04/01/20

Jabat Tanggal

Selepas pergantian tanggal, banyak sisa-sisa kisah yang sempat tertinggal.
Semanis seduhan susu, sehangat teh bercampur madu, maupun sepahit kopi yang kerap menemani saat malam bertamu.
Akan selalu mengekor pada langkah, sejauh apapun kita bergerak.

Pada waktu yang sama, kita disuguhkan dengan dua buah pilihan, melangkah maju, atau kembali memperbaiki kesalahan diwaktu lalu.

" Apa pilihanmu ? "
Entah, mungkin menjadi jawaban terbaikku saat ini,

Sejenak, mari kita sedikit merayakan kesempatan untuk menetap lebih lama di dunia,
menitip harap pada ledakan-ledakan kembang api diatas sana,
Bersorai dengan meneriakan beragam rencana,
Dan menikmati momen singkat untuk berperan sebagai manusia merdeka,

Waktu masih berjalan,
Siklus datang dan pergi masih bergantian,
Suka dan duka masih beriringan.

Terima kasih untuk yang pernah hadir, yang masih menetap, yang berdo'a tanpa lelah, yang setia menjadi telinga untuk ruang keluh dan kesah.

#Cerita Diantara Tanduk 1
- National Gallery Singapore,
Tuan Rusa, 3 Januari 2020

Catatan Selepas Hujan Reda

Serendah langit-langit hingga seluas hamparan langit,
Kau tetap menjadi garis utama dalam sebuah kilas balik
Pendaran kisah paling klasik,
muara dari segala harap yang jatuh dilapangnya terik.

Kujumpai dirimu sebagai untai buku harian,
Persembahan termewah semesta selepas hujan,

Ya,
aroma itu yang kerap melekat diingatan,
Wangi kertas,
pita merah sebagai pembatas,
lelehan tinta,
gusar cerita,
luka,
suka,
dan sisa kering tetesan air mata.

Lagi,
Kau menemukanku dipenguhujung musim,
Kering menerpa angkasa, kau deras mengalir pada pipi-pipi yang merona.

Secepat itu musim berganti
Sesingkat ini cuaca terganti
Sehebat ini kecewa membuatmu kembali
Setangguh ini tulisan usang yang terhapus berulang kali

Hingga sebelum kau torehkan catatan kaki,
Disana telah tertulis,
Aku, masihlah kertas yang sama,
Kan kudekap semua kisah yang kau jatuhkan disana,
Kujilid sempurna, untuk kembali kita baca bersama.

Sepanjang apapun.


- Serdadu Pejuang Rasa, Batam, 22 Desember 2019

Semua Itu Aku

Sama keras serapuh cermin,
Ucap serupa, lintas suara saling menggema
Dia senang berjalan-jalan,
Kepalanya acap kali melawan

Terikatlah dia dengan sukarela
Tapi acapkali dia meronta
Kerap senyap, lalu riuh saat udara pengap.

Cermin tak pernah semuram itu
Musim tak pernah reda secepat itu
Kukira
Aku.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam , 3 Desember 2019

Di Bawah Permukaan

Dibawah gundukan tanah yang kusebut kaki malam,
Kulihat, kita masih asyik berbincang di tepian kolam,
Berdebat perihal debar yang mengkhawatirkan, dan sesiapa saja yang paling akrab dengan kekosongan

Semula kau bertanya,
" Debar siapa yang kerap membuatmu membangunkan purnama ? "
Jemari mengambil alih peran bibir,
Mendaratkan telunjuk pada permukaan gemas pipimu yang begitu menyihir

Kemudian, kau bersiap dengan pertanyaan kedua,
Terhenti sejenak,
bola matamu yang lucu berlarian mengitari kelopak, tercermin acak corak kata yang hendak kau susun dalam kepala,

Ingin sekali kucuri raut bingungmu kala itu,
kulipat dengan rapi dalam sebuah kotak,
untuk kemudian kuseduh bersama kopi dan secangkir sepi.
Dengan pahit yang menyeruak

Disanalah kau abadi
dalam sebuah aroma,
diantara tiap hirupan napas yang mengisi relung dada
Hadirmu kembali hidup pada balutan malam yang sempurna,

Sedekat kening dan angkasa,
Kita pernah mengawal malam menuju peraduannya.
Menghantarkan sejuk ke tempat dia seharusnya berada
Merangkum setiap musim, menjadi barisan kalimat untuk kita rapal bersama,

Dan sebelum bibirmu beranjak menjatuhkan tanya,
Kudahului suaramu bagai kilat yang kerap berada diawal suara
" Pertanyaan apapun yang kau ajukan,
debar akan selalu memberikan jawaban,
tersimpan disana,
di balik detak ,
yang tak kunjung reda "

-    Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Desember 2019

Dinding

Dijatuhkannya sebuah tulisan,
Permukaan dinding yang penuh lumut itu,
Kini menjadi hamparan kanvas yang begitu luas,

Tercatat dari senyawa Sang Penulis,
Rangkai katanya perlahan mulai berfotosintesis,
Tersusun rapi, membentuk siluet dari seorang gadis.

Ya
Dia yang membuatnya hidup sekali, dua kali, hingga berkali-kali.
Terlihat sejak coretan pertama yang sangat damai, hingga jejak apostrof yang berangsur menjadi bangkai.


" Engkau " sahutnya,
Ujaran tanpa filosofi yang merangkum banyak arti,
Selalu memelas untuk dicari, kerap berharap untuk dimaknai

Selang beberapa dinding,
Ia torehkan sejumput huruf pada bidang putihnya. Menjadi tunas ditengah lapang kosong ruang tanpa kuasa,


Terekstraksi dari kecewa seorang manusia,
Barisan hurufnya serupa bidang maya
Tercarik kemarau, luntur terbilas hujan yang menyapa.

Ya,
Dia yang membuatnya mati sekali, dua kali, hingga berkali-kali,
Terpampang dari jauhnya rentang spasi
Dengan ruang kosong yang ada disetiap sisi.

" E n g k a u ? ", jelasnya
Sebutan sarat makna, yang meluapkan tanda tanya,
Menjadi hantaman maha dahsyat sejak dalam kepala, hingga bertahan dan tetap bersarang, pada jasad manusia yang terbunuh kata-kata.

- Serdadu Pejuang Rasa, Batam 29 Desember 2019