22/04/19

MOMENTUM REVERBERASI

Menjelma sunyi dipenghujung gelap,
Merangkul sesak dengan manismu yang mendekap
Bahkan do'a enggan terbang bagai merpati gugur sayap,
Menyekap tiap rasa, pada umpatan kalimat mesra tempat harap terperangkap.

Disitulah kemudian kau,
menjadi sosok yang menari-nari dipenghujung luka,
Menjelma bias cahaya biru yang terdistorsi sempurna pada frekuensi warna senja,
dengan akulah, titik buta dari sebuah entitas tanpa bekas yang tertangkap bayanganmu disekujur duka.

Terhunus lintasan suara yang tak terdekap telinga
Kau,
Merengkuh senja,
Merintih penuh rasa angkuh, 
Kau berteriak, 
menjerit,
seolah hanya kau yang disambangi luka.

Terlantun isak dalam sebuah cerita, kau samarkan dusta pada sebuah luminansi tajamnya realita.
Bahwa disini,
Kau tak pernah melihatku sebagai tempatmu melabuhkan rasa,
Kau memandangku hanya sebagai penghias kata,
Dalam sebuah mekanika cinta, dimana kepada langkahku, hanya sekat yang selalu kau sisipkan secara berkala.


Apa kau lupa ?
Tentang janji yang kita teriakan,
Tentang rencana yang setiap malam kita perbincangkan,
Tentang pengharapan yang selalu kita selipkan pada dialog sepertiga malam dengan Tuhan
Tentang semua hal yang telah dipastikan, akan kita jaga hingga waktu merenggut napas kita secara keseluruhan.

Apa kau lupa ?
Apa kau lupa ?
Dan kau pasti lupa, 
Disini,
ada yang selalu menanti, 
saat hadirmu lenyap tiba-tiba, tertelan tebalnya kabut semesta. 
Hilang terbilas kepentingan yang berlalu lalang,
Pecah,
melebur,
memuai
Menguap, 
menjadi udara yang kemudian membeku pada celcius rendah
dengan peluruhan molekul yang terkestraksi sempurna pada tiap-tiap kepingan hampa.


Menjadi satuan waktu yang enggan berlalu,
Aku,
Masih mencoba memaknai hati,
Pada setiap transisi sirkulasi hati yang silih berganti,
Menyekap setiap kemungkinan, 
hingga pada akhirnya kau datang kembali.
Dengan sebuah cincin yang berkilau, diantara semerbak udara dari penolakan janji yang tertikam mati.
Disitulah, 
Tergeletak sebuah jasad dari harapan yang kau remukan dengan sengaja,
Menjadi keping-keping
Puing-puing
Debu-debu yang kemudian tertiup angin penghinaan, 
Hancur berserakan,
bergulir tanpa acuan
diseluruh lapangnya batas kenangan.
Selamat, 
Atas kabarmu yang telah berhasil merobek gendang telinga, yang kemudian menusuk jantung dengan jeritan yang menggema ke sekujur raga.
Selamat, 
Atas keanggunan luka yang telah kau suguhkan diatas nampan dengan namaku yang secara utuh kau goreskan.
Selamat,
Atas kepulangan hatimu ke sebuah pelukan yang baru,

Pestamu telah berhasil dirayakan,
hatiku, berhasil kau runtuhkan.

20/04/19

PSIKOLEPSI ARTERIA

Ada detak yang tertolak sunyi,
Ada yang karam sebelum menepi,
Ada rindu yang ditepis luka sepanjang pagi,
Ada yang usai, sebelum berdamai dengan harapan untuk memulai.

Kau masih mencoba meringkus cinta agar tak beranjak,
Menghapus seluruh jejak-jejak pada detak yang terletak dalam palung doa pengharapan yang kau buat retak.
Lirih,
Tangis,
Duka,
Serentak !
Berteriak,
dalam gemuruh arus darah pada sebuah polaritas atas semesta yang berkehendak dan terbunuhnya harapan yang tertolak.

Lepas dari malam itu,
Langkahku mencoba menelusuri sepi yang kau rajut pada garis waktu, tempat ragaku membeku dalam pesta luka yang kau pacu

Lepas dari purnama itu,
Mataku mencoba meretas dimensi yang rancu, dalam setiap belokan didadamu.
Merengkuh setiap keping ingatan yang penuh nuansa haru,
Terhempas oleh kenyataan yang melintas,
bahwa dihatimu
Telah terpatri sebuah nama yang baru.
Yang tanpa satu ragu,
Menghadiahkanku sebagai luka baru.

Lepas, dari seluruh kemungkinan yang terlepas,
Untaian kisah yang telah tertulis nyata pada kening purnama,
hancur berkeping,
Berserakan bagai pecahan beling
Yang menusukku tepat diantara rongga dada dengan luka yang belum mengering.

Salah !
Salah !
Salah !
Kujatuhkan goresan berwarna pada secarik kertas putih, yang kemudian kau robek dengan begitu berkelas
Hingga lidahku terlepas
Dengan sayatan kata terakhir yang begitu membekas,
Kau sekat peparuku dengan cara yang sangat anggun,
Membelenggu udara agar tak mampu berkeliling pada sekujur raga, dengan jantung yang bernyanyi tanpa irama, berselang hilangnya daya tumpu pada setiap otot yang disambangi neurastenia secara merajalela.
Itulah, yang kau maksud cinta ?

Cobalah benturkan keadaan pada kenyataan, dimana, aku
Yang selalu menopang nafasmu sebagai satuan waktu yang enggan berlalu
Dimana aku,
Adalah kata yang melengkapi kalimatmu secara utuh,
Dimana, aku
Adalah sosok yang tertikam tajamnya waktu,
Dimana, aku
Selalu ada aku,

Yang enggan melepasmu.

- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 19 April 2019


PSIKOLEPSI : KEADAAN PERUBAHAN TIBA TIBA, TERKAIT RASA
ARTERIA : BAHASA LATIN DARI ARTERI
POLARITAS : BERTENTANGAN, HAL YANG BERTENTANGAN SECARA LANGSUNG
NEURASTENIA : KEADAAN LEMAH FISIK DAN MENTAL

16/04/19

SENTRALISTIS SENJAKALA

Menjadi detak dalam lamunan
Menjelma detik dalam keheningan
Rindu melengkungkan harapan,
Cinta tumbuh disekeliling ladang perasaan.

Menyekat setiap lajur persimpangan,
Membuka ruang dimensi pada baris kenangan.
Masih kucoba menelusuri jejakmu disepanjang jalan,
Yang terjahit sempurna diatas rona senja, dengan kaulah, satu satunya poros dari gugus keindahan.

Tak terelakan,
Suaramu memecah
sunyi dibatas ingatan,
tempat pengasingan, bagi jiwa-jiwa yang merindu kebebasan.

Langit malam kini mendeklarasikan sepi, yang hanya menyisakan Purnama dengan secangkir kopi, bersama senyummu yang selalu kami perbincangkan hingga lahir pagi.
Berselang munculnya selaput korona tipis, diantara batasan kecewa dan bahagia yang silih berganti.

Bagiku, kaulah keanggunan abadi,
Dengan kilauan gemintang yang tertanam tepat, pada tiap kedipan matamu yang berotasi pada ruang imaji.
Menjadi awal mula proses respirasi,
Bersama aromamu, yang terus mengitari tak henti-henti

Terkadang,
Sepi menyesak kedalam ruang peparu  yang terdesak,
Terjepit diantara candu dan rindu, dalam dimensi rasa yang bergerak tanpa jejak.
Memompa darah secara teratur, dengan namamu yang terekstraksi sempurna, pada detak rasa yang rapi tertutur.
Terpampang jelas pada sebuah nomenklatur.
Terpatri tegas pada lembar kisah yang kuringkas, sebagai sebuah literatur.

Tanpa suara,
Kulayangkan namamu pada garis batas senjakala, sebagai pengingat kepada Tuhan, bahwa surga telah kehilangan salah satu sayapnya,
Dengan Jingga yang kujadikan saksi tentang terbitnya sebuah rasa yang tak pernah dirasa,
Tumbuh rimbun pada setiap celah frasa,
Menebar embun pada gersangnya konstelasi bahasa.


Tanpa jeda,
Aku memunguti cara untuk menghampiri
Mengenali,
Mencari,
Menjamahi,
Memanggil,
Menanti, kau
Untuk melahap malam yang enggan berganti,
dengan perbincangan hangat bersama secangkir kopi,
tentang rencana kita dimasa nanti.

Perhatikan,
Disetiap letup buih,
Disetiap asap yang merangkum lirih,
Diantara bibirmu dan cangkir berwarna putih,
Ada namaku,
Yang masih berupaya untuk merajut kisah,
sebagai pasangan kekasih.

11/04/19

ADIKSI AKLASIA

Terkadang,
Malam tak selalu memamerkan keindahannya
Membungkam setiap tawa
Menepis segala rasa
Melumat sepi pada purnama yang bertanya,
" Bagaimana, kabar renjana ? "

Diam,
adalah jawabanku
Yang kemudian membeku, pada kaki langit, saat do'a kita saling beradu
Saat kabar kita saling berpacu
Menumbuhkan kenangan, pada rasa yang terpicu.

Disitulah lengkung bibir terlukis diatas raut sayu.
Pada celoteh rindu yang merengkuh diatas kursi kayu, dengan secangkir kopi yang kala itu terus mencumbu.

Hingga sunyi memelukku erat
Memutus jahitan luka baru yang masih terasa hangat
Membenamkan pecahan kaca pada saraf kranial, merusak struktur korteks serebral, yang kemudian membalik arus laju darah secara abnormal, pada selaput rindu yang sengaja kau tinggal.

Lalu kulontarkan sumpah serapah
pada Sang Pembunuh Petang yang berlalu lalang
Terbasuh lembut menghilang
terbilas isak, dan kesedihan yang mengoyak rasa terlarang.

Sepanjang malam,
isi kepalaku terus menyerukan namamu
Mengeja kata demi kata dengan rintihan luka yang sempurna
Memandangi potret dirimu yang terselip dibalik dompet, menjadi keharusan yang tak boleh terlewat setiap dentingnya
Membaca kembali rentetan pesan lama, adalah cara terbaik untukku membenamkan diri pada rindu yang menampar dengan bijaksana.

Kau terlalu anggun,
untukku yang selalu tertegun
Kau terlalu indah,
untukku titipkan perasaan
Kau terlalu manis,
dibandingkan kue pengantin yang baru saja kau potong dengan senyum penuh kebahagiaan,
saat jemariku menyambut jabat tangan Kehilangan.

Dan,
Aku, terlalu ingin
Untukmu yang terlalu enggan

Sepanjang malam,
Peparuku menagih aroma senyummu yang memudar dicelah udara merangkum denyut dengan sisa tawamu disetiap detaknya, memangkas setiap napas, menarik diri pada sosokmu yang selalu melintas.

Sesakit inikah rindu ?
Sekeji inikah candu ?

Menggerogoti kesepian secara berkala
Saat genggam terbangun dengan lembut jemarimu yang telah tiada,
Semakin rindu menggelora
Semakin indah luka yang ada
Terima kasih atas duka yang sudi menyambangiku dengan keruntuhan rasa
Sepanjang malam,
Penyesalan menikamku dengan sebuah realita
Bahwa padaku
Kau tak pernah sudi untuk berbagi rasa.

-Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 5 April 2019-

KOROSIF OBSESIF

Ada sesak yang terbenam sempurna, saat langkah kita beradu dibawah naungan purnama.
Saat isakmu pecah, dengan rona kesedihan yang menyeruak kesetiap sudut diorama,
Memamerkan duka pada sebuah cambukan pertanyaan yang sulit kuterka
Perihal kelayakan rasa untuk disimpan dalam hati aku kira.

Rintikmu jatuh tepat diatas meja,
Membaur diudara, dengan aroma kesedihan yang merajalela.
Membungkam setiap pasang mata,
Menggores seluruh permukaan adventisia, yang meneriakan duka dalam gemuruh, disekujur pembuluh vena dengan suara khas mu, yang menjadi sumber frekuensi untuk direngkuh tiap pasang telinga.
Terselip kecewa pada tiap isakmu yang mengangkasa,
Terbelit riuhnya pergumulan asmara, dengan penjabaran cinta, dan rencana pada rasa yang kau jatuhkan tanpa sengaja.

Jemarimu memeluk erat secangkir kopi yang dinginnya mulai menyusupi pori-pori,
Terbasuh perih,
kau menunduk lirih,
dengan rangkaian tangis yang medidih,
meletup,
memuncak hingga akhirnya meledak
dengan raut wajahmu yang memamerkan luka koyak, dan jantungmu yang mulai kehilangan detak.
Hingga,
Perlahan,
Langit tertidur ditengah nyanyian tangismu yang mempesona,
Perlahan,
Lenganku terlena untuk menyambut badai dipelupuk matamu dengan secarik tisu yang tersuguh diatas meja.
Perlahan,
Hujan itu reda,
Selepas menghilang Purnama,
Lalu terbit lengkung bibirmu di ufuk luka,
Semerbak wanginya,
Menyebar keharumannya,
menutupi tumpahan kecewa yang terekstraksi air mata.

Berjam-jam aku menikmati tangisan kecilmu,
Entahlah,
ku anggap hal itu begitu syahdu, hingga kau lontarkan beberapa bait jeritan hati yang lesu,
"Untuknya, rasa telah kutambatkan,
Untukmu, maaf akan kusampaikan"
Katamu, sebelum langkah itu berlalu.
Tersapu detik yang terus melaju.

Tak masalah,
tak pernah kujadikan perkara,
Berjanjilah, untuk bersikap seperti biasa, saat kita duduk bertiga dalam satu meja.
Pulanglah,
penatmu telah musnah,
kecewamu telah tumpah, membilas tanah yang kini telah basah
Sudah !!
temani saja sahabatku itu hingga kalian duduk bersanding sebagai pasangan bahagia
hingga rumah kalian disambangi oleh hangatnya cinta sebuah keluarga,
hingga kalian menua, dan terkenang sebagai sebuah kisah asmara yang merangkum suka cita.

Lalu, sosok wanitaku undur diri,
dengan sisa bongkahan air mata yang masih kutelusuri.
Suara itu masih kunikmati sesekali,
senyum itu akan selalu kuputar dalam rekaman memori,
karena,
aku tak tahu, kapan dia akan dilukai kembali,
dan menyambangiku lagi.

Untukmu,
Habiskan sisa bahagiamu dengannya,
nikmati hari indahmu bersama secangkir suka cita,
dan rayakan kehadiran malaikat kecilmu dengan seluruh kemewahan semesta.

Bila nanti kesedihan bertamu kembali,
jangan sungkan,
Kedua telingaku akan tetap tersedia menyambut kisahmu,
karena kepedihan, dan luka sayat, adalah bagian yang harus kau habiskan denganku,
seperti secangkir kopi ini,
sisakan ampasnya untuku,
karena kau,
adalah luka teranggun yang disempurnakan waktu.

- Serdadu Pejuang Rasa, Bandung, 8 April 2019-

SIRKULASI ASIMETRIS

Pekat aroma kopi, menawarkan kemegahan sunyi didalam kedai ini.
Deretan bangku kosong tak berisi,
Nyanyian angin yang mengitari,
Dering ponsel yang terbungkam sepi,
Hingga lantunan tangis terkeras hati.
Bertamu tak henti-henti.

Bahkan
Tubuh enggan beranjak,
Terjebak pada letupan kenang yang bergejolak,
Dalam penerimaan atas tertolaknya rasa, yang harus diterima dengan sepenuh penuhnya rasa.

Disitulah aku,
Terselimuti analgesia,
Hatiku terus menyerukan luka yang kau benamkan dengan sengaja,
menagih sayatan yang tak pernah kau kenalkan dengan etika,
Merangkum,
Memangkas,
Mengemas duka, untuk kemudian kuledakan pada tiap tiap persimpangan aorta,

Seperih inikah asmara ?
Seindah inikah lukanya ?
Seramah inikah kerusakan yang ditimbulkannya ?

Bagai hujan melahap api,
Kabarmu, merusak seluruh rasa secara sistematis,
mengoyak harap yang kusembunyikan dibalik epidermis, yang kemudian kau robek dan kikis secara asimetris
Dengan sisa nafasku yang berujung miris.
Dan kau,
Tetap menjadi hal utama dipenghujung tangis.

Seperih inikah asmara ?
Seindah inikah lukanya ?
Seramah inikah kerusakan yang ditimbulkannya ?

Lalu
Kulayangkan harap pada kepulan asap yang mengangkasa, berupaya menyusuri senyumanmu yang tersisa pada deretan pesan lama, yang kubaca berulang- ulang, sebelum semuanya menghilang.
Tersapu kesedihan yang berlalu lalang,
Terbilas kecewa, yang jatuh sempurna dipelataran kenang.

Namamu, masih kurajut dalam benang doa,
 dengan harap,
suatu saat kau akan kembali dan mengenakannya.
Dihatimu, rasa yang tulus telah kutitipkan,
Lalu kau kembalikan dengan berantakan,
Berserakan
Dalam secarik kertas undangan, dengan namaku yang telah kau tuliskan.

Esok, semesta telah menyuguhkan sebuah pelaminan, seperti yang telah kalian rencanakan.
Penuh kemewahan,
Gaunmu sangat indah saat kau kenakan.

Untuk hadir dalam upacara suci yang kau impikan,
Maaf,
Aku tak bisa,
Aku masih sibuk berkencan dengan khayalan yang telah kau sisipkan pada ingatan.

Berbahagialah untukmu yang selalu menjadi yang utama diperasaan.
Biarkan aku, sejenak berdamai dengan kehilangan,
Salam dariku,
Pria yang gagal duduk bersamamu dipelaminan.

-Serdadu Pejuang Rasa, Bandung 2019-

03/04/19

DEGRADASI FUNGSIONAL


Kita memang selalu lupaa, lupa akaan sesuatu yang tak seharusnya kita lupa,
bahkan kita lupa fungsi dari panca indra…….
Bisu,....
Buta,....
Tuli,....
Bisu saat mendengar,
Buta saat berbicara,
Tuli saat melihat,

Bukan mata, bukan mulut, bukan pula telinga,
Hati,
Hati kita mati rasa, tuan !
Termatikan oleh perubahan zaman,
Terbunuh waktu  secara perlahan.
Semua yang ada di serap, tanpa memilih, tanpa memilah.

Ingin marah ?
Masih tak merasa ?

Kita Berbicara paling depan, apapun di kritik dengan bahasa so asik, agar terdengar estetik,  Ber orasi penuh ambisi, tanpa pernah menemukan solusi,
Hanya mampu mencaci, hanya keras dalam memaki, tapi mana ide yang menginspirasi ? Manaa ?
" Kami peduli lingkungan, kami peduli pada hewan " katanya,
bung !! Punguti dulu sampah yang tadi kau buang di sepanjang jalan. Kucing kecil yang mengikutimu, berilah ia makan.
" Junjung tinggi keadilan, junjung tinggi kemanusiaan " katanya,
Bung !! Coba telaah kembali, apa kau memberi kursi pada ibu hamil atau lansia saat mereka berdiri ?
" Kami menentang korupsi, kami benci korupsi !! " Katanya,
 Bung !! Uang kembalian yang tadi di berikan padamu, sudah kau kembalikan pada ibumu ? Atau kau masukan ke dalam saku celanamu ?,
Jawaban yang kau dapat saat ujian, kau salin dari kertas yang kau sembunyikan di kolong meja kan ?
Itu contoh kecil korupsi yang kau tentang sendiri,
Sepele,
Kecil,
Dianggap lumrah katanya, padahal semua berawal dari sana.
Selalu,
Selalu saja Kita berbicara tanpa berkaca,
Bersuara tanpa melihat, apa kita layak disebut orang hebat ?

Ingin marah ?
Masih tak merasa ?

AKU PUN BEGITU,
TAK SUCI
NAMUN SALAHKAH JIKA SALING MENGINGATKAN DIRI ???

Gaya bicara kita dirubah agar kekinian, tapi menghilangkan makna kesopanan, memaki dengan lantang, saat diperingatkan tentang hal yang dilarang, berteriak penuh riak, saat berkata dengan orang yang lebih tua di depan khalayak.
Panggilan abang,mbak, kakak, teteh, emang, adik, uda, dan uni tercatat bukan agar tumbuh rasa gila hormat,
Bukan, tapi untuk melihat apa budaya santun masih terlantun di setiap bertambah nya tahun.
Apa etika masih ada pada tiap tiap generasi penerus bangsa ?

Ingin marah ?
Masih tak merasa ?

AKU PUN BEGITU,
TAK SUCI
NAMUN SALAHKAH JIKA SALING MENGINGATKAN DIRI ???

Idola yang kalian hamba dihina hina, kalian marah, kalian murka,
Saat ada yang berdakwah tentang agama, didengar, lalu di acuhkan begitu saja. Pasangan ingin ini, ingin itu, dikabulkan dengan senang hati, orang tua kalian menyuruh membelikan makanan, kadang kalian diamkan, atau dikabulkan dengan hati penuh keluhan.

Ingin marah ?
Masih tak merasa ?

AKU PUN BEGITU,
TAK SUCI
NAMUN SALAHKAH JIKA SALING MENGINGATKAN DIRI ???

Moralitas terdegradasi, otak semakin tak terisi. Kultural terakuisisi, reformasi hilang makna hilang arti.
Jangan dulu berbicara hal besar, jika masalah kecil selalu jadi persoalan besar.
Jangan hiraukan hal hal kecil, jika kemajuan yang besar, selalu dianggap kecil.
Terbalik,
Semua nya terbalik,
Kebiasaan buruk dikata lumrah, lama lama jadi wabah,
Timbul masalah, berupaya pasrah, yang bertentangan di tuduh sumber masalah.
AYO BERUBAH !!!

Ingin marah ?
Masih tak merasa ?

AKU PUN BEGITU,
TAK SUCI
NAMUN SALAHKAH JIKA SALING MENGINGATKAN DIRI ???

Tulisan ini egois,
Memaksa kalian untuk mendengar,
Meracau penuh ingar bingar.
Dianggap pembuat gempar ,
tak masalah,
Asal setiap kata mampu membuat kalian berubah.

Ingin marah ?
Masih tak merasa ?

-FahmiNurd, 18 Januari, Bandung, Malam Hari-