Tuhan sembunyikan.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 14-03-2020

08/03/20

DATARAN VERTIKAL

Laut sudah tak memerlukan ombak,
Gemuruhnya tenggelam pada kakimu yang berundak-undak,
Anginnya menjadi malam, 
Meniup sepenggal bulan yang mencemburui matamu sejauh pandangan.

Hingga langit jatuh dipenghujung musim,
Menghantam detak dalam sebuah sirkulasi iklim, yang kini menjadi candu bagi masing-masing teduh untuk bermukim

Mungkin semalam bintang berjatuhan,
Gugur bersama segelas kopi yang kita teguk di bahu jalan.
Berselindung pada gemerlap lampu kendaraan dan tatapanmu yang tak bisa kuasingkan.

Mungkin kala itu mataku terlalu lancang mencuri lengkungmu
Kusandarkan dalam jejak lensa kamera, 
Sebagai tamparan teruntuk petang yang tak bisa diterka.

Ya,
Hampir setiap pekan, kau menjadi udara yang tersesat dalam siklus pernapasan

Hampir setiap saat kau mekar dibalik sekat-sekat yang merambat
Hampir setiap hari,
Hampir setiap waktu,
kau adalah tempat pulang bagi terima kasih yang kusebut rindu

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 25-02-20

04/01/20

Jabat Tanggal

Selepas pergantian tanggal, banyak sisa-sisa kisah yang sempat tertinggal.
Semanis seduhan susu, sehangat teh bercampur madu, maupun sepahit kopi yang kerap menemani saat malam bertamu.
Akan selalu mengekor pada langkah, sejauh apapun kita bergerak.

Pada waktu yang sama, kita disuguhkan dengan dua buah pilihan, melangkah maju, atau kembali memperbaiki kesalahan diwaktu lalu.

" Apa pilihanmu ? "
Entah, mungkin menjadi jawaban terbaikku saat ini,

Sejenak, mari kita sedikit merayakan kesempatan untuk menetap lebih lama di dunia,
menitip harap pada ledakan-ledakan kembang api diatas sana,
Bersorai dengan meneriakan beragam rencana,
Dan menikmati momen singkat untuk berperan sebagai manusia merdeka,

Waktu masih berjalan,
Siklus datang dan pergi masih bergantian,
Suka dan duka masih beriringan.

Terima kasih untuk yang pernah hadir, yang masih menetap, yang berdo'a tanpa lelah, yang setia menjadi telinga untuk ruang keluh dan kesah.

#Cerita Diantara Tanduk 1
- National Gallery Singapore,
Tuan Rusa, 3 Januari 2020

Catatan Selepas Hujan Reda

Serendah langit-langit hingga seluas hamparan langit,
Kau tetap menjadi garis utama dalam sebuah kilas balik
Pendaran kisah paling klasik,
muara dari segala harap yang jatuh dilapangnya terik.

Kujumpai dirimu sebagai untai buku harian,
Persembahan termewah semesta selepas hujan,

Ya,
aroma itu yang kerap melekat diingatan,
Wangi kertas,
pita merah sebagai pembatas,
lelehan tinta,
gusar cerita,
luka,
suka,
dan sisa kering tetesan air mata.

Lagi,
Kau menemukanku dipenguhujung musim,
Kering menerpa angkasa, kau deras mengalir pada pipi-pipi yang merona.

Secepat itu musim berganti
Sesingkat ini cuaca terganti
Sehebat ini kecewa membuatmu kembali
Setangguh ini tulisan usang yang terhapus berulang kali

Hingga sebelum kau torehkan catatan kaki,
Disana telah tertulis,
Aku, masihlah kertas yang sama,
Kan kudekap semua kisah yang kau jatuhkan disana,
Kujilid sempurna, untuk kembali kita baca bersama.

Sepanjang apapun.


- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 22 Desember 2019

Semua Itu Aku

Sama keras serapuh cermin,
Ucap serupa, lintas suara saling menggema
Dia senang berjalan-jalan,
Kepalanya acap kali melawan

Terikatlah dia dengan sukarela
Tapi acapkali dia meronta
Kerap senyap, lalu riuh saat udara pengap.

Cermin tak pernah semuram itu
Musim tak pernah reda secepat itu
Kukira
Aku.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 3 Desember 2019

Di Bawah Permukaan

Dibawah gundukan tanah yang kusebut kaki malam,
Kulihat, kita masih asyik berbincang di tepian kolam,
Berdebat perihal debar yang mengkhawatirkan, dan sesiapa saja yang paling akrab dengan kekosongan

Semula kau bertanya,
" Debar siapa yang kerap membuatmu membangunkan purnama ? "
Jemari mengambil alih peran bibir,
Mendaratkan telunjuk pada permukaan gemas pipimu yang begitu menyihir

Kemudian, kau bersiap dengan pertanyaan kedua,
Terhenti sejenak,
bola matamu yang lucu berlarian mengitari kelopak, tercermin acak corak kata yang hendak kau susun dalam kepala,

Ingin sekali kucuri raut bingungmu kala itu,
kulipat dengan rapi dalam sebuah kotak,
untuk kemudian kuseduh bersama kopi dan secangkir sepi.
Dengan pahit yang menyeruak

Disanalah kau abadi
dalam sebuah aroma,
diantara tiap hirupan napas yang mengisi relung dada
Hadirmu kembali hidup pada balutan malam yang sempurna,

Sedekat kening dan angkasa,
Kita pernah mengawal malam menuju peraduannya.
Menghantarkan sejuk ke tempat dia seharusnya berada
Merangkum setiap musim, menjadi barisan kalimat untuk kita rapal bersama,

Dan sebelum bibirmu beranjak menjatuhkan tanya,
Kudahului suaramu bagai kilat yang kerap berada diawal suara
" Pertanyaan apapun yang kau ajukan,
debar akan selalu memberikan jawaban,
tersimpan disana,
di balik detak ,
yang tak kunjung reda "

-    Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Desember 2019

Dinding

Dijatuhkannya sebuah tulisan,
Permukaan dinding yang penuh lumut itu,
Kini menjadi hamparan kanvas yang begitu luas,

Tercatat dari senyawa Sang Penulis,
Rangkai katanya perlahan mulai berfotosintesis,
Tersusun rapi, membentuk siluet dari seorang gadis.

Ya
Dia yang membuatnya hidup sekali, dua kali, hingga berkali-kali.
Terlihat sejak coretan pertama yang sangat damai, hingga jejak apostrof yang berangsur menjadi bangkai.


" Engkau " sahutnya,
Ujaran tanpa filosofi yang merangkum banyak arti,
Selalu memelas untuk dicari, kerap berharap untuk dimaknai

Selang beberapa dinding,
Ia torehkan sejumput huruf pada bidang putihnya. Menjadi tunas ditengah lapang kosong ruang tanpa kuasa,


Terekstraksi dari kecewa seorang manusia,
Barisan hurufnya serupa bidang maya
Tercarik kemarau, luntur terbilas hujan yang menyapa.

Ya,
Dia yang membuatnya mati sekali, dua kali, hingga berkali-kali,
Terpampang dari jauhnya rentang spasi
Dengan ruang kosong yang ada disetiap sisi.

" E n g k a u ? ", jelasnya
Sebutan sarat makna, yang meluapkan tanda tanya,
Menjadi hantaman maha dahsyat sejak dalam kepala, hingga bertahan dan tetap bersarang, pada jasad manusia yang terbunuh kata-kata.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Desember 2019