30/03/19

AVONTUR GEOSENTRIS

Seiring dengan waktu yang berjalan,
Kita akan dihadapkan dengan manisnya pertemuan, dan pahit nya perpisahan.
Kita akan diberikan peran sebagai yang mencari, atau yang menemukan.
Dan kita akan dipaksa menghirup udara kebohongan, dan dilukai oleh kejujuran.
Seiring dengan bumi yang ber rotasi.
Orang orang akan singgah dan pergi.
Entah sementara, ataupun menetap hingga riuh sekitarmu berubah senyap.
Aku ?
Adalah sosok yang akan pergi.
Saat kau menampik ku ke titik awal, dimana kita tak pernah lagi saling mengenal. Dimana kecanggungan diantara kita, terasa amatlah kental.
Dan dimana semesta memisahkan kita dengan sekat yang tebal.
Jangan khawatir,
Aku tak akan mudah lenyap lalu menghilang,
Karena sejatinya,
Kau telah menjadi titik awal ku dalam berpetualang, kau adalah penolakan terbesarku dalam lenyap menuju hilang.
Dan kau selalu menjadi medan magnet yang menarik ku untuk kembali pulang.
Aku bersedia mengkhianati waktu,
Untuk sekedar menikmati tawa mu.
Aku rela terjebak di ruang hampa,
Karena, kehampaan yang sesungguh nya adalah saat aku sadar, bahwa bagimu, aku bukanlah siapa siapa.

seiring waktu yang berjalan sekali lagi
Aku ingin mengecup keningmu saat aku pulang untuk kembali pergi.
Dan meyakinkan mu bahwa,
Dirimu akan selalu menjadi poros ku untuk tetap ber rotasi.


-SerdaduPejuangRasa, Bandung-

LANGIT OPOSISI

Langit ku malam ini terusik sunyi.
Terisak sendiri, meratapi peraduan nya yang baru saja pergi.
Gemerlap perlahan mati, menyisakan secangkir kenangan untuk aku sesap sendiri.
Untukmu,
kusuguhkan bulan dan para bintang yang terang nya mampu membunuh resah,
membungkam sepi.
Naas.
Riuh ramai kini hanya kulewati,
sepi yang mulai berdamai,
perlahan hinggap menetap,
menemani cangkirku ditengah senyap nya ratap.
Bagai panas yang merindukan api,
Disini.
Sunyi ku memaksa untuk tetap tinggal,
memaksaku menyelesaikan kisah yang mulai terpenggal.
Dalam gerutu, otak ku buntu
Untuk sekedar menulis sepucuk sajak yang mulai terbaca rancu.
Hingga teriakan batin membangunkan langitku.
Langitku malam ini rusak oleh sunyi,
Yang terisak sendiri,
meratapi peraduan nya yang baru saja pergi.
Sajak ini akan ku akhiri,
Sudah saat nya hatiku melangkah  pergi,

Perbincangan malam ini,
akan ku ingat lagi nanti.


-SerdaduPejuangRasa, Bandung-

PARASEMATIK KATABOLISME

Rintik hujan memacu darah melawan arus waktu,
Meretas kehendak pada Sang Pilu,
Mendobrak luka dari segala penjuru
Menggerus jarak diantara pori-pori yang disusupi rindu,
Menyibak kenang, yang tersulam sempurna, pada pola lengkung senyummu di waktu lalu, 

Dimana aku,

Terhempas pada gelak tawamu yang begitu bebas,
Menebas segala khawatir yang melintas
Mencederai sepi yang melekat, diantara jejak tak berbekas
Dan melebur sempurna dalam konstelasi semesta yang begitu berkelas, hingga kita,
mulai mengerti cara untuk saling melepas

Sebenarnya,

Merindukanmu itu menyenangkan, mengingat senja yang menertawakan kita pada canda kekanak kanakan,
melempar panggilan kesayangan
Duduk bersebelahan
Enggan melepas genggaman
Melangkah bersamaan
Saling mengungkap rasa diantara baris tatapan,
dengan mengibarkan janji pada sebuah perencanaan,
perihal posisi pelaminan,
Hingga Kota, dimana buah hati kita dilahirkan.
Serta untaian rencana lain yang hampir terwujudkan.

Maaf,
Rindu bertamu sekali lagi,

Membius raga menyusupi ranah kehampaan,
Membasuh ingatan pada deret sapaan, yang setiap pagi selalu kau lontarkan.
Bersamaan dengan luka yang menyambut sebuah ketiadaan,

Mematung diam, termenung dalam temaram
Kuratapi purnama yang telah lama tenggelam,
Tersapu debu, melayang lalu menghilang,
Pada runcingnya sudut takdir yang menikam

Maaf,
Rindu menyapaku sekali lagi

Menitik jatuh sempurna,
ditengah gersangnya kabarmu yang membungkam jutaan kata
Menyekap hati yang terus berbicara
Menghentikan tarian udara,
Menyumbat lajur vena yang mengalirkan namamu didalam nya
Lalu menghapus kehadiran rasa, yang bergelayut manja diantara jingga Sang Senja

Hingga pada akhirnya,

Kita mulai menuliskan makna perpisahan,
Berupaya saling mendewasakan,
dalam cambukan waktu yang menyakitkan,
Meneguk secangkir kehilangan,
Diatas meja kosong tak bertuan,
Menempa rasa yang tak lagi mampu merasakan,
Menyiksa sebuah kehadiran yang bersanding dengan kehilangan,
Memutus ingatan yang bercengkrama dalam proses melupakan
Pahit ? Tentu saja,
Aku tengah menikmati kecurangan rasa dalam tiap lembar cerita,
termaktub dalam setiap celah aksara,
Bahwa kita,
Dipertemukan pada garis waktu yang berbeda,
Saling Memadu isak tangis,
menumbuhkan perih pada hati yang teriris,
Menjelma gerimis, rintiknya membasuh harap yang perlahan terkikis

Rindu menamparku sekali lagi
Memaksa diri menyanyikan sebuah elegi,
Pada pementasan rasa yang enggan mati terhantam luka tak henti henti.
Tertegun,
pada pesona kekecewaan yang begitu anggun
Untukmu,
Yang tak membiarkanku terbangun,
Terima kasih, atas rindu yang begitu beracun,

Padamu, detak perpisahan akan tetap mengalun.

-Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 2019-

AKLIMATISASI DISTROFIK

Ada isak yang terselimuti tawa dengan sempurna,
Ada kecewa yang terbalut indah dalam diamnya,
Ada manja, yang terselip diantara singkat pesan nya,
Ada khawatir, yang tersulam sempurna dibalik celah celah barisan celotehnya.

Ranum diatas belantara rasa,
Seindah merah nya,
serapuh mahkotanya
Kau, menjelma setangkai mawar,
ditengah tandusnya tanah yang hangus terbakar
Tempat harap terkapar
Bejana bagi renjana yang hilang binar.

Lemah,
Rapuh,
Tak berdaya,
Mudah melebur dalam tipudaya
Kata mereka,
yang hanya mampu menerka,
Kata mereka
yang hanya melihatmu bagai fatamorgana,
Terhapus jarak,
tergerus waktu yang mengoyak.

Tertawa pada takdir yang mempermainkan,
tangismu menyuburkan ilalang tandus diseluruh batas pelataran hingga akarnya menancap kuat,
meretas kepedihan.

Untukmu
wanita,
Pupuskan segala kerisauan
Hanguskan semua kekecewaan,
Larutkan kehampaan dengan tawamu yang elegan

Kaulah berlian,
Pendar keindahan, pada proyeksi nyata sebuah penciptaan
Bagai pualam, kau mampu merecah bait bait kelam yang menghujam, tak terbantahkan

Kau
Tangguh,
Kukuh,
Itulah dirimu,

Dibalik keanggunanmu,
Kau, adalah ciptaan yang disempurnakan waktu,
Mekar sempurna diantara rimbun cemara yang layu,
Merekah penuh kuasa, pada pesona konstruksi semesta yang perlahan semu

Ranum diatas belantara rasa,
Seindah merah nya,
serapuh mahkotanya
Kau, menjelma sekali lagi menjadi setangkai mawar, ditengah tandusnya dataran rendah tanpa kata indah,
Namun,
Kini,
Kaulah pesona keindahan yang telah ditemukan.

Mekarlah,
Ranumlah,
Tersenyumlah,
Tetaplah menjadi mawar yang tumbuh indah disetiap celah

Mahkotamu,
Tak layak tersipu layu.

AKLIMATISASI : penyesuaian diri dengan iklim, lingkungan baru
DISTROFIK : danau dengan kandungan asam tinggi, dan gizi rendah


-SerdaduPejuangRasa, Bandung-

PARASITOMA SIMBION

Sore ini,
aku masih menduduki kecemasan paling hebat, dengan hampa yang mencakar kuat.
Menyibak perih pada luka sayat,
 kala kau melantunkan elegi perpisahan dengan sangat khidmat.

Bukan malam yang membuatku terbungkam, tapi tingkahmu yang membuat detak setia dalam diam, tergeletak pasrah dalam naungan kelam.
Bukan waktu yang menegaskan kau sibuk,
tapi sedetik pun, hatimu tak pernah kau izinkan untuk kuketuk
Bukan pula angin, yang mengabarkan kau nyaman dengan kesendirian,
tapi langit, yang menunjukan hatimu telah jatuh ke lain dekapan.
Yang lebih nyaman,
Yang lebih memberi ketenangan,

Hingga,
 disini
Kau hanya menunjukanku sebuah pengasingan, atas segala janji yang telah kau tanggalkan,
Tetiba-tiba,
Membuat waktu terkejut,
tak merela atas sebuah kehilangan
Pancaran bahagia kalian,
terjahit sempurna di lini kala,
Kalimat mesra, saling kalian coretkan pada tiap lembaran malam tanpa purnama,
Kisah indah kalian,
berkembang cepat,
Melesat hebat,
Bergelayut penuh gempita
pada rona senja yang terasa hangat.
Dan padanya,
kasihmu telah tertambat,
Untukku, menarikmu pulang,
Sudah sangat terlambat

Betapa mudah cinta membuatmu pergi kelain hati,
Betapa sulit rindu membawamu kembali

Langkah kakimu menarik diri,
Dengan alasan sekenanya,
Aku tak pernah meminta apa-apa,
Karena, melihatmu tertawa
Menjadi alasan darahku tetap berkeliling mengitari aorta,
mengizinkan aromamu berkumpul dibalik rongga dada,
Lalu berlarian ke sekujur pembuluh utama, hingga menyekat lajur vena,
dengan menumbuhkan hujan dipelupuk mata.
Yang untukmu, harapan itu telah sirna
Termakan janji setia,
Hingga pada akhirnya,
Kau mendatangiku dengan bunga dibibirmu yang sedikit layu,
Isak mu pecah,
meretas sepi diantara kursi kayu,
Tertunduk lesu,
Kau sebut namaku dalam nuansa haru.

Ingin kusambut air matamu dengan sebuah pelukan,
Namun, semua hanya harapan yang tumbuh subur dalam kenangan, tersumbat dengan sempurna dibalik kelenjar airmata, yang kini menjadi sebuah genangan.

Lihatlah,
Senyum itu kembali mekar, setelah berjam-jam tenggelam terselimuti muram. Yang kini aku sadar, tangis mampu menyembuhkan luka yang membakar, menghidupkan cinta yang terkapar,
Dan menyempitkan harapan yang sebelumnya telah melebar.

Kembali dengan mengisahkan dirinya,
Kau begitu antusias, melukai sepasang telinga dengan sebongkah rindu yang menggelora.
Aku baik-baik saja,
Ceritakanlah bahagiamu semuanya,
Karena, bagianku, adalah kesedihan yang terlarut sempurna dalam secangkir airmata.
Cinta kembali membawamu pergi,
Rindu, tak akan pernah cukup, untuk menarikmu kembali
Berbahagialah, wahai yang pernah singgah dihati,
Aku, akan tetap setia menunggu kisah lainmu di kedai ini.

-Serdadu Pejuang Rasa, Bandung 2019-


ABLASI ADENOVIRUS

Secangkir malam tengah kunikmati, ditengah bisikan lampu kedai yang hampir mati,
Denting pun berteriak lirih, mengabarkan rintih ke setiap sudut meja, perihal penyambutan Sang Penikmat Sepi

Hanya mejaku yang masih bernyawa,
Terjaga dari tumpahan fluida rasa,
Terbilas rintik cucuran aksara,
Terbasuh tetesan saliva, atas sebuah nama yang hingga saat ini, masih menggema tanpa suara

Merindukanmu, adalah sehebat hebatnya penolakan penuh kuasa
Kucoba menyusuri tiap-tiap kepingan napasmu dicelah udara, yang tetap bersarang pada harap yang lepas, dan jejak tak berbekas
Lalu
Kulontarkan senyum padamu, yang terjebak dalam potret diri,
Dimana kau, sedang memunguti gemintang sebagai saksi untuk melengkapi sebuah perhelatan suci , esok hari,  dengan saling menumpahkan janji, pada sebuah pelukan yang menyayat hati.
Dan aku,
masih tetap setia, memeluk sepi yang mengitari, pada satu poros untuk tetap berevolusi
saat itulah
Hampa memelukku mesra,
Melengkungkan bibirku atas rasa bahagia yang menyelimuti kesedihan dengan sempurna, tertimbun puing realita, yang menyeretku kedalam pusara dari kekacauan rasa
Tetap saja,
hanya mejaku yang masih bernyawa,
Menyikapi lantunan detak tanpa irama, berbisik halus pada renjana, mengedarkan kecewa kepada setiap pasang telinga
Bahwa,
Sejatinya,
Aku masih mecintaimu tanpa karena,
Tanpa kata padahal, tetap mengorbit pada lini masa yang kuanggap kekal,
Melaju pada lajur sentripetal,
Tempat kilauan harap yang terpental.

Membeku pada hirearki sistematis dari cinta yang teriris,
Aku,
Masih berupaya membenturkan kenyataan pada harapan yang perlahan mulai terkikis,
Mencoba memaknai setiap sudut ruang tak simetris, yang merusak algoritme logika dalam gejolak risau
Terbunuh waktu yang tertawa,
Tertikam asmara tanpa etika,
Terbanting berulang kali tanpa jera
Terbakar hangus, dalam pelukan api kecewa yang membara,
dan disitulah,
harap akan bersuara
bahwa,
Esok, saat hari bahagiamu tiba,
aku, akan menyambangimu bersama seluruh rangkaian luka,
Memapah senja, merengkuh rasa yang tersisa,
seraya berkata
hingga detik ini,
aku, masih mencintaimu tanpa karena


-Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 14 Maret 2019-

MOLEKULER DEHIDROLISIS

Ada sepi yang tumbuh rimbun diantara bising kendaraan,
Ada rintik, yang jatuh sempurna diatas gersang yang mengerang,
Ada aroma yang tertinggal, enggan tanggal,
 mengerak pada setiap lipatan kenang yang terpenggal.

Masih kucoba menguasai jarak, pada pengharapan yang enggan beranjak
Merangkum jejak yang terdiam tak bergerak,
Terjebak tanpa ruang gerak,
Merecah tiap bait isakmu yang terselip pada sebuah makna pisah tanpa satupun perayaan yang layak.

Waktu meluruhkan suara
Membilas rindu yang tetap bertahan pada satu sayatan luka,
Memompa napas, agar udara tetap mengembuskan sebuah nama, pada  celah molekulnya yang tetap sederhana

Sesederhana itu, aku merindukanmu,
Tanpa kata karena, tanpa patahan sebab, yang acapkali menumbuhkan ragu pada letupan rindu yang dengan cepat menghilang tersapu udara

Sesederhana itu, aku mencintaimu,
Tanpa titik jeda, tanpa tanda tanya
Berbahasa atas nama rasa,
Memupuk cinta pada ladang kata, tumbuh rimbun dan berbuah harap yang berserakan di lini kala

Sesederhana itu, aku mencintaimu,
Semudah kugantungkan nyawa pada udara, tapi hanya kau yang kuizinkan masuk  menyusuri celah aorta, tempat harap bersemayam disana

Semudah aku menutup mata,
Membutakan diri akan keindahan semesta, dengan kaulah, satu satunya keanggunan yang selalu dirindukan pelupuk mata,

Semudah itu, aku menulikan telinga,
Membisukan tiap keping suara, membungkam segala resah yang merajalela, dengan kau,
satu satunya suara, yang diizinkan telinga untuk beresonansi didalamnya, memantul,
menggema,
dalam satuan frekuensi yang mampu diterka rasa.

Sesederhana itu, semudah itu

Bergumul dengan waktu,
Masih kucoba meraih titik orbit untuk rasaku berotasi disana,
 namun,
bukan aku yang kau jadikan pusat cintamu berevolusi.

Tak pernah mudah,
Tak pernah sederhana,
Untuk hatimu yang enggan bekerja sama,

Maka, biarkan aku mengalamatkan tulisan ini,
Tak peduli jika coretan ini akan sampai kedalam hati, atau hanya tersangkut dicelah pagar rumahmu nanti.
Namun,
Sepenuh janji,

Aku tak akan pernah pergi,

-SerdaduPejuangRasa, Bandung, 2019-

23/03/19

METAMORFIS DISIMILASI


Pernah
Ada satu masa, kurangkum jarak begitu banyak, hingga musnah tiap satuan, terbunuh lipatan rindu yang melawan,
Melepas rasa yang disisipkan khawatir pada celah-celah sapaan, yang kala itu
Tak pernah luput kau lontarkan untukku jadikan sarapan.

Pernah,
Ada satu masa, jemari begitu ringan dalam menyulam barisan aksara, dengan namamu yang selalu kusembunyikan diantara ruang kata. Terjahit sempurna pada rongga dada,
Bersama namamu, yang kuanggap sebagai udara, tempatku menggantungkan nyawa
Tertiup enggan hilang,
Sosokmu, tetap berlalu lalang, diatas ladang perasaan yang ditutupi ilalang.

Untukmu
Malam selalu kubentangkan,
Sejauh pelupuk mata dan telinga yang berpasangan,
Enggan menemui pagi yang menjemukan,

Aku
memilih mendiami malam sunyi dari kejauhan.
Hanya untuk saling melemparkan pesan,
Yang padamu, kusisipkan beberapa simbol senyuman,

Agar kau tahu,
Disini, ada sesosok manusia yang terbunuh rindu,
Terjebak diantara dilema sebuah rasa yang terus beradu.
Saling menahan candu,
Pada sapaan selamat tidur yang terpantau syahdu

Pernah,
Pada akhirnya, akan berhenti pada titik punah,
memudarlah bayanganmu dibawah pintu rumah yang perlahan musnah,
Menjelma debu,
Terbang mengitari ketiadaan yang tak menentu.
Rindu mengoyak rasa,
Mengunci cinta, pada bilik jantung yang berdetak tanpa irama,
terbelit pembuluh aorta dengan luka terbuka ,
yang sengaja, kau jejalkan rentetan duka, pada tiap keping darah yang mengalir keseluruh raga,
hingga perlahan mati, meregang tanya,

Kini,
Kau pergi menggenggam Sang Hilang dengan memperkenalkan diri atas nama luka,
Yang hingga saat ini sedang kurawat dengan sepenuh penuhnya rasa,
Agar suatu saat, dia mampu kubacakan sebuah cerita,
Tentang rasa, yang terbunuh pelan pelan,
Tersayat robekan paling tidak sopan, atas sebuah rasa penolakan,
yang bernaung pada ikhlas,
dalam sebuah kehilangan.

-SerdaduPejuangRasa, Bandung, Maret 2019-

ANESTETIS KAFEIN

Kini, diawal pagi,
Mentari masih berdiam diri,
Menyembunyikan pijar pada balutan rindu yang bertahan menyelimuti,
Perihal hati yang tertampar waktu berulang kali, 
hingga berhamburan darah, 
diatas lembaran  kosong yang tak pernah terisi
tersapu kesedihan, pada rentetan kenang yang mengitari tak henti henti.

Maka
Izinkan aku menjelma mesin waktu,
untuk kembali menemui dirimu yang hidup dimasa lalu,
dengan segelas kopi yang kita sesap berdua, saat tiba masanya untuk bertemu,
saling melempar tatap mata, 
menganyam tawa dengan sempurna,
melukis kelakar pada kanvas bahagia, 
dengan kau, 
sebagai keindahan yang tak pernah sirna,
kejora paling terang diantara gugus bintang semesta,

Yang kala itu, 
senyumanmu meluruh pahit, 
Begitu manis,
Bagai residu sukrosa, yang melupa saat waktu melarutkannya dalam secangkir kopi ditengah gerimis.
Walau berujung miris.

Pada purnama yang bergelora,
Kau terjaga dalam sebuah cerita,
Perihal pertemuan lain diatas kisah penuh bahagia, 
Berbisik penuh antusias, pada sepasang telinga yang terlewati luka.
Tersayat kata,
Terbias ragu pada gejolak lara yang mendera

Tiga robekan kalender terkapar diatas meja,
Dan kau masih bercerita hal serupa,
Tentang bahagia yang kalian temukan bersama, hingga akhirnya tumbuh rimbunan rintik dipelupuk mata,
Bahagia yang kau damba, 
Retak oleh tusukan duka pada goresan luka yang semakin menganga

Secangkir kopi kembali menjadi saksi,
Kali ini tentang hancurnya sebuah hati
Dengan tangis yang kau susun dengan sangat rapi,
Isak kau selipkan dalam setiap celah kata  yang terbungkus haru.

Diam adalah jawabanku,
Ribuan rintik ditengah gersangnya harap membuatku buntu,
Hingga perih mengering disekujur pipimu,
Mekarlah tawa diantara lengkung senyum yang kau lantunkan dalam nuansa sendu,
Ranum, 
menghujam sepi dalam kebisuan,
Yang pada akhirnya, kau kembali kelain pelukan, merajut lagi bahagia yang telah kalian rencanakan,
Aku, disini 
kau sisakan kepedihan,
Dalam balutan sunyi yang mengoyak kesadaran,
Aku, hanyalah sebuah pajangan
Tempat melepas tangisan,
Tanpa kau pernah beri kesempatan,
Untukku titipkan perasaan

-SerdaduPejuangRasa, Bandung, 2019-



03/03/19

HIREARKI GEOTAKSIS

Rintik menitik pada lembayung nan pelik
Membentur kan detak berpacu detik
dalam koyakan rindu yang mencekik
Terhujam asa, yang mengakar kuat pada satu rasa, memayungi cinta agar tetap tak kasat mata.
Terhantam logika, tepat diantara diafragma dan rongga dada,

Lirih,
Perih,

Saat gejolak rindu hanya dianggap buih pada tatanan kata yang terlanjur mendidih,
meletup hilang,
tersapu angin yang berlalu lalang.

Dan kau,
Tetap menjadi sekuntum bunga ditengah ladang yang kutanami ilalang.
Rimbunnya rindu yang kau tanam,
Memalingkan mata dunia akan indah nya matahari terbenam
Temaram
Tenggelam pada gelak manjamu yang selalu mengancam

Saat itulah
Rindu menggubah lagu,
membarui rona elegi, menjadikan nya alunan syahdu pada tiap degup yang kau pacu.
Berirama, selaras dalam satu intonasi
Sosokmu terus menari nari, diatas asumsi bahwa senyummu suatu saat akan kumiliki.
Harapan pasti, yang hati harus yakini

Dan begitulah aku
enggan beranjak, dari fluida rasa yang bergejolak
Memapah kehendak pada langkah yang rusak
Membentangkan jarak, agar kau tahu, disini
Ada hati yang retak.

Maka izinkan aku
Untuk berdiam diri sejenak
Agar mampu kunikmati rasa yang terjebak, dalam gerak tanpa jejak
Hingga hati ini meneriakan dua buah pernyataan
semua hal tentangmu, yang akan selalu ku simpan rapat rapat dalam ruang benak

Dan padamu,
Tentang hatiku yang akan menghentikan laju gerak
Bahkan satu jengkal pun,
Padamu, rindu ini tak akan pernah beranjak.