24/02/19

OBSESI SENTRIPETAL

Ada nama yang mulai terpatri dalam rangkaian aksara,
Ada paras yang terpampang jelas diantara nalar dan tepian batas.
Ada rasa yang mulai mekar tatkala suara manismu mulai terdengar.
Dan, ada aku, pria yang tersipu malu, tatkala kita berbalas sapa diwaktu lalu.

Suaramu begitu menjerat,
Hati luluh dalam terpikat,
Memaksa bibir menyisipkan rasa diantara ruang aksara,
Bahwasanya, ini bukanlah kekaguman biasa untuk mu yang luar biasa,
Ini bukan sebatas kata suka, padamu yang teristimewa
Dalam lamunan aku ditenggelamkan,
Beriringan dengan hati yang meneriakan tentang hadirnya perasaan.
Kasmaran.
Kasmaran
Kasmaran.

Puan,
Bolehkan aku memperkenalkan harap ?
Yang setiap malam bertanya pada semesta, ingin menjadikanmu jawaban atas seluruh doa yang telah dilantunkan.
Ingin menjadikan mu sebuah alasan, tentang merasa ramai diantara kesepian.
Ingin, menjadikan mu sebagai pemeran utama dari kisah yang kelak akan kutuliskan.

Puan,
Kepadamu yang terindah,
Purnama paling terang diantara gugusan bintang, kau berhasil menuntunku, saat aku hilang dalam setapak menuju jalan pulang,
Manja suaramu, menjelma lantunan melodi pengantar lelapku,
Nyaman,
Penuh ketenangan.

Puan
Bolehkah aku menyambut jemari mu ?
Agar aku mampu menepis setiap pilu yang bertamu,
Bolehkah aku untuk menemuimu ?
Walau kau selalu mengaku palsu, fokusku selalu saja tertuju padamu,
Bolehkah aku duduk disinggasana hati ?
Agar aku mampu menemanimu hingga akhir nanti.

Puan,
Untuk mu, aku tak mampu membuat syair maupun puisi,
Walau dengan penuh intuisi, keanggunan mu tak akan mampu tergambar lewat untaian kata.
Dengan penuh cinta,
Aku, ingin kita mampu bertegur sapa

*sen.tri.pe.tal : bergerak mendekati pusat

22/02/19

HUJAN YANG LIAR

Hujan, kau menyapa kota ini dengan sangat menawan. Menyemai kenangan dengan cara yang elegan.
Membasuh keluh, membalut tubuh, merengkuh harap yang mulai tak lagi utuh.
Dalam gemericik, kusesap seluruh rindu hingga memenuhi seluruh rongga dada
, meracukan kata per kata, menghantam nalar secara membabi buta.

Hujan,
ini kah rindu yang kau suguhkan padaku ?
Yang mereka bilang sebagai cobaan terberat dalam menanggapi rasa,
Yang datang tanpa aba aba,
Yang mencekik tiba tiba,
Yang pergi tanpa pernah sekalipun bertanya, " apa aku akan baik baik saja ? "
Sepi kini membias lara,
Menyambut perangai penuh luka,
Menyayat penantian dengan sangat merata.
Menghempaskan tawa, ke bagian paling ujung dari belantara rasa.
Jurang terdalam tempat harap ku jatuh binasa.
Hujan
Inikah rindu yang kau maksudkan itu ?
Sesederhana itu dia datang, serumit itu dia pergi. Meninggalkan hati sendirian, yang tenggelam dalam kekosongan.
Hampa tanpa sebuah sapa,
Hampa, tanpa satupun kabar untuk kubaca.
Kenangan, hanya sebatas kenangan
Perasaan, hanya sebatas harapan
Yang ternyata kini hatinya telah berada dalam satu pinangan. Tanpa satu bait penjelasan, keberadaanku, kini telah dia hilangkan.
Pisau tertajam dari bait kenyataan,
Membunuhku tepat di kedalaman,
Janji hanya kata sampah tanpa isi,
Setia hingga mati hanya sebatas sapaan basa basi.
Namun,
Biarlah,
Biarkan aku yang melangkah pergi,
Perihal distilasi hati yang terlarut dalam lantunan elegi, akan kusiasati nanti.

Hujan, sebelum kau mereda.
Pintaku, jagalah rindu ini agar tetap ada,
Biarkan ia tumbuh untuk sementara,
Agar aku tau,
Betapa sakitnya dihancurkan dengan tiba tiba,
betapa sakitnya dicintai tanpa sengaja.

HEMOLISIS AKLIMATISASI

Detik bergerak dalam riak rindu yang mengerak.
Mengizinkan duka, menyusup memenuhi rongga dada, hingga ke setiap sudut tersempit pada bilik aorta.
Bilur, membaur pada sendu yang tak patut ku ukur.
Berselang dengan kabar tentangmu yang membuat ku semakin hancur.

Kata menjelma luka, perihal tentangmu membunuh ku tepat di rongga dada, merubuhkan semesta yang telah lama ku susun sebagai tempat cinta kita  berotasi disana.

Sesak menyapa jantung yang semakin sulit berdetak, beriringan dengan  kalimat tanya yang terlontar,
Kenapa ?!!
" Kenapa kau pergi dengan cepat ? Hanya menyisakan waktu bahagia kita yang terpantau singkat "

Untukmu yang tersayang.
Disini aku merindukan mu,
Tanpa jemu, pesanku selalu tertuju pada kontak milikmu.
Isak ku akan selalu kuberikan untukmu.
Tulisan ini, sengaja ku buat untuk mengenang kepergianmu.
Bukan untuk meratapi tentang sebuah perpisahan,
Namun sekedar untuk mempertahankan mu yang layak untuk kusimpan dalam ingatan.
Aku tau sayang,
Dalam diam kita sudah masuk dalam rencana Tuhan.
Walau tak semanis yang pernah kita harapkan.
Ini semua bukan perihal sebuah kepergian.
Bukan !!
Karena aku tahu,
Dulu, kau pernah menjadi ketiadaanku,
Kini, kau menjelma ketiadaanku sekali lagi, saat waktu menjemputmu untuk pergi.
Bukan !!
Waktu menjemput mu pulang,
Memulangkan mu ke tempat dimana berkumpulnya orang orang yang Tuhan sayang.
Sekali lagi.
Ini bukan tentang meratapi kepergianmu.
Namun tentang ketidak siapanku akan cambukan kenyataan yang menyayat perasaan,
Remuk,
Hancur.
Pecah harapku bertebaran, menjadi puing puing beling yang siap menusuk perasaan.

Untukmu sayang,
Izinkan aku mengucap terima kasih,
Membangun kisah  bersama mu mengajarkan ku banyak arti,
Tentang penerimaan tanpa keterpaksaan,
Tentang saling mematenkan kesetiaan,
Tentang saling menjaga perasaan,
Tentang saling berbagi kebahagiaan
Dan kini,
Kau ajarkan ku tentang arti mengikhlaskan.
Aku ikhlas,
Aku terima.

Sayang,
Biarkan batu nisan menjadi saksi bisu tentang jatuh nya air mata ku melepasmu
Biarkan aku mengucap salam terakhir untukmu.
" Selamat jalan kekasihku, Tuhan lebih menyayangimu,
Semoga disana aku masih mampu bertemu dengan mu wahai bidadari surga ku,
Tenang lah dalam lelap, yakinlah tempatmu akan dijauhkan dari Sang Gelap.
Aku ikhlas
Aku menerima.

*he.mo.li.sis :  penghancuran dinding sel darah merah sehinga menyebabkan plasma darah yg tidak berwarna mnjadi merah
 ak.li.ma.ti.sa.si : penyesuaian dgn iklim dan suasana baru

20/02/19

DESTINASI ARBITRER

Untuk sesuatu yang tak mampu dilantunkan,
Jangan pernah paksakan untuk ia lontarkan
Untuk sesuatu yang tak ingin didengarkan,
Jangan pernah paksakan untuk ia teriakan.
Karena hal terkeji dalam mencintai, adalah Sebuah penerimaan penuh keterpaksaan.
Maka
disini  aku cukupkan untuk diam,
Membungkam kata perkata,
Membisukan rasa yang telah terlarut dalam asa.
Walau harap, selalu tertuju pada sebuah berbalas nya rasa.
Berharap kita, sama rasa, sama cinta.
Sulit,
Sulit adanya, jika cinta yang ada, belum menemukan tempat untuk peraduan nya,
Tumbuh sendiri, membelit erat pada pangkal hati, dan gugur tanpa pernah ada bejana, tempat nya untuk berbagi.

Aku masih akan tetap terdiam,
Membungkan setiap kata per kata.
Membisukan rasa yang telah terlarut dalam asa.
Namun,
Tentang mengutarakan rasa, aku tidak akan pernah terbata bata,
Dalam keyakinan, aku selalu percaya,
Sejatinya,
Aku telah mencintaimu dalam waktu yang terlampau lama, bahkan sebelum adam dan hawa diciptakan didunia.
Aku tengah mencintaimu dengan sepenuh penuh nya rasa. Dan kau, harus percaya,
Walaupun dalam diam, rasa ku akan senantiasa menjauhkanmu dari rundungan kelam,
Hingga senja terjebak dalam temaram,
Rasa untuk mu, akan ku tetap kurawat dalam diam.

*des.ti.na.si : tempat tujuan
ar.bit.rer : sewenang - wenang

DAUR ULANG PERSIMPANGAN

Sebelum cinta benar benar merekah, pastikan dua hati benar benar berada dalam satu arah.
Karena, saat kaki telah berbeda langkah, disitu renjana akan retak lalu terpecah.
Berpisah,
Hilang arah,
hingga keduanya hancur, saling mengubur,
penuh ratap, penuh bilur.

Mencintaimu bukan lah hal yang biasa, melepaskanmu adalah sebenar benar nya perih penuh kuasa.
Dibalik runtuhan hati, ada rindu yang tersisa dalam rayuan sunyi, ada nama yang terpahat hebat dibalik dinding hati, ada sosok yang terkunci dalam setiap langkah kaki, ada sakit yang tumbuh dengan cepat, melesat kencang, mencekik dada dengan lancang.

Detik mengalun dalam rintik,
Menyambut tuan kehilangan dalam nuansa pelik.
Terlantun kata maaf yang selalu menjadi senjata, saat pertengkaran kita,  saling menyakiti rasa.
Melupakan perdebatan, menumbuhkan senyum dalam pelukan,
Melupakan perbedaan, hati terlarut dalam sahutan kalimat sayang yang penuh kenyamanan.
Tenang, air mata berlinang, jatuh terlarut pada suatu hal yang baik untuk di kenang.
Momentum yang teramat ku rindukan,
Tatkala kita terpisah di sebuah persimpangan.
Meninggalkan retakan paling tidak sopan,
Menghantam keras pada ulu harapan.
Sesulit itu aku mendapatkan,
Semudah itu kau melepaskan.

Janji setia hingga mati, setara dengan sapaan selamat pagi. Diucapkan, lalu di acuhkan.
" Aku menyayangimu " hanya sebatas basa basi yang semu, tatkala dua titik jenuh kemudian salung bertamu.

Kini
Kita hanyalah dua hati dengan gunung berbeda untuk di daki.
Kita adalah dua asing yang saling menghempaskan diri ke tempat terasing.
Kita, adalah satu kata yang dihilangkan dari kesusastraan.
Dan
Kita, adalah dua harapan, yang tidak mungkin untuk di persatukan.

Terima kasih atas waktu yang telah berlalu,
Semoga kau dipertemukan dengan seseorang yang selalu dituju.
Berbahagialah selalu,
Karena kelak, yakinlah
Kita akan dipertemukan di persimpangan yg lain,
Dengan kisah baru yang lain.

SIMBIOTIS FOTOAUTOTROP

Ada yang luruh dibalik rintik yang bergemuruh. Ada yang tumbuh, dibawah akar pohon tua yang telah rapuh. Ada yang runtuh, didalam batang nya yang amat kukuh
Ada yang bersembunyi dikedalaman tanah , dimana jejak kehidupan, berlarian tak tentu arah.
Menerawang dari balik lubang, menghitung rintik yang tak terbilang.
Mengintip diantara sela sela akar yang usang, pada Si  penikmat khawatir yang selalu berlalu lalang.
Perlahan cemas, saat  irama langkah terdengar semakin jelas.
Terduduk lemas, tak mendengar kicauan burung yang saling berbalas.

Wahai pohon kecil,
Tak usah kau merasa terkucil.
Bersemilah, tumbuh lah disamping Pohon Tua yang nampak lelah,
mengakarlah pada cabang nya yang terpantau megah.
Perlakuan mewah, dia akan sisipkan pada tiap hembusan angin yang tak berarah.
Jangan menyerah, Si Pohon Tua tak ingin kau kalah.
Wahai Pohon Kecil,
Tak perlu kau cicipi seluruh kegusaran
Pada hama yang melepaskan kegelisahan,
Pada hujan yang menitikan kebimbangan,
Pada kabut yang selalu mempertanyakan,
tentang mu yang terbenam pada kemuskilan.

Biarkan Tuhan yang menjawab semua !!
Biarkan Tuhan yang menjawab semua !!
Biarkan Waktu yang memamerkan semaunya !!
Biarkan Waktu yang memamerkan semaunya !!
Daun mu akan selalu segar, terbasuh embun doa yang selalu tertuju pada satu nama.
Akarmu akan kokoh, menancap hebat pada angan perlahan merambat.
Kau akan tumbuh tinggi, menjulang,mengangkasa,
hingga kau tahu, Kau telah menjadi bagian dari SI Pohon Tua yang kelelahan.

Wahai Pohon Kecil,
Akar Kalian, kuharap saling menegapkan.

*sim.bi.o.tis : saling menguntungkan kedua belah pihak
fo.to.au.to.trop : organisme autotrofik yang memerlukan energi cahaya dalam membuat bahan organik baru

PURIFIKASI RESIDU RINDU

Senja kali ini terasa sangat berbeda
Tanpa rona, langit pucat pasi menyapa sepi, yang selalu termaktub dalam ruang bait puisi
Tanpa jingga, semuanya nampak serupa
Hilang warna,
Hilang sapa,
Hilang suka,
Datang luka,

Hanya hitam dan  pahit sang kopi yang selalu ada
Walau manis senyumnya, 
kini telah tiada,
Lenyap tergerus waktu, 
hilang dalam aliran sendu, 
yang tertahan pada pelupuk rindu
Disitulah, 
jeritan terkeras hati saat melantunkan namamu sekali lagi

Asap pembakaran rindu kian mengepul, bersama disekelilingnya ada lara, dan duka yang berkumpul Masuklah kedalam paru paruku, 
pecahkan sekatnya, 
sakit yang kemudian ada, 
tak sebanding dengan tikaman realita, saat kutemukan foto mu bersanding dengan nya

Senja kian temaram, menghidupkan denyut kelam di kedai kopi ini
Ada aku yg masih berdiam diri
Diatas meja kosong, 
masih ku rajut helai demi helai puisi tentang dirimu yang telah pergi, 
ke sisi lain hati,
Dimana tawa mu lahir kembali
Walau elegi rona pucat pasi menghantamku berkali kali,
Puisi ini akan tetap ku selesaikan, 
hingga riuh hati menjelma tenang
Karena disitu terdapat sepotong bahagia yang patut untuk dikenang
Tersimpan dalam bejana tanpa celah,
Terselip pada celah hati yang baru saja kalah

Aku bersyukur telah kau hancurkan,
Dengan begitu, aku tahu cara menikmati ditinggalkan tanpa sebuah penjelasan
Puing puing yang berserakan, akan ku semayamkan dalam palung hati, agar jasad nya tak tercium oleh duka yang selalu menghina

Aku bersyukur telah kau tinggalkan,
Dengan begitu, aku tau,
Bahwa cinta itu bukan perihal saling mendapatkan,
Namun bagaimana menanggapi sebuah pelepasan

Dengan titik di penghujung puisi ini
Semua hal tentang mu, telah kulepaskan dengan sepenuh hati.

*pu.ri.fi.ka.si : penyucian
  re.si.du : endapan
  

18/02/19

RESIRKULASI LUMINANS

Menyusuri liku, luka dipelataran pagi,
Menikmati bising sang duka pada peraduan sunyi,  
Meretas penghakiman pada sang janji,
Tanpa satu  jeruji yang menyekat hati, kecemasan, mulai beranjak pergi

Langkah merajut setapak yang patah,
Merekatkan fikrah dipenghujung kukuh
Membasuh noda yang telah rapuh,
Merengkuh hati yang tak pernah utuh
Enggan berjalan, waktu berlari
Saat, itulah, kuputuskan ,
Untuk datang kembali.

berdamai dengan penyesalan,
Berkawan dengan seluruh kehilangan,
Ku timang rasa yang telah di acuhkan
Ku rawat harap yang telah di tinggalkan,
Yang terhimpit kekecewaan, yang terhujani bulir kebohongan, yang tersesat dalam
lajur pacu waktu, dan detak detik yang tak menentu

Tatap mata hilang binar, tidak berpendar, menggelapkan alam bawah sadar,
Yang secara sadar, keberadaanmu kini kian memudar,
ku buat seluruh nya hangus terbakar,
Sirna, tanpa bersisa
Hilang, tanpa berselang

Kau yang kurecah dari kata KITA
Kini menjelma ragu yang selalu kuanggap rancu,  menjadi titik temu pada sebuah penolakan dan penerimaan atas sebuah rasa yang tertolak. Memelas rindu, hanyalah angkuh dari ketidak jelasan rasa , yang jelas jelas telah ku harapkan pada hati yang tak pernah memberi jawaban dengan jelas
Dan,
Perihal Luka yang selalu ku anggap tak pantas, kini, ku terka semuanya impas, urungku berniat membalas, duka yang telah kau semai, perlahan membias
Tanpa pernah berbekas,

Lantas !!

Ikatan telah terlepas,
Janji telah terlanggar,
Hati retak tak utuh,
Kisah hancur melepuh
Harap bersimpuh lumpuh, lelah akan segala rasa yang nyata, namun tetap tak kasat mata
Kuamati waktu yang berlari dipelupuk netra,
Menjaga yang membawa luka,
Menanti yang menikam mati,
Mengasihi yang mengkhianati
Berharap pada sang senyap !  
Memelas pada yang enggan terbalas !

Semuanya !!!
telah ku hempaskan !!

Kedatangan ku kembali,
Untuk menyampaikan doa dibatas tanah diantara sekat semesta,
agar kau,
Selalu berbahagia,
tak mengenal lara,
tersembunyi dari duka,
Hilang dari rundungan luka
Dan, Hidup tenang dalam dekapan asmara
Maka, aku akan melangkah kembali,

Berlari menjauhi imaji yang terdistorsi
Menyusup pada satu katup yang telah kututup
Menenggelamkan diri pada palung luka tersembunyi
Mengarungi belantara kehampaan,
Menyusuri setiap kenang percakapan,
Mendakit setiap detik pertemuan Menegaskan puisi yang sedang ku bacakan,
Bahwa kau,
Sejatinya, telah , aku lupakan.


*re.sir.ku.la.si : hal menyirkulasikan kembali
  lu.mi.nans : ukuran intensitas terang cahaya yang berasal dari sumber dalam satu arah : pendar           cahaya

NEURASTENIA ABNORMAL

Denyut nadi tiba tiba terhenti, saat degup kabar mu terdengar memekakan hati. Merusak gendang telinga, merobek labirin hati yang tengah mencari cinta
Kenangan berkumpul mengitari kepala, menyemai duka, menggores rasa, menghidupkan kembali luka lama dalam bebunyian sangkakala, jantung berdetak tanpa irama, silih berganti menyerukan namamu diatas panggung kenang tanpa diorama

Yang, tentangmu, aku belum mampu melupakan sepenuhnya, 
Seperti ampas kopi, yang lupa bahwa air telah menenggelam kan nya
Pekat dalam pahit, pembuluh arteri ku kau buat seluruh nya terbelit
Rumit,
Terlalu sulit, meredam rindu yang menjerit

Binar matamu kala itu masih terpatri dalam imaji, tatkala senyum mu datang menghampiri, seolah menawarkan sebuah kursi pada relung hati.
Tanpa pernah berbagi.
Diam diam, 
membunuhku mati,  
tertikam janji, 
nadi ku kembali terhenti

Sekelam mendung, segelap malam,
Mengingat nama mu, menghunuskan pedang paling tajam, merobek luka semakin dalam, memenjarakan rasa,
dalam alunan jeruji kehilangan  yang amat kelam

Hujan pun tak mampu membasuh isak dan tawa yang berjalan bergandengan, sejalan dengan waktu yang sedang mempermainkan ku dibatas pelataran.
Kau sengaja memintaku datang, kau suguhkan pisau tertajam dibalik secarik  undangan, 
kau sayat epidermis, 
menabur luka secara sporadis,   
merecah diafragma diantara rongga dada dan lajur vena yang terpecah

Kekejaman Asmara tak bertuan, menelantarkan hati yang hilang tanpa peraduan. 
Terlelap dalam sakit proses melupakan,
Kini, 
aku sedang menikmati luka dipelupuk mata, 
tempat kau membubuhkan namaku dengan coretan tinta, 
tanpa pernah ada berbalasnya rasa,

Tercabik dalam laju detik, kuputuskan menyumbat  seluruh saraf somatik, 
agar luka tak menyeruak, 
penuh riak, pada selaput rasa yang saat ini sedang kau koyak.
Kenangan terhapus pinangan
Kisah kita di persimpangan, lenyap tergusur kenyataan,


Bagaimana aku mampu melupakan ? 
Jika aku tetap menjadikanmu secercah bayangan,
Bagaimana aku mampu melupakan ?
Jika janji yang kau hilangkan, masih melekat pada dinding perasaan
Bagaimana kau mampu, melupakanku yang selalu lupa tentang cara melupakan rasa yang sejatinya harus kulupakan.

Tak sadarkah ?
Hati ku masih saja melantunkan nama mu dalam kebisingan, membanting waktu sepanjang jalan, tak pernah merela atas sebuah kepergian
Kau, tak pernah menjadi sosok yang kusalahkan,
karena, Mencintaimu, adalah sebuah kesalahan yang selama ini kuanggap salah dalam menitipkan rasa tak bersalah

Aku tau,
Aku tau, bukan aku yang selama ini kau inginkan,
bukan aku yang menjadi bayangmu di masa depan,
Bukan aku yang kau harapkan,
Bukan aku yang selalu kau impikan,
Bukan dia !! yang kau jadikan pelarian,
Tapi aku !! , AKU !!
Yang kau jadikan pelampiasan, dari seluruh bait kesepian, yang kini telah kau tinggalkan

Pada sang harap yang masih ingin memelukmu erat, 
kau tancapkan luka dengan kuat, 
mengakar hebat, pada deretan kenang yang telah kau buat
Pergilah dengan nya, aku rela kau berbahagia dengan nya,
yang aku tak rela, adalah tentangku, yang tak pernah kau titipkan satu tetes cinta.
Hancur perasaan,
Dikecewakan oleh keadaan,
untukmu yang kini menyisakan penderitaan.
Kata maaf selalu ku bariskan pada setiap detik yang berjalan, tak perlu banyak penjelasan,
Tak perlu  banyak pertanyaan, tak perlu ada jawaban,
bahwa, untukmu
aku tidak pernah mengenal makna melupakan.

*neu.ras.te.nia : kelelahan dan rasa lemah berlebihan, baik jasmani maupun rohani
 ab.nor.mal : tidak sesuai dengan keadaan biasa, mempunya kelainan