31/08/19

SANG PEMBACA

Rona suaramu selalu menjadi awal mula
Kemudian terlantun rentetan kata dengan rasa yang tersulam sempurna
Membaur dicelah udara
Memeluk erat luka yang ditelan setiap pasang telinga

Dalam ruang tanpa tatap mata
Lidahmu menari menyusuri setiap pasangan kata
terkadang lelah,
acap kali kaku,
Hingga sebuah simbol senyum tak jarang terlontar,
mewakili sorot matamu yang mulai lesu
Dalam ruang satu suara
Puluhan jemari, bekerja sama dengan tiap kedipan netra yang telah terkoordinasi
Menjahit rasa hingga lahir pagi
Merangkum puluhan kisah, meringkas setiap makna pisah
yang kemudian terdistilasi merupa larik-larik puisi.

Dikawal sinar rembulan yang memasuki celah-celah jendela kamar
Dikelilingi alunan dering cerita yang menunggu untuk didengar
kau,
tetap setia menyimpan kisahmu dibalik layar
walau detak selalu memohon untuk terdengar

Mungkin menjadi sebuah penghormatan tertinggi
Mungkin menjadi kumpulan kalimat yang akan dilewati
Namun, terima kasih kami untukmu, telah merupa puisi

-Serdadu Pejuang Rasa, 2019

NIRMANA


Aku pernah
 menjadi bising kendaraan disore hari
Berlarian diruas jalan yang tak pernah disinggahi
Mengusik jejak yang ditinggalkan setiap pasang kaki
Kemudian berderu diantara deretan  sunyi
Hingga menggema ke seluruh penjuru bumi

Aku pernah
menjadi lampu jalan ditengah deras hujan
Menyinari tiap retak yang pernah dikisahkan
Menaungi tangismu yang dikemas kekecewaan
Lalu meredup,
Sejak melihat purnama kembali kelain pelukan

Aku pernah
menjadi senja yang selalu diacuhkan
Dengan kau,
sebagai bidadari pertama yang selalu kulibatkan
Kau tawan tiap helai saraf pada retina
Memutus peredaran disepanjang pembuluh aorta
Menyekat satu nama yang terperangkap diantara diafragma
Kemudian memuncah,
 Dan meledak,
Lalu merupa sesak
yang membakar seluruh rongga dada

Aku pernah,
Menjadi malam tanpa bintang
merupa titik paling gelap, saat ragamu terlelap
menjadi gejolak rasa paling berisik, diantara seluruh senyap
berselang tebaran senyummu yang acap kali kusesap

Berperan sebagai saksi bisu,
dalam sebuah pementasan rindu yang terkhianati waktu
Aku pernah mengagumimu segila itu
Bersembunyi dibalik untaian diksi,
Dengan sebuah mustahil untuk melukai

Mencuri setiap keping tawa,
Memanen tiap kedipan mata
Merangkum aromamu dicelah udata
Untukku ingat sebagai sebuah peristiwa
Bahwa, untuk mencintaimu hingga jejak menghabiskan langkah,
Menyesap segala gelisah, mematahkan yang tak mampu lagi patah
Setidaknya, aku pernah

- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung 2019

PARALEL


Debu bernyanyian diatas sebuah buku tanpa tuan
Terkadang, aroma lembut tinta itu masih berkeliaran
mengitari udara, bersinggungan dengan cahaya jatuh ditengah kesunyian
Berselang ringkihan lantai kayu, yang terinjak langkah tanpa haluan.

Semuanya menguap tanpa sebab,
menghilang diantara arus rotasi bumi, terlepas dari ikatan dimensi
kemudian terombang-ambing menyusuri luka diatas perlintasan pagi

termasuk kita,
semakin asing, dan menjadi-jadi
nama yang sudah tidak dikenali
temu yang tak pernah dicari
jabat yang kemudian ditinggal mati

apakah ini masih kesalahan Sang Waktu ?
yang dengan rela menjual alurnya, hanya demi menyandingkan
kaki kiri dan kanan
memotong setiap denting napasnya, demi menyatukan dua tokoh tanpa peran

Kita pernah menjadi satu paragraf yang mengagumkan
mengadu kisah ditengah riuhnya pendar kopi dan aroma senja
mencipta semesta diantara deretan aksara yang tumpah diujung pena
lalu merupa elegi paling merdu yang mengawal sebuah perayaan dari perpisahan
dengan masing masing dari kita membawa sebuah robekan

Hingga, semuanya menguap tanpa sebab
menghilang diantara arus rotasi bumi, terlepas dari ikatan dimensi
dan disini, buku itu masih tetap ada sebagai pelengkap sepi
saksi mati dari kisah yang tak mampu dibacakan kembali.
-          Serdadu Pejuang Rasa, Bandung ,2019

APOLLO


Kepadamu, yang terbit diufuk timur
Syahdu napasmu selalu menjadi sebuah awal.
Pada barisan naskah yang merambat menyusuri garis vertikal.
Diapit dua kepak sayap malaikat nan kekal

Lukis rautmu mengudara,
Merupa kreasi Tuhan paling sempurna,
Dibatas kaki langit yang  semakin menua.
Lengkung bibirmu terhampar diangkasa.
Menjadi titik seimbang gugusan Libra
Kemudian menjelma pancaran pesona termewah disekujur khatulistiwa.
Dengan pendaran galaksi yang tersemat diantara kelopak mata.

Kepadamu yang terbit diufuk timur

Penguasa kejora yang Tuhan terbitkan ditengah dunia
Kau berhasil merusak dimensi yang telah ku susun sedemikian rupa
Menghancurkan struktur waktu hingga seluruh penalaran logika
Memaksa diri berkeliling mengitari garis orbit, diselingi harap untuk berada dititik garis yang sama.
menarik setiap langkah dalam sebuah medan pengikat
menjerat rindu dalam sebuah pelukan manis begitu erat

Kemudian
Kau turun diantara rintik gerimis,
sebagai sebuah peristiwa termanis yang pernah kutulis.

Membasahi tanah,
jatuh ditengah gersang satu naskah.
kemudian terpancar rupa yang membuat budak sajak ini jatuh dalam dekap asmara

Padamu yang tenggelam di ufuk barat
tunggulah napasku datang
denganmu sebagai titik utamaku untuk pulang
untuk saling mengulum makna cinta, sebelum waktu memaksamu kembali hilang.
-          Serdadu Pejuang Rasa, Bandung , 2019

PANDEMIK AGNOSIA


Dan kemudian, aku kembali membenamkan diri  pada pekat rayuan malam.
Sibuk memunguti puing puing hati yang tertancap begitu dalam
Sebagai rutinitas utama, sebelum sepasang mataku benar-benar terpejam.

Bersenandung riuh diantara denting gelas dan pekat aroma kopi.
Menghirup keping-keping kenang yang mengitari.
Meneguk sedikit, demi sedikit tentangmu yang menyapa hati.
Dengan secercah senyum yang terperangkap dalan potret diri.

Barangkali akan tetap seperti ini.
Saling memadatkan waktu, hingga kita lupa,
bahwa ada suatu pernah yang kini telah punah
bahwa ada suatu kasih yang kini menjadi potongan-potongan kisah.
bahwa pernah singgah secercah indah, untuk kemudian saling kita recah.
kata per kata
huruf per huruf

barangkali akan tetap seperti ini.
Sirna seluruh bincang yang menghangatkan, berselang harap yang menikam dibalik kesunyian
Hingga rindu berteriak memohon,
mendekap segala kepergian, sebelum ia pulang,
 kembali kepada Sang Pembolak Balik Perasaan.

barangkali akan tetap seperti ini.
bertahan pada siapakah yang menjadi paling ?
Terjebak dalam sebuah peran asing, dengan kenangan masing-masing.

Barangkali akan tetap seperti ini.
terbiasa menjadi sepasang pujangga
menceritakan keramah tamahan luka
hingga setiap genggam yang dikisahkan
serupa kiasan dalam buku sastra.
Barangkali, aku akan tetap seperti ini.
seorang yang berulang kali kau patahkan,
menyumpahi diri atas musnahnya seluruh harapan
dan rencana yang dulu pernah coba kita sempurnakan.
Hingga hadirku kau hapus tanpa alasan,
hingga seluruh detak jantung berhasil kumakamkan.

- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 1 September 2019

pandemik : penyakit yang tersebar luas disuatu kawasan
agnosia : ketidak sanggupan mengenali benda, hilangnya kemampuan indra memahami informasi

 sejak diperkenalkan dengan sebuah kepergian, seluruh panca indera dibungkam paksa.
mata yang dibutakan, hingga akal yang dihilangkan.
namun, jemariku masih dapat bekerja sama, untuk tetap menuliskan rindu, agar mampu dikabarkan keseluruh pasang telinga,
semoga kau mendengarnya “

26/08/19

STAGNASI HELIOSENTRIK


Disatu pagi, selalu ada terpaan angin yang jatuh dicelah dedaunan.
Berdesir menjelma untaian larik,
dengan rupamu yang tak henti-henti aku lirik.
Bersemayam disetiap detak yang tersembunyi
Menyapa hangat pada dinginnya rindu yang tak dinaungi.

Maka,
Berdiam dirilah disana
Sejengkal pun kau jangan beranjak
Papahlah kehendak yang meledak-ledak,
Tak mampu berjalan,
Lalu lumpuh dalam sebuah degup rindu yang sangat ampuh.

Menuju sore,
Matamu serupa senja,
Menyinari bagian yang tertutupi jelaga
Menghangatkan setiap persimpangan
antara harapan dan kenyataan
Membias tanpa penjelasan,
Kemudian merambat pada kejelasan rasa yang tumbuh tanpa penjelasan yang teramat jelas

Dipenghujung malam
Senyummu bermekaran diatas sana
Menjadi kontemplasi yang mendamaikan
Merupa bintang yang meneduhkan,
Walau, diantara malam-malammu, aku tak pernah kau temukan.

Maka,
Merebahlah
Dan dengarlah detak jantungku yang menyerukan namamu dengan terengah-engah
Hingga angin kembali merengkuhku dengan sebuah kenyataan
Aku, pengagummu yang tak pernah kau inginkan, dipukul mundur secara  perlahan.
-Serdadu Pejuang Rasa, Bandung 26 Agustus 2019

Stagnasi :  keadaan tidak bergerak
Heliosentrik : Teori yang menganggap  matahari sebagai pusat peredaran benda angkasa

" seiring berjalannya waktu, sesuatu yang beredar digaris orbit akan berada pada titik terdekat dengan pusatnya,
Namun tidak denganku,
Semakin rasa ini berusaha untuk beredar, semakin perih luka yang disambut setiap debar. Hanya diberi sebuah pilihan
Berhenti pada titik nol "


08/08/19

AMBROSIA


Disepanjang setapak bulan timur
Pendar tipis jejakmu membias direruntuhan gugus barat
Menguap ditengah tumpukan kata yang berkarat
Beriringan kedipan matamu yang melebur kedalam kicauan merpati  sebagai induk kalimat

Disaksikan megahnya ngarai tandus
Senyumanmu jatuh disana
Menjadi awal transisi musim  yang kudus
Dikawal sekumpulan kepak kupu-kupu,
Rintihan gerimis nan syahdu
Dan alunan bola mata yang tatapnya merayu

Puing puing lembah disekitarnya pun menjadi saksi bisu
Tersinari cahaya redup
Membuka paksa segala pintu yang pernah kututup
Enggan terhunus,
didalamnya,
sekuntum mawar perlahan layu

Disepanjang jalan menuju pulang
Aroma tanah basah masih berlalu lalang
Menjemput sebagian yang hilang
Dengan ragu yang menyusupi kalimat imperatif secara berulang

Masih dilangit yang sama
Merpati tetap setia mengeja satu nama
Berusaha menjumpai malam yang serupa
Beserta lembaran naskahku yang berhamburan diangkasa

Masih dengan isi yang sama
Pengakuan atas indahnya tiap lapisan mata
Bagai dewi aphrodite yang dikultuskan para manusia
Kau menjelma bintang paling terang diatas sana
Yang dikagumi setiap pasang mata
Dan aku, adalah salah satunya.

-Serdadu Pejuang Rasa, Bandung 2019

CALLISTA


Disudut langit malam yang dikawal gemerlap cahaya.
Sebuah pesta tengah berlangsung disepanjang gugusan Aquila
Harmoni penataan pesta pora
Ritmis gerak benda angkasa yang berputar disana
Lalu berkeliling, dengan kau sebagai pusat yang mereka puja.

Menenangkan,
Menyenangkan
tatkala lengkung yang kau tebar, selalu kau suguhkan disetiap perjamuan yang kulestarikan.
Melantunkan nada romansa, mengusik sepi yang terlelap diantara seluruh bebunyian.

Kau manjakan indera pendengaran, dengan  bilasan-bilasan kecil disetiap kedipan
Hingga pagi enggan datang, dan gemintang pun enggan untuk pulang

Keberadaanmu menghancurkan kokohnya dimensiku
Bergerak secara membabi buta,
Menari acak tanpa rupa

Disanalah aku terjebak,
Tepat diantara titik perlintasan
Di sepanjang setapak yang selama ini berhasil kau sembunyikan.

Semakin liar debar yang kau jejalkan diam-diam
Semakin aku menggilaimu begitu dalam
Hal itu akan selalu berulang adanya
Akan selalu ada dilajur yang sama
Dan kau,
Akan selalu menjadi langit malam yang kupuja

- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung 2019

360


Purnama kali ini tak seperti dahulu
Menghilang ditengah arus waktu meninggalkan kursinya tanpa memberitahu
Kemudian tanpa permisi ia terbit dikedua bola matamu.

Menyinari setiap debar yang kusembunyikan
Kala bibirku, diam diam mengeja detak
Dengan penasaran tak berkesudahan
Menjadi kejora paling terang, sebagai tanda, bahwa hadirmu patut untuk kurayakan.

Tetiba merupa sajak cinta yang selalu dilukiskan para pujangga
Kau rekam seluruh keindahan semesta
Merangkum setiap peristiwa,
Meleburkannya kedalam satu kata yang kau tinggalkan dipagi buta

Aku terjebak didalam dimensimu
Bersamaan jejak yang terjerat stagnasi waktu
Terikat kuat diantara bait,
Dengan rindu sebagai tali, dan debar sebagai tiang penyangga setiap kepingan rasa

Aku nyaman dengan hal itu
Bagiku, kau adalah pusat tatanan galaksi diluar sana,
Dan aku adalah planet kecil, yang berusaha berada disatu garis edar yang sama

Maka, izinkanlah aku mencatatmu kedalam sebuah prasasti
Yang akan kubacakan nanti

Hingga, disatu malam
Saat kudapati kau tersenyum ditengah purnama
Aku akan mengetahui sesuatu
Rembulan tak pernah menghilang ditelan arus waktu
Ia hanya memilih pindah ke sebuah singgasana baru
Yaitu terbit dikedua bola matamu.

- Serdadu Pejuang Rasa, Agustus 2019


BINCANG


Kepingan malam bertiup lembut
Menyapa kata demi kata yang sedari pagi berdenyut
Berdetak disepanjang jalan berkelok
Menyusuri gemerlap senyum yang terpantau begitu elok

Bersenandung alunan nada romantis
Dengan kilau yang kau tebar secara sporadis
Menyebar keseluruh atrium, kemudian menjalar bebas memenuhi epidermis
Berselang sublimasi senyummu yang begitu manis

Ini hanya perbincangan singkatku dengan secangkir kopi yang hampir dingin
Lupa akan waktu yang melarutkan hangat disetiap ingin
Didalamnya, kau hadir menyekat denting
Meringkas setiap laju gerak,
Memaku rindu yang enggan beranjak

Ini hanya perbincangan ringan,
Antara aku, malam dan secangkir kopi
Membicarakan cantikmu hingga lahir pagi
Hingga semesta menggiring langkahku, kehadapanmu, wanita yang kelak akan kunikahi.

-Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, Agustus 2019

MERAJUT PAGI


Selalu diawal  pagi,
segalamu bertamu kembali disejuknya udara yang tersipu
menjelma kibaran awan, kemudian menari dikaki langit dengan amat menawan
Menerbangkan sejumput rindu
Mengangkasalah lembaran do’a dibatas waktu
Dengan pendar mentari yang kerap terbit diantara kedua bola matamu.

Selalu diawal pagi
Kilau tatapmu meretas pilu
Mengikat detak, dengan kecantikan sempurna
yang tersimpul dikedua lengkung bibirmu
Meredam resah yang tersangkut dipersimpang peparu
Kemudian, entah sejak kapan, hadirmu merusak tiap selaput atmosfirku

Selalu diawal pagi
Kedipan akalku kerap menagih eloknya rupamu
Memaksa bibir mengecup kata demi kata
Menyulam aksara demi aksara
yang akan kubaca dengan lantang saat masanya tiba

Tentang asing yang kemudian menjadi saling
Tentang sapa yang menumbuhkan rasa
Tentang temu yang berujung rindu
Tentang tatap dengan rasa yang saling tertitip
Tentang seorang pria, yang karenamu
mampu merasakan indahnya cinta
Tentangmu,
Gadis dipenghujung senja,
-              Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, Agustus 2019

METAMORF(R)ASA


Kepada hati yang dihilangkan
Diam mungkin sebuah tindakan paling bijaksana dalam menanggapi rasa
Terlebih, saat jejak yang kau tinggalkan, hingga aroma yang kau tanggalkan dianggap tak pernah ada
Selalu menjadi yang paling cemas, pada sebuah kisah yang tak pernah dikemas
Lalu merupa langkah khawatir paling sempurna, pada persimpangan yang memecah realita.


Nyatanya, semua semoga tidak selalu berujung pada genggam yang sama,
seluruh bisa saja, tidak selalu terwujud secara nyata
setiap pucuk surat dengan alamat yang sama, tak selalu sampai kepada mata si pembaca
mungkin hanya sampai didepan pintu, tergeletak diatas karpet berdebu, lalu tertiup angin
tanpa tuju.


Dia yang tatapnya selalu membuatmu teduh, terkadang kedipannya membuatmu rapuh
Dia yang selalu kau semogakan, tak jarang hanya menjadikanmu sebuah pajangan.
Membunuh waktunya dikala bosan, menemaninya saat dia kesepian, dan kaulah orang beruntung yang dia temukan dipengasingan.
Dia hanya jenuh, dan kau satu satunya hati yang mampu dia sentuh.

Kepada hati yang terabaikan
Pulanglah, tutup seluruh layar, abaikan yang tak mampu terbayar, sebelum rona senja benar benar memudar.
bukalah mata, lihat sekeliling, selalu ada yang menanti dirimu untuk menjadi saling
sudah berapa lama kau berpaling ?
berapa persimpangan yang kau lewatkan ?
berapa jejak yang kau tinggalkan ?
berapa tanggal yang kau hilangkan ?

kecewa,
patah,
bahagia,
duka
adalah sebuah siklus normatif, dari serangkaian metamorfosa rasa
Tahap evolusi paling rumit, bahkan untuk dipecahkan berbagai teori yang ada
ini perihal rasa, bukan pengerucutan dan penjabaran rumus genetika
bukan pula sebuah konspirasi yang di ada-ada, ini tentang hal yang kasat mata, tapi akibat
yang ditimbulkannya begitu nyata.
ini tentang sebuah hal yang sering kalian sebut cinta
Beranjaklah,
berjalanlah kembali, diujung persimpangan, selalu ada rumah yang menanti.

- Serdadu Pejuang Rasa, 18 Juli 2019

06/08/19

OBSERVASI

Di sepertiga ekor pagi, selalu hadir satu nama yang terlukis dengan sempurna
Setiap  abjad yang ada, mewakili seluruh kreasi keindahan dari Sang Maha
Tertulis nyata, pada lipatan kenang yang berlarian dipagi buta
Ini tentang satu nama, yang membuatku hidup didalamnya

Terlalu indah untuk dicatat disetiap naskah
Terlalu rumit untuk dirangkum dalam sebuah risalah

Satu jejak setelah titik, disanalah aku ingin berada
bersanding dalam satu cerita yang sama
menjadi bagian kisah purba yang setiap malam akan kubaca
ini tentang satu nama, yang tertulis pada serambi kanan beserta seluruh detaknya

Merupa rentetan huruf yang serasi
Menjelma letupan rasa yang terdistilasi
Maka dipenghujung malam
Kutuliskan namamu kembali 
Ini tentang satu nama, yang perlahan menjadi prasasti disekujur diri
Namamu selalu menjadi alasan waktu berbicara
Angin berhembus mesra dan 
Petang bermandikan jingga yang mempesona
Selalu menjadi pusat titik kesadaran
Dengan sepi sebagai bejana yang kau pecahkan
Ini tentang satu nama, yang melebur kedalam kisah tua
yaitu, Cinta
- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung,  Agustus 2019

SEPUCUK RINDU DI BATAS TEMU

Menyukai tatap matamu, adalah salah satu hal yang tak mampu kujelaskan.
Pesona yang terbit diluar perkiraan,
ketenangan yang menyapa tak berkesudahan
Gemerlap keindahan yang perlahan menenggelamkan

Enggan pergi, dan disanalah langkahku tepat terkunci

tak ubahnya memuja senja, dikedua sudut lengkung bibirmu, aku terpaku
enggan beranjak, bahkan satu jengkal 
hanya ingin bertahan lebih lama,
memandangi dengan seksama, menyusuri dengan cermat,
bahwa, disudut itulah anganku terjerat
dalam harap, waktu memadat dan bergerak dengan sangat lambat

aku menyukai semua hal tentangmu
dari caramu meninggalkan jejak disepanjang setapak,
hingga tawa tanpa sebab yang membuat masing-masing terbahak-bahak
Ada masanya semua kapal pasti akan berlabuh
dan tepat pada rongga dadamu, hatiku telah terjatuh
lebih dalam dari yang kubayangkan, lebih riuh diantara kesunyian
paling berisik, diantara seluruh bebunyian

Nona,
jika nanti waktu menghanyutkanmu, apakah kau masih mampu mengenaliku ?
Sang Penikmat sepi yang kini sedang meneguk secangkir rindu.

Jika tidak, 
izinkan tulisan ini ku selipkan dicelah ingatanmu
bahwa disini, ada Rindu yang memuja temu.

-Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 2019-