12/01/21

Andai

Kembali sejenak menuju andai yang melekat  di celah pemikiran,

Menyulam berbagai kemungkinan untuk menyelamatkan diri, atau hanya bersembunyi

Menjadi bunyi paling sepi, atau malam yang diseduh secangkir kopi

 

Setidaknya, andai kembali berdamai.

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Lenggang

Adalah jarak yang membuat celah antara arteri dan vena

Adalah jarak yang merubuhkan perjumpaan antar tatap mata

Adalah jarak yang menggelisahkan setiap rasa percaya

Adalah jarak yang menjegal berbagai pertemuan manusia

Dan

Adalah jarak, yang membuat rindu semakin menggelora

 

Sejenak, malam adalah tempat baik untuk berpulang,

Menepikan setiap pesan yang menanti balasan datang,

Dermaga terbesar bagi khawatir yang tak tau arah pulang.

 

Telungkupkan telapak di hadapan dada

Rapal sebuah nama hingga Jibril turun dari surga

Beri pesan perlindungan agar dia senantiasa baik, sehat, dan tak kurang satupun

 

Ya

Adalah jarak,

Kembali berjarak,

Yang membuat risalah kian riuh bergerak

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Opasitas

Ramah Sang Singgah dan Tegap tekad yang menetap, 

hanyalah pelengkap dari damai damai yang sekejap hinggap.

Sejenak menenangkan, untuk kemudian mekar sebagai pusat keresahan

Sekilas bergerak bebas, atas segala penasaran yang tak kunjung tuntas

 

Pada akhirnya, kita kembali merengkuh waktu

Memunguti jarak dalam upaya menyembuhkan diri,

Setelah terhantam ratusan kali

Atas setiap janji yang tergores ribuan kali

 

 

Tak ubahnya sebuah naskah usang

Riwayat kerap menjadi tempat pulang,

Selepas puing puing harapan yang tertiup hilang

 

Matamu kian terkenang

Kata-katamu perlahan hilang.

 

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Siklus Alternasi

Bila, elegi telah fasih terlelap dalam dekap dada

desir nadi akan membawa cerita atas setiap luka yang jiwa dera

menjalar pada serambi kanan, hingga ujung pembuluh aorta

berkisah perihal kedukaan kelam yang dipaksa pulang,

hantaman kecewa yang berulang-ulang

dan luapan tangis yang menggenang atas seluruh keping getir yang mengais takdir.

 

Bila, janji telah fasih mengikat setiap papilla

Kata demi kata kembali menikam hadirku yang tertulis sebatas nama.

Sebatas asing yang kau temukan tanpa sengaja

Sebatas pengisi sepi yang kau anggap derita

Sebatas irama pengiring Bahagia yang kalian cipta berdua

Sebatas, kopi dingin yang kau diamkan di atas meja

 

Ketika pintu kedai mulai tertutup

Ketika kau hilang dengan segenap harap yang kutitip.

 

Bila, etika mulai tak mengenali rindu, atau meja kedai itu kian membeku

Percayalah,

Kelak, hadirmu akan menjadi luka paling manis yang disempurnakan oleh waktu

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Subletal Anestesi

Hingga malam kembali terburu-buru,

Menyambut rekahan waktu yang terbunuh semu,

Gerimis perlahan turun pada pipi yang pantas, atas seluruh pilu yang melintas

Kursi yang kau duduki memburumu berkali-kali

 

Menghujam tajam ratusan tanya yang sama,

Perihal lara yang kerap menyusupi pembuluh vena dan semarak hujan di antara purnama

 

" Mana yang akan hujan pilih malam ini ?

Tandus pipi pipimu saat sepi,

Atau hatinya yang berdetak tak henti henti ketika sunyi menghampiri ? "

 

 

Hingga malam tatkala suara kehilangan nada

Tandus kembali hadir dalam bentuk prasangka,

Kepada sesiapa saja yang salah menjatuhkan rasa, atau rasa yang terlalu cepat menguap sebelum menjadi harapan yang nyata.

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Kedai Puan

Sesingkat itu kau menjelma sudut pencarian,

Menjadi kursi tanpa penghuni yang telah lama pemuda itu tinggalkan,

 

Sepi,

Kosong dan tersiasati

Dingin begitu sibuk malam ini,

Matanya berlari mengikuti kata per kata atas singgahnya penikmat kecewa

 

Sunyi,

Dan kau begitu lihai menjadi tempat bersembunyi

 

Tak mengenal aman, kau lekas berpindah

Tanpa karena kau paksa lara kembali menjelajah

 

Seluas itu,

Selapang itu sudut waktu berlari atas luka yang mengerak di pintu hati.

 

Melekat di antara puing puing ingatan

Meledak menjadi buih harapan, atas pergi yang tak layak dirayakan.

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Partisi Fatamorgana

Pada sebuah kepingan mendung

Rindu singgah menemani sibuk yang tertidur pulas di atas meja

Memaknai lelah dan penat, atas segala cemas yang kerap terlibat

 

Betapa juang adalah wujud sebuah ikhlas yang dirayakan, karena segala kalah akan kembali merujuk pada pertanyaan

" Siapa di antara kita yang bersalah ?"

 

Hingga meja perlahan kosong dan tak terjamah

Hingga hujan menampar segala usahamu yang hilang arah

Hingga matamu menyusun gumpalan mendung dengan segala entah

Hingga pipi kembali basah dibilas penyesalan dan semua rasa bersalah

 

Lagi

Rindu adalah sirkulasi yang kerap mengitari

Atas segala waktu yang dinikmati berdua, atau ditangisi sendiri.

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

 

Helianthus

Untuk kesekian kali, daun demi daun kembali membisu

Sunyi hinggapi klorofil yang hancur dipecah waktu

Hening

Bahkan kicau burung menunjukan rasa angkuh

atas segala pertemuan musim yang kian menjauh

 

Untuk kesekian kali, petang tak lagi hinggap di tepian mahkota

Gelap kelopak surya menghiasi kebun yang dulunya dinamai surga

Tandus menyambangi diri

Mengoyak putik dengan tajam,

Merusak jaringan dada dari dalam

 

 

Mengering

Bunga itu kini tak lagi mentari

Mekarnya tak kunjung siang

Layu berserak daunnya

Nektar kian busuk tak terjamah telapak manusia

 

Malang Si Bunga malang

Hilang Sang Surya hilang

Berpangku akar rumpang

Menanti hingga setiap jiwa pulang

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Batam

Fraktus

Seketika rindu rindu tersipu malu,

Pada punggung tangan,

Pada cemas yang menenangkan

dan jemari yang rutin mengibarkan penasaran

 

Seketika petang meredup

Mengintip di antara dua ufuk khatulistiwa

Dan dua manik yang kerap kau lempar ke angkasa

 

Terkadang sore begitu menggemaskan

Kali ini,

Riang tawanya memutuskan untuk singgah menemui matamu,

 

Sebagai tempat bersemayam dua waktu

 

Untuk Tuan Pagi yang kian menyamaimu

Dan Puan Malam yang kerap mencemburuimu

 

Kau lebih liar dari waktu

 

-Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 06-10-20